Mohon tunggu...
Qoshdus Sabil al Usama
Qoshdus Sabil al Usama Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa ingin memberikan algoritma mengenai terapan ilmu psikologi bagaimana cara dunia bekerja

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Dari story ke start line FOMO yang mendorong budaya lari massal

11 Oktober 2025   06:51 Diperbarui: 11 Oktober 2025   06:51 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Beberapa tahun terakhir, pemandangan ribuan orang berlari di jalanan kota bukan lagi sesuatu yang aneh. Setiap akhir pekan, linimasa media sosial kita dipenuhi oleh pemandangan yang sama foto-foto para pelari dengan nomor dada, pose bangga di depan garis finis, video reels slow motion saat berlari, hingga sertifikat virtual yang dibagikan di Instagram Story. Kegiatan lari yang dahulu identik dengan latihan atletik atau olahraga individu sederhana kini menjelma menjadi fenomena sosial yang masif. Banyak orang berbondong-bondong ikut event lari bukan semata karena kebutuhan olahraga, melainkan karena takut ketinggalan momen. Inilah fenomena FOMO (Fear of Missing Out) yang perlahan membentuk budaya lari massal di Indonesia.

FOMO atau Fear of Missing Out adalah rasa takut tertinggal dari pengalaman sosial yang sedang tren. FOMO muncul ketika seseorang melihat unggahan teman-temannya di media sosial tentang partisipasi mereka dalam suatu acara lari, foto-foto di garis start dengan outfit olahraga kekinian, atau medali finisher yang dibanggakan di Instagram Story.

 Fenomena ini bukanlah sekadar tren musiman. Dalam satu dekade terakhir, jumlah event lari di Indonesia meningkat signifikan. Berdasarkan data dari komunitas IndoRunners, sebelum pandemi terdapat lebih dari 300 event lari yang digelar setiap tahun di berbagai kota besar, mulai dari fun run 5K, charity run, hingga maraton berskala internasional. 

Pasca-pandemi, tren ini justru melonjak. Banyak masyarakat menjadikan olahraga lari sebagai cara untuk "kembali aktif" sekaligus bagian dari identitas sosial mereka. Di balik geliat positif ini, ada dinamika psikologis menarik yang mendorong banyak orang berlari bukan semata demi kesehatan, melainkan karena dorongan sosial pengaruh norma sosial (Normative Social Influence).

Dalam psikologi sosial, Normative Social Influence (Deutsch & Gerard, 1955) menjelaskan bahwa individu cenderung mengikuti perilaku orang lain untuk mendapatkan penerimaan sosial dan menghindari penolakan. Artinya, seseorang bisa ikut terlibat dalam suatu aktivitas bukan karena benar-benar menginginkannya secara personal, melainkan karena "semua orang melakukannya." Tekanan halus dari lingkungan sosial membuat individu merasa perlu menyesuaikan diri agar tidak dianggap "aneh", "terlambat", atau "tidak gaul".

FOMO sendiri adalah fenomena emosional yang muncul ketika seseorang merasa tertinggal terhadap pengalaman yang sedang atau telah dialami orang lain. Dalam substansi lari, ini tampak jelas di dunia digital. Saat seseorang membuka Instagram pada Sabtu pagi atau Minggu pagi dan melihat teman-temannya sudah post story di garis finis acara fun run tertentu, ia bisa merasakan campuran antara kekaguman, rasa iri halus, dan ketakutan "tidak ikut dalam momen itu". Lama-lama, tekanan sosial ini mendorongnya untuk ikut mendaftar pada event berikutnya bukan semata karena ingin olahraga, tapi agar tidak "ketinggalan perayaan".

Psikolog olahraga, Dr. Rima Widyaningsih, dalam sebuah wawancara untuk Kompas Health (2024) menjelaskan, "Media sosial mengubah dinamika motivasi olahraga. Dulu, orang berlari untuk diri sendiri. Sekarang, banyak yang berlari untuk dilihat orang lain. FOMO membuat orang takut menjadi satu-satunya yang tidak ikut dalam euforia lari massal."

Contoh Nyata FOMO dalam Budaya Lari

Contoh paling jelas dapat dilihat pada event Jakarta Marathon. Setiap tahunnya, pendaftaran selalu membludak. Banyak peserta pemula yang bahkan tidak memiliki kebiasaan olahraga rutin, tetapi tetap ikut mendaftar. Salah satu alasan yang sering terdengar "Semua teman kantor ikut, masa aku enggak?" atau "Pengen punya foto di garis finish kayak yang lain." Tak sedikit dari mereka yang akhirnya berlatih terburu-buru menjelang lomba, bahkan ada yang mengalami cedera ringan karena memaksakan diri demi tampil "keren" di hari-H.

Fenomena ini juga muncul dalam komunitas lari kampus atau perkantoran. Misalnya, seorang mahasiswa awalnya tidak tertarik ikut fun run. Namun setelah melihat semua temannya mengunggah foto latihan bersama dan mendaftar lomba kampus 10K, ia akhirnya ikut tak ingin jadi satu-satunya yang "tidak punya story keren" minggu itu. Padahal, ia belum terbiasa berlari jarak jauh. Hasilnya, ia kelelahan dan kurang menikmati pengalaman tersebut.

Contoh lainnya datang dari dunia digital. Banyak aplikasi lari kini memiliki fitur leaderboard dan sharing otomatis ke media sosial. Hal ini menciptakan atmosfer kompetitif dan norma sosial tersendiri. Jika seseorang melihat teman-temannya sudah mencatat jarak tempuh 50 km dalam sebulan, ia merasa "terpanggil" untuk tidak kalah, meski awalnya tidak punya target seperti itu. Fitur ini, yang secara desain memanfaatkan norma sosial, mendorong keterlibatan tetapi juga memperkuat tekanan FOMO.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun