Presiden Prabowo Subianto mewarisi kompleksitas struktur ekonomi global yang sedang mengalami pergeseran signifikan. Di tengah kemunculan kekuatan ekonomi baru dan ketegangan geopolitik yang meningkat, keputusannya untuk bergabung dan mendorong keterlibatan aktif Indonesia dalam dua poros ekonomi dunia BRICS dan OECD menjadi langkah strategis yang mencerminkan pergeseran orientasi dan pemetaan kepentingan nasional dalam arena global.
Keikutsertaan Indonesia dalam dua poros ekonomi dunia bukan sekadar ekspresi diplomasi ekonomi, melainkan merupakan bagian dari strategi jangka panjang dalam memperkuat posisi tawar Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) yang mampu menjembatani kepentingan negara-negara maju dan berkembang, serta membangun resilien ekonomi nasional di tengah turbulensi global.
Di tengah persaingan global yang kini terbagi ke dalam dua kutub kekuatan ekonomi besar: BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) sebagai simbol bangkitnya negara-negara global south yang mewakili kekuatan ekonomi non-Barat dengan orientasi multipolar, menantang dominasi barat OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang merepresentasikan kekuatan ekonomi tradisional dengan prinsip-prinsip liberalisme pasar dan tata kelola global yang mapan.
Presiden Prabowo dihadapkan pada dilema strategis untuk menavigasi kepentingan nasional di tengah tarik menarik kepentingan kedua blok tersebut. Indonesia harus bersikap cermat, tidak hanya karena alasan ideologis, tetapi juga atas dasar kepentingan geoekonomi jangka panjang yang menentukan posisi bangsa di tengah transformasi global.
Indonesia bukan hanya negara berkembang dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, tetapi juga calon kekuatan ekonomi global yang saat ini menempati peringkat ke 7 dunia dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai RP. 22.139 Triliun pada tahun 2024 yang terus tumbuh secara signifikan.
Dalam konteks ini, keberpihakan Indonesia kepada salah satu blok ekonomi BRICS atau OECD akan berdampak luas, baik dalam hal investasi, perdagangan, maupun pengaruh politik global. Di satu sisi, OECD menawarkan integrasi ke dalam sistem global yang telah terbukti stabil, namun di sisi lain, BRICS muncul sebagai alternatif terhadap dominasi Barat dengan tawaran sistem keuangan baru seperti BRICS Development Bank dan de-dolarisasi perdagangan internasional.
Pendekatan geoekonomi Indonesia sejatinya bersifat hibrida atau terbuka terhadap blok Barat namun juga berupaya memperluas kerja sama dengan poros BRICS. Presiden Prabowo harus mengelola dinamika ini dengan pendekatan geoekonomi yang tidak hanya pragmatis, tetapi juga strategis untuk memperkuat otonomi ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Strategi geoekonomi Presiden Prabowo menuntut kemampuan untuk mendayung di antara dua arus besar tanpa harus terjebak dalam dikotomi ideologis. Diversifikasi mitra ekonomi menjadi kunci utama agar Indonesia tidak tergantung pada satu blok kekuatan global.
Masuknya Indonesia ke BRICS memberikan akses strategis terhadap pembiayaan pembangunan dari New Development Bank (NDB), serta memungkinkan Indonesia untuk memperluas jangkauan perdagangan dan investasi dengan negara-negara Global South.
Prabowo tampaknya menyadari bahwa dominasi institusi keuangan Barat seperti IMF dan World Bank tidak sepenuhnya mengakomodasi kepentingan negara berkembang. Oleh karena itu, BRICS menjadi platform strategis untuk memperluas opsi kebijakan fiskal dan pembangunan nasional tanpa ketergantungan tunggal terhadap Barat.