Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto sebaiknya dikoreksi soal ukuran demokrasi sehat yang diucapkannya. Sebab ukuran yang dipakainya adalah lebih kepada pengalaman pribadi ketimbang sesuatu yang bisa diukur secara objektif.
Alangkah bagusnya jika pernyataan Prabowo mengenai demokrasi yang sehat itu dapat ditopang oleh data yang kuat, dengan begitu argumentasi menjadi lebih terpercaya.
Misalnya jika Prabowo mengambil Indeks demokrasi Indonesia (IDI) dari BPS (Badan Pusat Statistik), itu akan lebih berguna ketimbang mendasari pada pengalaman pribadi.Â
Dengan data IDI itu sendiri saja sesungguhnya Prabowo bisa membantah pernyataan Capres nomor urut 1 Anies Baswedan yang menyatakan indeks demokrasi Indonesia menurun.
Data mengenai indeks demokrasi Indonesia oleh BPS teranyar yaitu tahun 2022. Di mana indeks demokrasi Indonesia naik sebesar 2,93 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, atau berada dalam angka 80,41.
Tetapi Anies Baswedan juga bisa benar jika ukurannya adalah data yang ditampilkan oleh Economist Intelligence Unit (EIU). Di mana skor Indeks demokrasi Indonesia berada di poin 6,71.
Angka itu menjadi ukuran Indonesia turun ke posisi 54 negara demokratis di dunia, serta menyandang kategori demokrasi cacat.
Tetapi data masih dapat dipertengkarkan, argumentasi dapat diputar melingkar melewati batas-batas rasional, yang pada akhirnya berujung pada serangan atau pembelaan diri.
Maka data-data tadi sesungguhnya harus diuji dengan kondisi di lapangan. Apakah benar indeks Demokrasi Indonesia yang disebutkan tinggi sesuai dengan apa yang dirasakan?
Jika sudah sampai pada tahap ini, barulah sah jika Prabowo ataupun Anies ataupun Ganjar Pranowo mendasarkan pada pengalaman, yaitu pengalaman yang berkaitan dengan demokrasi.
Namun begitu, pengalaman demokrasi juga punya indikator. Prabowo Subianto misalnya dalam Debat Capres perdana, 12 Desember 2023, menyebut mulusnya jalan Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta karena demokratisnya rezim Jokowi.Â
Di mana Prabowo pada saat itu memposisikan diri sebagai oposisi, lalu Anies adalah Calon Gubernur yang diusung oleh oposisi, tidak mengalami hambatan, gangguan, atau bahkan rintangan dalam merebut kursi DKI 1.
Selanjutnya indikator demokrasi sehat juga dibuat oleh Prabowo Subianto pada suatu pertemuan di Bogor, 16 Desember 2023, yaitu demokrasi sehat tercermin dari prosesi rutin Presiden Indonesia turun dari jabatan dalam keadaan damai, dari masa ke masa.
Tetapi ada indikator lain, yang tidak dirasakan oleh Prabowo Subianto, melainkan hanya dirasakan oleh sesiapa yang benar-benar berseberangan paham mengenai kebijakan dengan Pemerintah.
Harap dicatat bahwa berseberangan di sini bukan dalam pengertian 'berbeda'. Tetapi lebih kepada kontra, lawan, versus, apalagi soal kebijakan strategis nasional.
Salah satu yang mengalami sendiri bagaimana berseberangan dengan pemerintah, atau lebih jelasnya rezim Jokowi, yaitu Capres nomor urut 1, Anies Baswedan.
Beruntungnya tone segera dibunyikan, sehingga Anies bisa mendaftarkan diri sebagai Calon Presiden. Hampir saja Anies dijegal dengan dugaan kasus Formula E, yang sampai kini bukti-buktinya tidak memadai.
Parahnya, upaya penjegalan pencapresan Anies Baswedan yang hampir saja terjadi itu sampai menggunakan lembaga negara, yang dihormati dan dipercaya oleh masyarakat, yaitu KPK.
Bukti lain demokrasi sesungguhnya tidak sehat yaitu adanya istilah "Wakanda" dan "Konoha", yang kerap disebutkan oleh Capres nomor urut 1, Anies Baswedan.
Dua kata itu dipakai untuk menyamarkan nama Indonesia, yang sering diklaim sebagai rezim Jokowi. Sehingga jika mengkritik dengan menggunakan nama 'Indonesia', seolah-olah itu berarti menghina negara, atau menghina Presiden Jokowi.
Konoha dan Wakanda adalah bentuk penghindaran dari delik, supaya pengkritik tetap bebas. Lalu Prabowo mungkin belum sampai kepikiran jika Pemerintah gerah terhadap kritik lantas siap untuk mengkasuskan pengkritik, itu juga sudah mencerminkan demokrasi yang tidak sehat.
Lalu apakah dapat dikatakan demokrasi itu sehat jika dalam setiap pengambilan keputusan, pemerintah selalu mengabaikan suara-suara penolakan dari rakyat?
Omnibus Law UU Ciptaker disahkan, dengan mengabaikan ribuan buruh yang berteriak menolak di jalanan. Juga merupakan bentuk demokrasi yang tidak sehat.
Selanjutnya kasus Rempang, Pemerintah tak memedulikan rakyat yang menolak tanahnya dipakai. Mereka berupa dibujuk, diancam dengan kehadiran aparat.
Pada intinya rakyat yang salah, Menteri Bahlil Lahadalia ditugaskan untuk membereskan, entah membujuk, mengiming-imingi duit, atau paksa sekalian.
Pada akhirnya argumentasi Prabowo mengenai demokrasi sehat tertolak dengan sendirinya. Semoga Pilpres 2024 nanti dapat melahirkan pemimpin yang benar-benar mampu menyehatkan demokrasi di Indonesia.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI