Perlawanan terhadap kolonialisme di Afrika merupakan narasi panjang yang membentang sejak abad ke-19 hingga kini dalam berbagai bentuk, dari perjuangan fisik bersenjata hingga gerakan diplomatik dan simbolik. Dalam konteks ini, munculnya Ibrahim Traore, presiden transisi Burkina Faso yang naik ke tampuk kekuasaan melalui kudeta militer, menjadi fenomena baru yang menandai kebangkitan perlawanan anti-kolonialisme.
Di tengah kekecewaan mendalam terhadap elite politik Afrika yang dianggap terlalu kompromistis terhadap kepentingan negara-negara Barat, khususnya Prancis, figur Traore memunculkan harapan baru bagi banyak kalangan muda Afrika.
Ia bukan hanya tampil sebagai pemimpin militer muda yang menggulingkan rezim sebelumnya, tetapi juga sebagai simbol keberanian menantang tatanan pascakolonial yang masih menindas melalui mekanisme ekonomi, militer, dan budaya.
Kebangkitan Traore tidak dapat dipisahkan dari situasi politik dan keamanan yang melanda Burkina Faso dalam dua dekade terakhir. Serangan kelompok teroris yang terus meningkat sejak 2015, disertai lemahnya respon pemerintah sipil, menumbuhkan keresahan luas di kalangan rakyat. Pemerintah sebelumnya dianggap gagal dalam menangani isu keamanan serta terlalu bergantung pada bantuan militer dari Prancis dan lembaga Barat lainnya.
Di sinilah letak artikulasi perlawanan Traore menjadi signifikan. Ia menampilkan diri sebagai pemimpin muda yang menolak ketergantungan terhadap kekuatan asing dan memilih jalur kemandirian, termasuk menjalin kemitraan baru dengan Rusia dan beberapa negara non-Barat lainnya. Langkah ini dianggap sebagai bentuk resistensi terhadap struktur neokolonial yang masih menjerat negara-negara Afrika, khususnya di kawasan Sahel.
Perlawanan yang dilakukan Ibrahim Traore tidak berhenti pada tataran retorika politik. Ia secara nyata menghentikan kerja sama militer dengan Prancis dan mengusir pasukan mereka dari wilayah Burkina Faso pada tahun 2023. Tindakan ini mengirimkan pesan kuat ke seluruh dunia bahwa Burkina Faso sedang menempuh jalan baru yang bebas dari intervensi eks-kolonialis. Langkah ini juga diikuti dengan peninjauan ulang terhadap berbagai kerja sama ekonomi yang dianggap merugikan, termasuk penambangan emas yang selama ini dikuasai oleh perusahaan asing.
Di bawah Traore, pemerintah mulai memperkuat kendali negara atas sumber daya alam melalui nasionalisasi parsial dan regulasi ketat terhadap investasi asing. Hal ini menjadi manifestasi konkrit dari semangat anti-kolonialisme yang tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga struktural.
Lebih dari sekadar presiden transisi, Ibrahim Traore telah menjadi ikon pan-Afrikaisme kontemporer. Ia secara terbuka mengkritik peran negatif lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia dalam mempertahankan kemiskinan struktural di Afrika. Dalam berbagai forum, ia menyuarakan pentingnya solidaritas antarnegara Afrika untuk membebaskan diri dari dominasi ekonomi Barat yang menjerat melalui utang dan kebijakan neoliberal.
Narasi ini resonan dengan semangat tokoh-tokoh anti-kolonial klasik seperti Thomas Sankara, Patrice Lumumba, hingga Kwame Nkrumah. Bahkan, banyak kalangan menyebut Traore sebagai reinkarnasi ideologis dari Sankara, pemimpin revolusioner Burkina Faso yang juga menolak dominasi Prancis pada dekade 1980-an. Warisan pemikiran Sankara tampak hidup kembali dalam gaya kepemimpinan Traore yang sederhana, radikal, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Dalam konteks sosial, Traore juga memainkan peran penting dalam membangkitkan kesadaran politik generasi muda Afrika. Ia menjadi inspirasi bagi banyak aktivis, mahasiswa, dan pemuda yang selama ini merasa terpinggirkan oleh elit politik tua yang korup dan kolaboratif dengan kekuatan asing.