Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Penulis

Geopolitics, Democracy, Activism, Politics, Law, and Social Culture.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Perbandingan Sistem Hukum Pidana Kontinental dan Anglo Saxon

3 Juli 2025   07:54 Diperbarui: 3 Juli 2025   07:14 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Hukum Pidana (Sumber Gambar: iStock/Zolnierek)

Sistem hukum pidana di dunia pada umumnya terbagi dalam dua tradisi besar, yaitu sistem hukum Kontinental (Civil Law) dan sistem hukum Anglo Saxon (Common Law). Kedua sistem ini tidak hanya mewakili perbedaan dalam sumber hukum, tetapi juga mencerminkan perbedaan historis, struktural, dan filosofis yang signifikan dalam bagaimana keadilan pidana ditegakkan.

Pemahaman terhadap perbedaan dan persamaan kedua sistem ini menjadi penting, terlebih dalam era globalisasi hukum di mana interaksi antarnegara semakin intens dan melibatkan mekanisme hukum lintas yurisdiksi. Indonesia sebagai negara dengan tradisi hukum kontinental, tetapi mengalami pengaruh dari sistem Anglo Saxon melalui reformasi hukum dan praktik peradilan internasional, perlu mengkaji kedua sistem ini secara kritis dan komparatif.

Secara historis, sistem hukum kontinental berasal dari tradisi hukum Romawi, khususnya Corpus Juris Civilis yang dikodifikasi pada masa Kaisar Yustinianus di Bizantium pada abad ke-6. Sistem ini kemudian dikembangkan di negara-negara Eropa daratan seperti Prancis, Jerman, Belanda, dan Italia. Karakteristik utama dari sistem hukum ini adalah kodifikasi hukum yang komprehensif. Hukum pidana dalam sistem kontinental didasarkan pada undang-undang tertulis yang bersifat positif, di mana hakim hanya bertugas menerapkan aturan yang ada sesuai dengan fakta dan keadaan perkara.

Sebaliknya, sistem Anglo Saxon berkembang di Inggris pasca-Penaklukan Norman (1066), di mana keputusan pengadilan (judicial decisions) dari hakim-hakim sebelumnya menjadi preseden yang mengikat dalam memutus perkara selanjutnya. Dengan demikian, hukum pidana dalam sistem Common Law cenderung bersifat yurisprudensial dan berkembang melalui putusan pengadilan.

Dalam hal sumber hukum, sistem kontinental sangat mengandalkan legislasi sebagai sumber utama hukum pidana, di mana norma-norma pidana sudah dirumuskan secara tertulis, sistematis, dan rinci dalam undang-undang. Contohnya adalah Strafgesetzbuch (StGB) di Jerman atau Code Penal di Prancis. Kodifikasi ini bertujuan memberikan kepastian hukum serta menghindari diskresi hakim yang berlebihan.

Di sisi lain, dalam sistem Anglo Saxon, putusan pengadilan (case law) merupakan sumber hukum utama, sementara legislasi hanya menjadi pelengkap. Hal ini menjadikan peran hakim di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris sangat sentral karena mereka tidak hanya menafsirkan hukum, tetapi juga berperan dalam membentuk hukum (judicial law-making).

Dari sisi struktur kelembagaan peradilan, sistem kontinental menganut prinsip inkuisitorial, yaitu hakim berperan aktif dalam proses pemeriksaan perkara, termasuk dalam pengumpulan bukti, pemeriksaan saksi, dan penentuan relevansi hukum yang diterapkan. Hal ini dilakukan demi mencari kebenaran materiil.

Sebaliknya, sistem Anglo Saxon menggunakan model adversarial, di mana hakim bertindak pasif dan hanya menjadi penengah antara dua pihak yang berperkara: jaksa dan pembela. Para pihak bertanggung jawab penuh atas pembuktian di persidangan, dan kebenaran diperoleh melalui pertarungan argumen hukum antar pihak. Akibatnya, kualitas pembuktian sangat bergantung pada keterampilan para pihak, bukan pada penyelidikan aktif oleh pengadilan.

Persoalan pembuktian juga menjadi pembeda krusial. Dalam sistem kontinental, pembuktian bersifat formal dengan mengikuti tata cara yang ditentukan dalam hukum acara pidana (KUHAP), dan hakim memiliki kewenangan besar untuk menyelidiki kebenaran materiil. Bukti-bukti dinilai berdasarkan standar pembuktian yang objektif dan logis.

Sementara itu, dalam sistem Anglo Saxon, pembuktian bersifat bebas dan lebih fleksibel, didasarkan pada prinsip beyond a reasonable doubt. Selain itu, terdapat sistem jury trial dalam Common Law, di mana penilaian fakta dilakukan oleh juri rakyat (lay judges), dan hakim hanya memberikan pengarahan hukum. Contohnya adalah dalam sistem hukum pidana federal Amerika Serikat, yang mewajibkan juri dalam sebagian besar tindak pidana serius.

Dalam konteks perlindungan hak tersangka atau terdakwa, kedua sistem memiliki pendekatan yang berbeda. Sistem kontinental menekankan perlindungan hukum melalui peran aktif negara, di mana prosedur hukum telah ditentukan secara ketat demi melindungi hak-hak tersangka. Adanya prinsip nullum crimen sine lege dan presumption of innocence menjadi pilar utama yang dijamin oleh hukum positif.

Sementara dalam sistem Common Law, hak-hak terdakwa dijamin melalui mekanisme due process of law dan kontrol publik melalui juri serta proses banding. Peran pengacara pembela dalam Common Law lebih menonjol karena pembelaan menjadi bagian dari mekanisme pencarian keadilan.

Secara normatif, banyak negara saat ini tidak lagi murni menerapkan satu sistem hukum pidana saja, melainkan mengadopsi elemen dari kedua sistem untuk memperkuat mekanisme peradilan mereka. Indonesia, misalnya, secara historis menganut sistem hukum kontinental warisan Belanda, dengan KUHP yang mengacu pada Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.

Namun dalam praktiknya, sistem hukum Indonesia mengalami pengaruh dari Common Law, terutama melalui praktik-praktik litigasi modern, pembentukan Mahkamah Konstitusi, dan pengakuan terhadap putusan internasional. Reformasi hukum pidana melalui UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP juga menunjukkan kecenderungan ke arah modernisasi sistem hukum dengan memasukkan prinsip-prinsip HAM, asas legalitas, dan penguatan peran hakim.

Penelitian terbaru dari World Justice Project Rule of Law Index 2024 menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem Common Law seperti Selandia Baru dan Inggris menduduki peringkat tinggi dalam indeks penegakan hukum dan perlindungan hak-hak individu. Di sisi lain, negara-negara bertradisi kontinental seperti Jerman dan Prancis juga menunjukkan kinerja baik dalam aspek kepastian hukum dan efektivitas sistem peradilan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua sistem memiliki keunggulan masing-masing, dan efektivitas hukum pidana sangat tergantung pada kualitas institusi, budaya hukum, dan integritas aparat penegak hukum.

Dalam tataran akademik, perdebatan antara keunggulan sistem kontinental dan Anglo Saxon terus berlangsung. Sistem kontinental dinilai unggul dalam hal kepastian hukum karena hukum tertulis menyediakan panduan jelas bagi aparat hukum dan masyarakat. Namun sistem ini dianggap kaku dan kurang responsif terhadap perkembangan sosial.

Sebaliknya, sistem Anglo Saxon dianggap lebih adaptif dan fleksibel karena hukum berkembang melalui preseden, tetapi sering dikritik karena dapat menghasilkan ketidakpastian hukum dan ketergantungan yang tinggi pada interpretasi hakim. Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat hibrida atau eklektik kini semakin dikembangkan di banyak negara, termasuk dalam ranah hukum pidana internasional, seperti yang terlihat dalam praktik International Criminal Court (ICC) yang menggabungkan unsur inkuisitorial dan adversarial dalam prosedurnya.

Dalam konteks global, harmonisasi sistem hukum pidana menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam menghadapi kejahatan transnasional seperti terorisme, perdagangan manusia, dan korupsi. Instrumen seperti Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC) dan Konvensi PBB Menentang Kejahatan Terorganisir Transnasional (UNTOC) mendorong negara-negara, baik yang menganut sistem kontinental maupun Anglo Saxon, untuk menyelaraskan hukum pidana mereka guna memperkuat kerja sama internasional. Di sinilah pentingnya pendekatan komparatif agar setiap negara mampu mengadopsi elemen terbaik dari masing-masing sistem dalam kerangka reformasi hukum pidana nasional.

Sebagai Penutup, perbandingan antara sistem hukum pidana kontinental dan Anglo Saxon mengungkap perbedaan mendasar dalam aspek sumber hukum, peran hakim, proses pembuktian, dan perlindungan hak-hak terdakwa. Sistem kontinental menawarkan kepastian hukum melalui kodifikasi, sementara sistem Anglo Saxon menjamin fleksibilitas dan adaptabilitas melalui preseden yudisial. Kedua sistem memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, namun keduanya bertujuan untuk menegakkan keadilan dan menjaga tatanan sosial.

Dalam dunia yang semakin terintegrasi, diperlukan pendekatan yang adaptif, inklusif, dan kontekstual dalam menyusun kebijakan hukum pidana nasional. Indonesia perlu terus melakukan pembaruan hukum pidana dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip universal keadilan dan HAM, tanpa meninggalkan akar tradisi hukumnya sendiri. Melalui studi komparatif yang mendalam, sistem hukum nasional dapat memperkaya dirinya dan menjadi lebih responsif terhadap dinamika global dan kebutuhan masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun