FOMO dalam subtansi lari tidak selalu buruk. Pengaruh norma sosial bisa menjadi pendorong motivasi eksternal yang efektif, terutama bagi pemula. Banyak orang mengaku mulai berlari karena "terinspirasi" teman-temannya, lalu akhirnya menjadikan lari sebagai kebiasaan jangka panjang. Data dari Global Running Survey 2023 menunjukkan bahwa 41% pelari pemula memulai rutinitas lari karena "ingin ikut serta dalam tren sosial atau event komunitas".
Di Indonesia sendiri, komunitas seperti IndoRunners atau Run for Indonesia berhasil menciptakan budaya olahraga yang inklusif. Kegiatan lari massal menjadi ruang pertemuan lintas profesi, usia, dan latar belakang sosial. Orang yang sebelumnya tidak aktif berolahraga menjadi terdorong untuk mulai bergerak, menjaga kesehatan, dan menjalin koneksi sosial yang positif.
Dalam kerangka Normative Social Influence, ini bisa dipahami sebagai bentuk internalisasi norma kelompok. Ketika norma komunitas adalah "semua anggota berlari minimal seminggu sekali", maka individu terdorong untuk melakukannya agar diterima dan diakui. Jika proses ini berjalan sehat, tekanan sosial tersebut bisa berubah menjadi rutinitas positif.
Akan tetapi, di sisi lain, FOMO juga membawa dampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Tekanan untuk selalu "ikut" bisa menyebabkan individu berolahraga dengan motivasi dangkal. Mereka berlari bukan karena menikmati prosesnya, tetapi demi tampil di media sosial atau tidak dianggap "tidak gaul". Akibatnya, pengalaman olahraga menjadi permukaan semata, tanpa kedalaman personal.
Tekanan sosial ini dapat memicu perilaku tidak sehat. Misalnya, seseorang yang kurang persiapan memaksakan diri ikut lomba lari jarak jauh hanya karena teman-temannya ikut. Hal ini dapat meningkatkan risiko cedera, dehidrasi, atau kelelahan akut. Selain itu, ada tekanan citra tubuh orang merasa harus terlihat "fit" atau "atletik" agar pantas bergabung dalam komunitas lari, sehingga muncul kecemasan performa atau bahkan body image issue.
Penelitian dari Universitas Indonesia (2023) mencatat bahwa 32% peserta event lari di Jakarta mengalami stres ringan hingga sedang sebelum lomba, bukan karena kompetisi, melainkan karena tekanan sosial untuk "tidak tampil buruk" atau "tidak menjadi satu-satunya yang tidak ikut".
Berlari untuk Siapa?
Pada titik ini, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk merefleksikan fenomena ini secara jernih. Lari adalah aktivitas fisik yang sederhana dan menyehatkan. Namun dalam pusaran FOMO dan norma sosial digital, maknanya bisa bergeser dari "olahraga untuk kesehatan" menjadi "olahraga untuk pengakuan".
Kita perlu bertanya: Apakah kita berlari untuk diri sendiri, atau untuk dilihat orang lain?
Jika jawaban jujur kita lebih condong ke yang kedua, maka penting untuk menata ulang motivasi. Tekanan sosial dapat menjadi pendorong awal, tetapi untuk menjadikan olahraga sebagai gaya hidup jangka panjang, dibutuhkan motivasi intrinsik kesenangan, kenyamanan, dan makna personal.
Para penyelenggara event dan komunitas juga memiliki peran penting. Mereka dapat mendesain kegiatan yang lebih inklusif, menekankan proses daripada sekadar pencapaian. Misalnya, memberikan ruang apresiasi untuk pelari pemula, mengadakan sesi edukasi tentang kesehatan fisik sebelum lomba, atau mengurangi tekanan kompetitif berlebihan.