Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Penulis

Geopolitics, Democracy, Activism, Politics, Law, and Social Culture.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Konsep Keadilan Restoratif dalam Hukum Pidana Islam

2 Juli 2025   16:55 Diperbarui: 2 Juli 2025   16:53 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum Islam (Sumber Gambar: iStock/May Lim)

Konsep keadilan dalam hukum pidana Islam memiliki akar yang kuat pada nilai-nilai transendental dan etis yang berlandaskan pada maqasid al-syari‘ah, yaitu perlindungan terhadap agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Dalam konteks ini, keadilan bukan hanya dimaknai sebagai pemberian hukuman yang setimpal (retributif), melainkan juga sebagai upaya memulihkan hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana. Konsep ini dikenal sebagai al-adl al-jabri atau keadilan restoratif dalam tradisi hukum Islam klasik.

Berbeda dari sistem hukum pidana positif yang lebih menitikberatkan pada penghukuman oleh negara, hukum pidana Islam memberi ruang luas bagi rekonsiliasi, mediasi, dan pengampunan yang melibatkan pelaku dan korban atau wali korban. Pendekatan ini tampak dalam konteks diyat (kompensasi), afw (pemaafan), dan sulh (perdamaian) yang merupakan pilar utama dalam sistem pidana Islam.

Dalam kasus pembunuhan, misalnya, hukum pidana Islam menetapkan tiga pilihan bagi keluarga korban: qishash (hukuman setimpal), diyat (kompensasi), atau afw (pengampunan). Pilihan ini menunjukkan bahwa Islam tidak memaksakan balas dendam sebagai satu-satunya bentuk keadilan, melainkan memberikan kesempatan kepada pihak korban untuk mempertimbangkan kepentingan jangka panjang, seperti perdamaian sosial dan keberlanjutan hubungan masyarakat.

Surah Al-Baqarah ayat 178 menjadi dasar hukum yang kuat untuk pendekatan ini: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh... tetapi barang siapa yang diberi maaf oleh saudaranya, maka hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik..." Ayat ini dengan jelas menggambarkan nilai rekonsiliasi sebagai bagian dari keadilan ilahiah, bukan sekadar pembalasan yang setimpal.

Menurut penelitian Abdullahi Ahmed An-Na'im (2019), sistem qishash dan diyat dalam Islam dapat dikategorikan sebagai bentuk keadilan restoratif karena memperhatikan keseimbangan antara hak individu, hak masyarakat, dan hak Tuhan. Dalam kasus pencurian, meskipun hukuman potong tangan disebutkan dalam Al-Qur’an (Al-Ma’idah: 38), penerapannya sangat ketat dan memerlukan syarat yang kompleks.

Sejumlah ulama klasik, seperti Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, menyatakan bahwa hukuman potong tangan dapat dibatalkan apabila terdapat unsur syubhat (keraguan), atau jika korban memaafkan dan terjadi pengembalian barang curian. Ini menunjukkan bahwa prinsip pemaafan dan perdamaian diutamakan selama keadilan sosial tetap terjaga. Dalam konteks modern, hal ini sejalan dengan pendekatan keadilan restoratif yang menekankan partisipasi sukarela korban dan pelaku dalam mencapai resolusi yang adil.

Dalam sistem peradilan modern, konsep keadilan restoratif mulai diadopsi secara luas, termasuk oleh negara-negara dengan sistem hukum sekuler. Di Indonesia, misalnya, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang mendorong pendekatan keadilan restoratif. Hal ini menunjukkan adanya resonansi antara nilai-nilai hukum pidana Islam dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif kontemporer.

Sebuah studi dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 2023 menyebutkan bahwa pendekatan restoratif dalam kasus anak di bawah umur terbukti mengurangi angka residivisme dan mempercepat reintegrasi sosial pelaku ke dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, keterlibatan korban, keluarga pelaku, dan tokoh masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa kriminal memberikan dampak yang lebih positif dibandingkan penghukuman semata.

Keadilan restoratif dalam hukum pidana Islam tidak hanya berhenti pada aspek individual, tetapi juga menekankan transformasi sosial. Institusi hisbah, misalnya, bukan hanya berfungsi sebagai pengawas moral masyarakat, tetapi juga berperan dalam mencegah kejahatan dan menyelesaikan konflik secara damai sebelum masuk ke ranah litigasi. Ini menjadi bentuk pencegahan yang integral dalam sistem pidana Islam.

Selain itu, dalam sejarahnya, Nabi Muhammad SAW sering kali menyelesaikan perkara kriminal dengan pendekatan mediasi dan sulh. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah menyatakan: “Perdamaian (sulh) diperbolehkan di antara kaum Muslimin kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” Hadis ini menjadi landasan penting dalam mengembangkan keadilan restoratif berbasis syariah yang tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan substantif.

Konsep ini juga mendapat pengakuan dalam literatur hukum Islam kontemporer. Misalnya, dalam buku "Restorative Justice in Islamic Criminal Law" karya Mohd. Ariff Yusof (2020), dijelaskan bahwa pendekatan restoratif memiliki akar historis dan normatif yang kuat dalam tradisi Islam. Ia menyoroti bahwa dalam hukum Islam, penyelesaian konflik lebih difokuskan pada pemulihan hubungan sosial dan moralitas, bukan pada penghukuman semata.

Hal ini bertolak belakang dengan sistem hukum modern yang sering kali menghasilkan dehumanisasi terhadap pelaku kejahatan melalui penjara. Dalam sistem pidana Islam, sanksi hanya menjadi alternatif terakhir ketika upaya mediasi dan rekonsiliasi tidak membuahkan hasil. Pendekatan ini sangat relevan untuk diterapkan di era modern ketika beban lembaga pemasyarakatan semakin tinggi, dan masyarakat membutuhkan sistem peradilan yang lebih manusiawi.

Namun demikian, implementasi keadilan restoratif dalam konteks negara modern masih menghadapi tantangan, terutama dalam menyelaraskan antara prinsip syariah dan sistem hukum nasional. Di beberapa negara mayoritas Muslim, seperti Arab Saudi dan Pakistan, penerapan prinsip diyat dan qishash masih dibatasi oleh otoritas negara dan belum sepenuhnya menyerahkan proses ke tangan komunitas atau keluarga korban.

Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan model keadilan restoratif Islam yang ideal. Oleh karena itu, diperlukan reinterpretasi terhadap teks-teks klasik serta ijtihad kontemporer agar prinsip-prinsip ini dapat diimplementasikan secara efektif dalam sistem hukum modern tanpa mengabaikan hak-hak korban dan pelaku.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum pidana Islam secara inheren mengandung prinsip keadilan restoratif yang berfokus pada pemulihan, perdamaian, dan pemaafan. Nilai-nilai ini memiliki kesesuaian yang tinggi dengan pendekatan keadilan restoratif modern, bahkan dalam banyak hal lebih mendalam secara spiritual dan sosial.

Integrasi antara nilai-nilai tersebut dengan sistem hukum nasional merupakan langkah strategis untuk membangun peradilan pidana yang lebih humanis dan berkeadilan. Oleh karena itu, pengembangan hukum pidana Islam ke depan perlu diarahkan untuk memperkuat mekanisme penyelesaian konflik berbasis komunitas dengan tetap menjaga prinsip keadilan substantif yang menjadi inti dari syariah Islam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun