Konsep keadilan dalam hukum pidana Islam memiliki akar yang kuat pada nilai-nilai transendental dan etis yang berlandaskan pada maqasid al-syari‘ah, yaitu perlindungan terhadap agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Dalam konteks ini, keadilan bukan hanya dimaknai sebagai pemberian hukuman yang setimpal (retributif), melainkan juga sebagai upaya memulihkan hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana. Konsep ini dikenal sebagai al-adl al-jabri atau keadilan restoratif dalam tradisi hukum Islam klasik.
Berbeda dari sistem hukum pidana positif yang lebih menitikberatkan pada penghukuman oleh negara, hukum pidana Islam memberi ruang luas bagi rekonsiliasi, mediasi, dan pengampunan yang melibatkan pelaku dan korban atau wali korban. Pendekatan ini tampak dalam konteks diyat (kompensasi), afw (pemaafan), dan sulh (perdamaian) yang merupakan pilar utama dalam sistem pidana Islam.
Dalam kasus pembunuhan, misalnya, hukum pidana Islam menetapkan tiga pilihan bagi keluarga korban: qishash (hukuman setimpal), diyat (kompensasi), atau afw (pengampunan). Pilihan ini menunjukkan bahwa Islam tidak memaksakan balas dendam sebagai satu-satunya bentuk keadilan, melainkan memberikan kesempatan kepada pihak korban untuk mempertimbangkan kepentingan jangka panjang, seperti perdamaian sosial dan keberlanjutan hubungan masyarakat.
Surah Al-Baqarah ayat 178 menjadi dasar hukum yang kuat untuk pendekatan ini: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh... tetapi barang siapa yang diberi maaf oleh saudaranya, maka hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik..." Ayat ini dengan jelas menggambarkan nilai rekonsiliasi sebagai bagian dari keadilan ilahiah, bukan sekadar pembalasan yang setimpal.
Menurut penelitian Abdullahi Ahmed An-Na'im (2019), sistem qishash dan diyat dalam Islam dapat dikategorikan sebagai bentuk keadilan restoratif karena memperhatikan keseimbangan antara hak individu, hak masyarakat, dan hak Tuhan. Dalam kasus pencurian, meskipun hukuman potong tangan disebutkan dalam Al-Qur’an (Al-Ma’idah: 38), penerapannya sangat ketat dan memerlukan syarat yang kompleks.
Sejumlah ulama klasik, seperti Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, menyatakan bahwa hukuman potong tangan dapat dibatalkan apabila terdapat unsur syubhat (keraguan), atau jika korban memaafkan dan terjadi pengembalian barang curian. Ini menunjukkan bahwa prinsip pemaafan dan perdamaian diutamakan selama keadilan sosial tetap terjaga. Dalam konteks modern, hal ini sejalan dengan pendekatan keadilan restoratif yang menekankan partisipasi sukarela korban dan pelaku dalam mencapai resolusi yang adil.
Dalam sistem peradilan modern, konsep keadilan restoratif mulai diadopsi secara luas, termasuk oleh negara-negara dengan sistem hukum sekuler. Di Indonesia, misalnya, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang mendorong pendekatan keadilan restoratif. Hal ini menunjukkan adanya resonansi antara nilai-nilai hukum pidana Islam dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif kontemporer.
Sebuah studi dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 2023 menyebutkan bahwa pendekatan restoratif dalam kasus anak di bawah umur terbukti mengurangi angka residivisme dan mempercepat reintegrasi sosial pelaku ke dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, keterlibatan korban, keluarga pelaku, dan tokoh masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa kriminal memberikan dampak yang lebih positif dibandingkan penghukuman semata.
Keadilan restoratif dalam hukum pidana Islam tidak hanya berhenti pada aspek individual, tetapi juga menekankan transformasi sosial. Institusi hisbah, misalnya, bukan hanya berfungsi sebagai pengawas moral masyarakat, tetapi juga berperan dalam mencegah kejahatan dan menyelesaikan konflik secara damai sebelum masuk ke ranah litigasi. Ini menjadi bentuk pencegahan yang integral dalam sistem pidana Islam.
Selain itu, dalam sejarahnya, Nabi Muhammad SAW sering kali menyelesaikan perkara kriminal dengan pendekatan mediasi dan sulh. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah menyatakan: “Perdamaian (sulh) diperbolehkan di antara kaum Muslimin kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” Hadis ini menjadi landasan penting dalam mengembangkan keadilan restoratif berbasis syariah yang tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan substantif.