Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Penulis

Geopolitics, Democracy, Activism, Politics, Law, and Social Culture.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Geoekonomi Presiden Prabowo: Mendayung di Antara BRICS dan OECD

14 Juli 2025   12:12 Diperbarui: 14 Juli 2025   12:24 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Berkomitmen Bergabung dengan BRICS dan OECD (Sumber Gambar: CNN Indonesia)

Namun, pendekatan Prabowo tidak berhenti pada BRICS. Dalam waktu yang sama, ia mendorong proses aksesi Indonesia ke OECD. Langkah ini mencerminkan orientasi pragmatis sekaligus sinyal kepada komunitas internasional bahwa Indonesia berkomitmen terhadap reformasi struktural dan peningkatan kualitas tata kelola ekonomi. OECD dikenal dengan perangkat evaluasi kebijakan publik dan standar transparansi ekonomi yang tinggi.

Bergabung dalam OECD bukan hanya prestise diplomatik, tetapi juga menjadi dorongan internal untuk mempercepat reformasi kelembagaan, peningkatan daya saing, dan integrasi ekonomi Indonesia dalam rantai pasok global yang bernilai tinggi. Hal ini merupakan cara Prabowo untuk mengamankan kepercayaan investor internasional tanpa mengabaikan semangat kemandirian ekonomi nasional.

Geostrategi ganda bergabung dengan BRICS dan OECD secara simultan menunjukkan kemampuan Prabowo dalam melakukan manuver multidimensi. Di satu sisi, ia hendak menegosiasikan ulang posisi Indonesia dalam struktur global agar tidak terus-menerus berada dalam subordinasi terhadap kepentingan negara-negara besar.

Di sisi lain, ia juga mengakui pentingnya menjaga akses terhadap standar dan praktik ekonomi modern yang ditawarkan oleh negara-negara OECD. Strategi ini sejalan dengan apa yang disebut sebagai "hedging strategy" dalam politik internasional, yaitu strategi mengelola ketidakpastian dengan mendiversifikasi aliansi dan keterlibatan. Indonesia tidak ingin sepenuhnya condong ke Timur atau Barat, tetapi berupaya menempatkan diri sebagai penyeimbang (balancer) dan jembatan komunikasi antar-blok kekuatan dunia.

Strategi ini selaras dengan konsep "non-alignment 2.0" yang memungkinkan Indonesia membangun kemitraan strategis dengan berbagai pihak, selama hal tersebut mendukung visi pembangunan nasional jangka panjang. Dalam konteks ini, Presiden Prabowo memiliki peluang untuk menerapkan politik luar negeri bebas-aktif secara adaptif melalui jalur geoekonomi yang berorientasi pada pembangunan nasional yang berdaulat.

BRICS kini tidak lagi sekadar forum simbolik negara berkembang, melainkan telah menjelma menjadi entitas yang mampu menantang tatanan ekonomi global. Dengan perluasan keanggotaan (BRICS+) dan wacana penggunaan mata uang alternatif terhadap dolar Amerika Serikat, BRICS menawarkan paradigma baru dalam tata kelola ekonomi internasional.

Indonesia, dengan kedekatan historis terhadap Tiongkok, Rusia dan India, dapat memanfaatkan kerja sama ini untuk memperkuat ketahanan energi, pangan, hilirisasi, serta infrastruktur digital. Namun demikian, tantangan muncul dalam hal kredibilitas institusional dan kesenjangan kepentingan antaranggota BRICS sendiri, yang bisa menjadi risiko tersendiri bagi Indonesia bila terlalu menggantungkan diri pada forum ini.

Selain itu, ketegangan geopolitik antara anggota OECD dan BRICS, seperti konflik Rusia-Ukraina atau perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok, juga berpotensi mempersulit posisi Indonesia di antara dua blok tersebut. Prabowo harus mampu menavigasi berbagai kepentingan ini dengan diplomasi yang cerdas dan konsisten. Selain itu, birokrasi Indonesia harus dipersiapkan secara sistematis untuk menjalankan komitmen-komitmen internasional tanpa mengorbankan kedaulatan dan stabilitas sosial-ekonomi nasional.

Oleh karena itu, Presiden Prabowo perlu menyikapi BRICS sebagai salah satu pilar pendukung strategi pembangunan, bukan sebagai substitusi total atas kerja sama dengan OECD atau sistem Bretton Woods. Keseimbangan dan kehati-hatian harus dijaga, agar Indonesia tetap menjadi aktor yang berdaulat dalam pengambilan keputusan ekonomi global.

Sementara BRICS menawarkan fleksibilitas, OECD menekankan pada standar tinggi tata kelola, transparansi, dan reformasi struktural. Indonesia selama ini telah menjadi mitra strategis OECD dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan, lingkungan, dan reformasi birokrasi.

Presiden Prabowo mewarisi agenda reformasi ini dan diharapkan melanjutkan upaya memperkuat fondasi institusional negara, terutama dalam hal pemberantasan korupsi dan reformasi perpajakan. OECD memberikan legitimasi internasional yang penting bagi Indonesia untuk mendapatkan kepercayaan investor global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun