Namun, tantangan muncul dari ketatnya syarat keanggotaan dan tekanan agar Indonesia mengikuti nilai-nilai dan kebijakan yang kadang tidak sesuai dengan kondisi domestik. Dalam hal ini, Presiden Prabowo perlu memastikan bahwa integrasi dengan OECD dilakukan tanpa mengorbankan otonomi kebijakan ekonomi dalam negeri. Dialog aktif dan negosiasi strategis dengan OECD menjadi penting untuk menyeimbangkan kepentingan nasional dan komitmen internasional.
Dalam kerangka kebijakan luar negeri yang bebas aktif, strategi Prabowo ini dapat dibaca sebagai bentuk baru dari politik Non-Blok yang lebih kontekstual. Jika pada masa lalu Indonesia memainkan peran sentral dalam Gerakan Non-Blok, maka kini Prabowo tampaknya ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat gravitasi baru dalam tatanan global multipolar.
Melalui peran aktif dalam BRICS dan OECD, Indonesia dapat menyuarakan agenda global south sekaligus menyerap praktik terbaik dari negara-negara maju. Dengan kata lain, Prabowo tidak melihat keanggotaan dalam dua entitas ini sebagai bentuk pertentangan ideologis, melainkan sebagai peluang integratif untuk memperkuat kapasitas nasional secara holistik.
Dalam dinamika dunia yang semakin multipolar dan saling terhubung, arah geoekonomi Presiden Prabowo tampaknya akan menekankan pada pragmatic nationalism, yakni keberpihakan terhadap pembangunan nasional dengan memanfaatkan peluang global secara selektif. Melalui pendekatan ini, Indonesia akan terus berperan dalam forum-forum internasional seperti G20, ASEAN, BRICS+, dan kerja sama OECD, tanpa harus berkomitmen penuh pada salah satu blok tertentu.
Keberhasilan strategi ini akan sangat tergantung pada kualitas diplomasi ekonomi Indonesia, kecermatan birokrasi dalam mengeksekusi kebijakan, dan kesinambungan antara visi politik luar negeri dan pembangunan nasional. Dalam hal ini, Presiden Prabowo memerlukan tim kebijakan luar negeri dan ekonomi yang memiliki visi global, kemampuan negosiasi tinggi, serta kepekaan terhadap dinamika kekuatan global yang terus berubah.
Geoekonomi di era kontemporer bukan sekadar soal keuntungan finansial, tetapi tentang posisi, kedaulatan, dan masa depan bangsa. Indonesia tidak harus memilih antara BRICS atau OECD secara eksklusif. Justru kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya untuk mendayung di antara dua arus besar ini, sambil tetap memegang kompas pembangunan nasional yang berdaulat, inklusif, dan berkelanjutan.
Presiden Prabowo memiliki peluang historis untuk menjadikan Indonesia sebagai jembatan antara Selatan dan Utara Global, sekaligus sebagai contoh negara berkembang yang mampu memainkan peran strategis dalam membentuk tatanan dunia baru. Dalam geopolitik yang makin kompleks, geoekonomi menjadi medan kontestasi sekaligus peluang, dan Indonesia dengan strategi yang tepat, dapat menjadi aktor utama dalam menata masa depan global yang lebih adil dan seimbang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI