Swasembada pangan merupakan suatu keniscayaan, tidak hanya untuk memenuhi asupan energi untuk kelangsungan hidup, namun swasembada merupakan indikator eksistensi suatu negara dalam menghadapi perang pangan dan energi. Kelangkaan pangan akan berdampak pada stabilitas sosial dan politik suatu negara. Data Statistik menujukkan, sumber pangan utama masyarakat Indonesia adalah padi/beras (Susenas September 2022), bahwa sebanyak 98,35 persen rumah tangga mengkonsumsi beras. Akhir tahun 2023 jumlah penduduk Indonesia mencapai 278,7 juta jiwa dengan tingkat konsumsi beras per kapita sebesar 81,23 kg/tahun dan angka ini turun sebasar 0,15 persen jika dibandingkan tahun 2022.Â
Pada tahun 2023 Produksi beras (30,9 juta ton) dan kebutuhan beras (30 juta ton) atau mengalami penurunan dibandingkan tahun 2022, dimana produksi beras sebesar 31 juta ton dan konsumsi 30 juta ton. Pada periode 2018-2023 produksi beras cenderung menurun, sementara tingkap konsumsi meningkat dari 30 juta ton pada tahun 2023 naik menjadi 31 juta ton pada tahun 2024 dan 32 juta ton pada tahun 2025. Mencermati tingkat konsumsi semakin naik seiring peningkatan jumlah penduduk sepanjang tahun dan produksi cenderung menurun sebagai akibat berkurangnya luas tanam dan luas panen. Masalah utama yang menyebabkan penurunan produksi padi adalah tingginya kerusakan dan pendangkalan jaringan irigasi tersier lahan sawah produktif. Jika hal ini tidak diantisipasi secara teknis akan mengakibatkan kerawanan pangan dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Fluktuasi produksi beras di Indonesia sangat tergantung pada faktor iklim (Pramono & Romdon 2022; Perdinan et al., 2018). Perubahan iklim ekstrem memberikan dampak negatif terhadap produksi padi di Indonesia. Faktor-faktor seperti suhu, kekeringan, banjir, dan peningkatan serangan hama penyakit secara ekstrem dapat mengganggu pertumbuhan dan mengurangi produksi padi secara signifikan (Wang et al., 2018). Selama periode 1970-2010, kondisi El Nino dan La Nina berturut-turut mengurangi produksi padi nasional sekitar -0,50% dan -0,65%, masing-masing (Irawan 2013). Dampak El Nino pada tingkat nasional terlihat dari penurunan produksi padi di daerah irigasi, yang memaksa pemerintah untuk mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan pasokan pangan.
Selama periode El Nino pada tahun 1972, 1982, 1992, dan 1997, impor beras pemerintah mencapai tingkat tertinggi, yaitu sebesar 615 ribu ton, 1,57 juta ton, 3,67 juta ton, dan 7,1 juta ton. Namun, pada tahun 2002, 2003, 2004, dan 2006, jumlah impor beras mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 1997, yaitu sebesar 3,10 juta ton, 2,4 juta ton, 2,0 juta ton, dan 700 ribu ton (Khudori 2008). Pada El Nino tahun 2015, yang menyebabkan kekeringan dan gagal panen secara masif di beberapa wilayah di Indonesia, secara signifikan menurunkan produksi beras meningkatkan harga beras, serta mengurangi pasokan beras di beberapa daerah sehingga impor beras Indonesia mencapai 1,28 juta ton pada tahun 2016 (Julianto, 2016; Mulyaqin, 2020; Salman, 2016).
Produksi beras juga dipengaruhi oleh luas baku sawah yang dipicu oleh laju alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan, kawasan industri, jalan tol, dan kebutuhan urban lainnya (Purwanti, 2020; Sari & Yuliani, 2022). Laju alih fungsi lahan sawah di Indonesia pada tahun 2000-2015 tercatat mencapai 96.512 hektar per tahun. Angka ini menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kemampuan pemerintah dalam mencetak sawah baru, yang hanya sekitar 20.000-30.000 ha per tahun. Tren alih fungsi lahan ini akan terus berlanjut sejalan dengan pengembangan infrastruktur jalan tol beserta turunannya. Diprediksi akan tersisa 5,1 juta hektar lahan sawah di tahun 2045 (Mulyani et al., 2016), jauh di bawah luas baku lahan sawah tahun 2019 sebesar 7,46 juta hektar (Badan Pertanahan Nasional, 2019; Yuniartha, 2020).
Produksi padi di Indonesia tahun 2022 tercatat mengalami peningkatan sebesar 1,25 juta ton GKG atau 2,31 persen dibandingkan produksi padi pada tahun 2021 yang mencapai 54,42 juta ton GKG (Badan Pusat Statistik, 2022; Sutrisno, 2022). Peningkatan produksi ini disebabkan oleh peningkatan luas panen padi sebesar 10,61 juta hektar dengan jumlah produksi sekitar 55,67 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Akan tetapi, kenaikan produksi padi ini ternyata belum mampu memenuhi permintaan kebutuhan beras nasional tercermin dari peningkatan harga beras domestik, volume impor beras dan komoditas pangan lainnya, terutama terigu (Ariska dan Qurniawan, 2021; Rahayu dan Febriaty 2019).
Berdasarkan proyeksi baseline, konsumsi beras per kapita di Indonesia diperkirakan akan meningkat sebesar 1,5% menjadi 99,08 kilogram per kapita per tahun pada tahun 2025. Apabila Indonesia tidak mampu menurunkan konsumsi beras per kapita, maka konsumsi beras pada tahun 2045 akan mencapai 99,55 kilogram per kapita (Arifin 2018). Diperlukan 35,4 juta ton beras atau setara dengan 64,4 juta ton GKG untuk memenuhi kebutuhan 354 juta penduduk Indonesia pada tahun 2045.
Tahun 2023 luas panen padi diperkirakan sebesar 10,20 juta hektar dengan produksi padi sekitar 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG). Jika dikonversi menjadi beras untuk konsumsi penduduk, produksi beras pada 2023 diperkirakan sebesar 30,90 juta ton. Sementara luas panen padi pada 2023 diperkirakan sekitar 10,20 juta hektar mengalami penurunan sebanyak 255,79 ribu hektar atau 2,45 persen dibandingkan luas panen padi di 2022 yang sebesar 10,45 juta hektar. Produksi padi pada 2023 diperkirakan sebesar 53,63 juta ton GRK, mengalami penurunan sebanyak 1,12 juta ton GKG atau 2,05 persen dibandingkan produksi padi di 2022 yang sebesar 54,75 juta ton GKG.
Sementara jika mencermati perkembangan produksi dan kebutuhan beras nasional pada 2018-2024 menunjukkan fluktuasi. Pada 2018 produksi beras mencapai 34 juta ton dengan tingkat kebutuhan beras sebesar 30 juta ton, selanjutnya pada 2019-2022 terjadi penurunan produksi beras pada periode tersebut sebesar 31 juta ton dengan tingkat kebutuhan beras yang fluktuatif. Antara produksi dan kebutuhan beras masih relatif aman karena kebutuhan lebih rendah dibandingkan produkdi (ketersediaan), namun tren produksi stagnan. Selanjutnya pada 2023 terjadi penurunan produksi dibanding pada 2022 yaitu dari 31 juta ton menjadi 30,9 juta ton beras dengan tingkat kebutuhan beras sebesar 30 juta ton, yang mengakibatkan import beras sebesar 3,1 juta ton.
Penurunan produksi tersebut dipicu oleh kekeringan diberbagai daerah akibat El Nino yang menyebabkan ketersediaan air tidak memadai untuk pertumbuhan padi dan disebabkan oleh faktor-faktor teknis lain terutama ketersediaan faktor-faktor produksi dan infrastruktur pertanian terutama sistem jaringan irigasi. Kecenderungan penurunan produksi tersebut tentu tidak bisa dipandang enteng dalam jangka menengah dan jangka panjang, karena akan berdampak sistemik terhadap ketahanan pangan dan eksistensi sosial dan politiknasional. Sehingga diperlukan langkah- langkah nyata teknis dalam upaya peningkatan produksi padi/beras nasional dengan memaksimalkan seluruh sumberdaya pertanian yang ada melalui pendekatan strategi kebijakan efektif dan tepat sasaran.
Salah satu permasalahan terbesar dalam sektor pertanian adalah pada pengelolaan air yang tidak tepat dan tidak efisien, padahal sumber daya air berperan penting dalam kehidupan dan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, air harus dikelola oleh negara untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat secara merata agar dapat dimanfaatkan secara berkeadilan.Negara harus mampu menjamin hak penguasaan atas air dan berperan penting dalam membuat kebijakan, memegang kendali pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Namun perlu prioritas pengelolaan sumber daya air, penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat. Dalam kaitan ini dibutuhkan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan atau regulasi pengelolaan irigasi.