Dalam konteks perlindungan hak tersangka atau terdakwa, kedua sistem memiliki pendekatan yang berbeda. Sistem kontinental menekankan perlindungan hukum melalui peran aktif negara, di mana prosedur hukum telah ditentukan secara ketat demi melindungi hak-hak tersangka. Adanya prinsip nullum crimen sine lege dan presumption of innocence menjadi pilar utama yang dijamin oleh hukum positif.
Sementara dalam sistem Common Law, hak-hak terdakwa dijamin melalui mekanisme due process of law dan kontrol publik melalui juri serta proses banding. Peran pengacara pembela dalam Common Law lebih menonjol karena pembelaan menjadi bagian dari mekanisme pencarian keadilan.
Secara normatif, banyak negara saat ini tidak lagi murni menerapkan satu sistem hukum pidana saja, melainkan mengadopsi elemen dari kedua sistem untuk memperkuat mekanisme peradilan mereka. Indonesia, misalnya, secara historis menganut sistem hukum kontinental warisan Belanda, dengan KUHP yang mengacu pada Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.
Namun dalam praktiknya, sistem hukum Indonesia mengalami pengaruh dari Common Law, terutama melalui praktik-praktik litigasi modern, pembentukan Mahkamah Konstitusi, dan pengakuan terhadap putusan internasional. Reformasi hukum pidana melalui UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP juga menunjukkan kecenderungan ke arah modernisasi sistem hukum dengan memasukkan prinsip-prinsip HAM, asas legalitas, dan penguatan peran hakim.
Penelitian terbaru dari World Justice Project Rule of Law Index 2024 menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem Common Law seperti Selandia Baru dan Inggris menduduki peringkat tinggi dalam indeks penegakan hukum dan perlindungan hak-hak individu. Di sisi lain, negara-negara bertradisi kontinental seperti Jerman dan Prancis juga menunjukkan kinerja baik dalam aspek kepastian hukum dan efektivitas sistem peradilan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua sistem memiliki keunggulan masing-masing, dan efektivitas hukum pidana sangat tergantung pada kualitas institusi, budaya hukum, dan integritas aparat penegak hukum.
Dalam tataran akademik, perdebatan antara keunggulan sistem kontinental dan Anglo Saxon terus berlangsung. Sistem kontinental dinilai unggul dalam hal kepastian hukum karena hukum tertulis menyediakan panduan jelas bagi aparat hukum dan masyarakat. Namun sistem ini dianggap kaku dan kurang responsif terhadap perkembangan sosial.
Sebaliknya, sistem Anglo Saxon dianggap lebih adaptif dan fleksibel karena hukum berkembang melalui preseden, tetapi sering dikritik karena dapat menghasilkan ketidakpastian hukum dan ketergantungan yang tinggi pada interpretasi hakim. Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat hibrida atau eklektik kini semakin dikembangkan di banyak negara, termasuk dalam ranah hukum pidana internasional, seperti yang terlihat dalam praktik International Criminal Court (ICC) yang menggabungkan unsur inkuisitorial dan adversarial dalam prosedurnya.
Dalam konteks global, harmonisasi sistem hukum pidana menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam menghadapi kejahatan transnasional seperti terorisme, perdagangan manusia, dan korupsi. Instrumen seperti Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC) dan Konvensi PBB Menentang Kejahatan Terorganisir Transnasional (UNTOC) mendorong negara-negara, baik yang menganut sistem kontinental maupun Anglo Saxon, untuk menyelaraskan hukum pidana mereka guna memperkuat kerja sama internasional. Di sinilah pentingnya pendekatan komparatif agar setiap negara mampu mengadopsi elemen terbaik dari masing-masing sistem dalam kerangka reformasi hukum pidana nasional.
Sebagai Penutup, perbandingan antara sistem hukum pidana kontinental dan Anglo Saxon mengungkap perbedaan mendasar dalam aspek sumber hukum, peran hakim, proses pembuktian, dan perlindungan hak-hak terdakwa. Sistem kontinental menawarkan kepastian hukum melalui kodifikasi, sementara sistem Anglo Saxon menjamin fleksibilitas dan adaptabilitas melalui preseden yudisial. Kedua sistem memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, namun keduanya bertujuan untuk menegakkan keadilan dan menjaga tatanan sosial.
Dalam dunia yang semakin terintegrasi, diperlukan pendekatan yang adaptif, inklusif, dan kontekstual dalam menyusun kebijakan hukum pidana nasional. Indonesia perlu terus melakukan pembaruan hukum pidana dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip universal keadilan dan HAM, tanpa meninggalkan akar tradisi hukumnya sendiri. Melalui studi komparatif yang mendalam, sistem hukum nasional dapat memperkaya dirinya dan menjadi lebih responsif terhadap dinamika global dan kebutuhan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI