Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Risalah tentang Doa: Instrumen Bernegosiasi dan Menawar Takdir Tuhan

7 April 2024   15:06 Diperbarui: 7 April 2024   16:29 1664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bulan Ramadhan atau di bulan-bulan lainnya, setiap hari jutaan bahkan miliaran doa-doa dipanjatkan kepada yang Maha Kuasa. Dan kita biasanya sering sulit memastikan mana doa yang dikabulkan penuh, doa yang dikabulkan separuh, doa yang dialihkan pengabulannya, doa yang tertunda, atau mungkin doa yang ditolak.

Saya termasuk orang yang pernah mengalami periode di mana saya sering merasa bahkan cenderung meyakini bahwa sebagian besar doa-doa yang pernah dipanjatkan ternyata tidak/belum terkabulkan.

Kemudian, setelah melalui proses perenungan yang cukup lama, saya akhirnya memiliki cukup alasan untuk menegaskan bahwa ternyata sebagian besar doa-doa kebaikan pada akhirnya akan terkabulkan pada saatnya, dengan satu dan lain cara. Dan itu panjang ceritanya.

Doa sebagai ibadah

Dalam bahasa Arab, kata doa (terdiri dari tiga hurup: dal-'ain-alif) bermakna memanggil yang mengandung unsur permintaan atau permohonan. Kadang juga diartikan mengundang atau mengajak.


Secara terminologi, doa adalah keinginan yang dipanjatkan dan dimohonkan kepada Zat Yang Maha Kuasa, dengan harapan keinginan itu menjadi kenyataan, dan permohonan itu sendiri mengandung nilai ibadah. Batasan "...kepada Zat Yang Maha Kuasa... dan muatan beribadah" untuk mengeluarkan permohonan yang diajukan kepada sesama makhluk.

Setiap kali berdoa, kita lazimnya akan fokus dan berharap agar doa-doa kita segera dikabulkan. Pada saat yang sama, kita sering lalai terhadap esensi doa itu sendiri, yakni doa adalah ibadah. Sebuah riwayat menyebutkan:

" "

"Bahwa doa adalah inti ibadah" (HR Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad)

Dengan kata lain, doa dan berdoa seharusnya diposisikan sebagai tindakan melaksanakan atau mentaati perintah Allah swt. Doa merupakan salah satu bukti penghambaan diri. Terlepas apakah doa itu dikabulkan atau tidak. Dan itulah makna dari firman Allah swt:

" "

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran" (QS Al-Baqarah ayat 186).

Di ayat lain, Allah swt berfirman:

"Dan Tuhanmu berfirman: 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu'" (QS Ghafir /Al-Mukmin, ayat 60).

Karena itu, setiap kali berdoa, seharusnya kita lebih mendahulukan unsur-muatan ibadahnya, dibanding harapan agar doa dikabulkan.

Jangan-jangan, doa yang kita anggap tidak/belum terkabulkan, sebab ketika memanjatkannya, kita lebih fokus pada harapan untuk dikabulkan, dan relatif tidak terlalu meresapi muatan ibadahnya.

Lebih parah lagi, kita juga seringkali terlalu mengandalkan kapasitas pribadi ketika berdoa. Misalnya klaim bahwa kita sudah banyak berbuat baik, sehingga merasa berhak mengklaim bahwa doa-doa kita layak dikabulkan.

Dua ayat Quran di atas, dan beberapa ayat Quran lainnya yang berbicara tentang doa, kalau dicermati sebenarnya lebih bermakna bahwa Allah swt pasti akan merespon setiap doa yang dipanjatkan. Dan kata "merespon" atau "menaggapi" di sini tidak selalu identik dengan pengabulan.

Empat kemungkinan respons Allah terhadap doa

Setiap doa yang dipanjatkan dan dimohonkan memiliki empat bentuk respons dari Allah swt: dikabulkan, dialihkan, ditunda atau ditolak.

Pertama, dikabulkan. Meskipun sulit digambarkan melalui angka persentase, namun masing-masing hamba bisa memastikan pernah ada doanya yang dikabulkan.

Tetapi bahkan ketika doa diterima pun, kita tidak bisa memastikan apakah pengabulan itu persis dengan harapan awal (pengabulan secara penuh) atau hanya sebagian dari harapan awal (pengabulan separuh).

Kedua, dialihkan. Meminta sesuatu tapi dikabulkan dengan sesuatu yang lain, yang mungkin lebih baik. Misalnya minta rezki uang sebesar seratus juta rupiah, tetapi dikabulkan dalam bentuk kesehatan yang senilai seratus juta rupiah.

Contoh lain: berdoa semoga sukses di bidang tertentu, tetapi justru mendapatkan peluang karir yang lebih cemerlang di bidang lain.

Ketiga, ditunda. Prinsipnya, Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi setiap hambanya. Karena itu, banyak doa yang ditunda pengabulannya, demi kepentingan dan manfaat yang sering sulit dipahami.

Dan sering terjadi, banyak doa yang sebelumnya pernah dipanjatkan, saking lamanya akhirnya mungkin sudah terlupakan, namun tiba-tiba dikabulkan setelah sekian lama.

Kadang juga terjadi, kita beranggapan mendapatkan rezki nomplok, karunia yang datang tiba-tiba, istilahnya kayak durian jatuh. Padahal ternyata itu adalah pengabulan doa yang pernah dipanjatkan sebelumnya. Atau bahkan boleh jadi, rezki nomplok itu sesungguhnya adalah buah dari doa orang lain untuk kita.

Keempat, "Doa yang ditolak". Menurut beberapa riwayat, memang ditegaskan bahwa ada sebagian doa yang ditolak (tidak dikabulkan).

Namun penolakan doa ini umumnya dikaitkan dengan kondisi tertentu. Misalnya, doa anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Atau doa istri yang durhaka kepada suaminya. Atau doa orang yang memutus hubungan silaturahim.

Doa positif (kebaikan) dan doa negatif (keburukan)

Dalam bahasa Arab, makna kata doa dapat diartikan berbeda (bahkan kontradiktif), berdasarkan hurup tambahannya (di belakang kata kerja transitif-nya). Doa+li berarti doa kebaikan atau doa untuk kebaikan. Sementara doa+'ala bermakna doa negatif atau doa untuk hal-hal buruk.

Doa untuk diri sendiri umumnya akan berupa kebaikan, misalnya sukses di karir, kesehatan fisik dan rohani, dan rezki kekayaan, bertemu dan mendapatkan teman baik, merasakan kebahagiaan dan seterusnya.

Sebaliknya, tanpa disadari, dengan alasan ataupun tanpa alasan, kita juga sering berharap terjadi keburukan kepada orang lain. Inilah bentuk doa+'ala. Bahkan dalam keadaan tertentu, kita kadang melaknat atau mengucapkan sumpah-serapah terhadap orang lain.

Dan ada satu hal lain yang juga sering luput, yaitu bahwa sekedar menyebutkan kebaikan orang lain sesungguhnya adalah "doa positif (kebaikan)". Demikian pula sebaliknya menyebut sekedar kejelekan orang lain sebenarnya adalah doa negatif (keburukan).

Itulah sebabnya, Rasulullah saw memerintahkan:

" "

"Sebutlah kebaikan-kebaikan orang yang meninggal dunia di antara kalian".

Meskipun hadits ini diragukan derajat keshahihannya, namun secara makna cukup dapat diterima, berdasarkan hadits-hadits lain. Sebab banyak hadits shahih yang melarang setiap orang untuk menyebutkan kejelekan orang lain, baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.

Bahkan di kalangan para sufi, menghindari tidak menyebutkan keburukan orang lain (atau menutupi aib orang lain) diposisikan sebagai "jimat keselamatan" dari berbagai bentuk mudharat.

Berbuat baik kepada orang lain, antara lain bertujuan agar orang lain yang menerima dan merasakan perbuatan baik itu, pada saat tertentu entah kapan, dia akan mengingat dan menyebut kebaikan tersebut, dan penyebutan kebaikan adalah doa positif untuk kita.

Semakin banyak amal baik kita kepada orang lain, semakin besar peluang mendapatkan doa positif dari orang lain.

Demikian pula sebaliknya, semakin banyak amal buruk dan kezaliman yang kita lakukan terhadap orang lain, semakin besar pula peluang mendapatkan doa negatif dari orang lain.

Ucapan salam adalah doa

Ucapan "assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu" kepada siapa pun dan apa pun, jika diniatkan tulus, adalah ucapan doa. Bukan sekedar basa-basi dalam merawat interaksi sosialita.

Rasulullah saw bersabda:

" "

"Sebarkanlah salam (kepada makhluk lain)".

Tentu dengan catatan bahwa sering terjadi ucapan salam lebih bersifat rutinitas biasa, business as usual, menjadi ucapan yang kehilangan makna substantifnya.

Ketika mengucapkan salam, berarti saya mendoakan orang lain agar mendapatkan keselamatan-dan-kedamaian, serta dikaruniai rahmat Allah dan keberkahan-Nya.

Bahkan lebih jauh, Rasulullah saw menganjurkan agar setiap Muslim yang melintasi pemakaman/pekuburan agar mengucapkan salam (assalamu alaikum ya ahlal-qubur). Kalimat Ya ahlal-quburi berarti wahai penghuni kubur.

Dan hadits-hadits Nabi yang menganjurkan mengucapkan salam saat melintasi kuburan ini juga sekaligus membuktikan bahwa setiap Muslim dapat mendoakan setiap Muslim lainnya, baik yang dikenal ataupun tidak dikenal, yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.

Di kalangan pelaku sufisme, ada kebiasaan atau anjuran agar mengucapkan salam (assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu) setiap kali akan memasuki atau mengunjungi wilayah-daerah baru yang belum pernah dijamah sebelumnya. Semacam permohonan izin kepada penghuni-penjaga wilayah tersebut.

Faktor pendukung doa

Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keberterimaan sebuah doa, yaitu faktor tempat, faktor waktu dan gabungan faktor waktu-dan-tempat.

Faktor tempat, antara lain disebutkan dalam berbagai riwayat bahwa doa lebih besar kemungkinan untuk dikabulkan jika dipanjatkan di tempat-tempat tertentu: di Hijir Ismail (di Ka'bah), di tempat-tempat ibadah, di jalur sai antara safa dan marwah, di raudah (lokasi yang terletak di samping kanan kuburan Rasulullah di Masjid Madinah). Artinya, faktor tempat/lokasi lebih dominan.

Faktor waktu, yakni doa yang berpotensi dikabulkan ketika dipanjatkan pada waktu-waktu tertentu, misalnya berdoa menjelang terbenam matahari, atau di waktu-waktu sepertiga terakhir malam (menjelang subuh). Di sini, faktor waktu lebih dominan.

Faktor gabungan tempat-dan-waktu, yakni doa lebih berpotensi dikabulkan jika dipanjatkan pada tempat dan waktu tertentu secara bersamaan, misalnya doa ketika melaksanakan wukuf di padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah (sejak matahari tergelincir hingga terbenam); ketika bermalam di Muzdalifah pada 10 Dzulhijjah dan saat bermalam di Mina pada 11-13 Dzulhijjah.

Saya menyebut tiga faktor di atas sebagai "faktor pendukung", sekedar untuk menjelaskan bahwa pada akhirnya penentu utama setiap doa adalah ketulusan hamba yang berdoa. Dan ketulusan dapat dilakukan di mana pun dan kapan pun.

Doa terikhlas kepada orang lain

Salah satu doa yang paling berpotensi dikabulkan adalah doa yang dipanjatkan untuk orang lain, dan orang yang didoakan itu tidak mengetahui bahwa kita mendoakannya. Doa seperti ini memiliki bobot keikhlasan sangat tinggi.

Contoh: ketika saya duduk santai, di mana pun dan kapan pun, lalu tiba-tiba saya teringat kepada seseorang (siapa pun dia), kemudian saat itu juga saya langsung mendoakannya, misalnya semoga dia sehat walafiat, maka doa itu sangat berpotensi terkabulkan.

Berbaik sangka kepada Allah swt

Jika berdoa, lantas di dalam hati muncul keraguan atau praduga sekecil apapun bahwa doa itu tidak akan terkabulkan, maka besar kemungkinan doa itu benar-benar tidak akan terkabulkan. Sebab keraguan itu bisa dimaknai meragukan atau bahkan sedang melecehkan Allah swt.

Saya berkesimpulan sementara, barangkali saja, sebagian besar doa yang tidak terkabulkan lebih disebabkan karena faktor ketikdayakinan bahwa doa akan dikabulkan.

Sebuah hadits qudsi menegaskan bahwa Allah swt berfirman:

" "

"Aku (Allah swt) mengikuti persangkaan hamba-Ku"

Hadits qudsi ini mengisyaratkan Allah swt seolah-olah berkata begini: kenapa kau meragukan kemampuan-Ku untuk mengabulkan doa-doa kalian, padahal Aku adalah Zat yang Maha dalam segala persoalan.

Kenapa kalian meragukan kemampuan-Ku untuk memberimu rezki berlimpah? Bukankah salah satu sifat-Ku adalah Razzaq (Maha Pemberi Rezki).

Kenapa kalian meragukan perkenan-Ku untuk memberimu kesehatan dan keselamatan? Bukankah salah satu sifat-Ku adalah rahim "Maha Pemurah" dalam segala hal.

Kenapa kalian meragukan perkenan-Ku untuk mengampuni dosa-dosa kalian? Bukankah salah satu sifat-Ku adalah gaffar (Maha Pengampun).

Meragukan Kemahakuasaan Allah untuk mengabulkan doa bisa dimaknai sebagai tindakan yang mencederai bobot keimanan seorang hamba.

Hubungan antara Doa - Hukum sebab akibat - Kemutlakan Kehendak Allah

Adakah hubungan antar doa dan hukum sebab-akibat (kausalitas)? Secara logika, seharusnya memang ada hubungan sebab akibat antara doa di satu sisi dan respons terhadap doa tersebut di sisi yang lain.

Namun, kita tidak bisa memaksakan sesuatu kepada Allah swt. Artinya, kita tidak bisa mengatakan, misalnya, setelah meyakini saya memenuhi semua syarat untuk dipenuhi keinginan saya, maka seharusnya Allah swt mengabulkan doa saya.

Sebab salah satu syarat utama keutuhan keimanan, termasuk dalam berdoa, adalah meyakini Kemahamutlakan Allah swt, dalam pengertian bahwa Allah swt tidak memerlukan syarat tertentu untuk mengabulkan, mengalihkan, menunda atau menolak doa hambanya.

Instrumen untuk "bernegosiasi dan menawar takdir Tuhan"

Jika diasumsikan bahwa segala aspek kehidupan seorang hamba sudah ditentukan (telah ditakdirkan), maka secara logika, doa seharusnya tidak lagi diperlukan. Namun, kenapa Allah swt tetap memerintahkan hambanya untuk berdoa.

Katakanlah saya ditakdirkan hidup hingga berusia 80 tahun. Kemudian saya berdoa agar Allah swt berkenan memberikan karunia umur yang lebih panjang, sebutlah 90 tahun.

Dalam kasus ini, memang terkesan seolah terjadi kontradiksi antara usia 80 tahun yang telah ditakdirkan di satu sisi, dan doa saya agar dikarunia umur yang lebih panjang di sisi yang lain.

Satu-satunya jalan keluar untuk menghindari kontradiksi tersebut adalah meyakini bahwa Allah swt menawarkan peluang untuk mengubah takdir-Nya melalui doa. Dengan kata lain, doa bisa dipahami dan diposisikan sebagai instrumen atau mekanisme untuk bernegosiasi tentang takdir.

Biarkan semesta ikut mengaminkan

Di kalangan sebagian suku di Indonesia, ada tradisi para orang tua menasehati anak-anaknya agar tak mengucapkan kalimat jelek terhadap orang lain, siapa pun dia.

Misalnya, jangan bilang "anak saya nakal" meskipun itu hanya bercanda. Sebab terbuka kemungkinan ucapan jelek yang bercanda itu diaminkan oleh malaikat, dan akibatnya anak itu benar-benar menjadi nakal.

Dalam berbagai riwayat memang disebutkan, bahwa malaikat akan mendoakan orang yang melakukan perbuatan tertentu. Misalnya, hamba yang sedang mengikuti halaqah (pengajian keagamaan), akan dipayungi oleh malaikat. Atau orang yang berjuang menuntut ilmu akan senantiasa didoakan oleh malaikat.

Itu juga sebabnya sehingga kita dianjurkan agar sebisa mungkin tidak melakukan tindakan perusakan di muka bumi (misalnya merusak lingkungan). Sebab boleh jadi alam semesta akan ikut melaknat atau mengucapkan sumpah serapah terhadap kita.

Sebaliknya, perbuatan baik terhadap semesta (merawat keharmonisan alam) juga berpotensi menjadikan semesta ikut mendoakan kebaikan untuk kita.

Dan seperti diketahui, dalam kajian ilmu kalam, kata 'alam' atau semesta adalah seluruh makhluk selain manusia, baik makhluk kasat mata maupun makhluk gaib, benda mati maupun makhluk bernyawa seperti binatang.

Singkat kata, perbuatan baik kepada semesta adalah bagian dari upaya agar semesta mendoakan kita, atau setidaknya ikut mengaminkan doa-doa yang kita panjatkan.

Syarifuddin Abdullah | Jakarta, 07 April 2024/ 28 Ramadhan 1445H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun