" "
"Aku (Allah swt) mengikuti persangkaan hamba-Ku"
Hadits qudsi ini mengisyaratkan Allah swt seolah-olah berkata begini: kenapa kau meragukan kemampuan-Ku untuk mengabulkan doa-doa kalian, padahal Aku adalah Zat yang Maha dalam segala persoalan.
Kenapa kalian meragukan kemampuan-Ku untuk memberimu rezki berlimpah? Bukankah salah satu sifat-Ku adalah Razzaq (Maha Pemberi Rezki).
Kenapa kalian meragukan perkenan-Ku untuk memberimu kesehatan dan keselamatan? Bukankah salah satu sifat-Ku adalah rahim "Maha Pemurah" dalam segala hal.
Kenapa kalian meragukan perkenan-Ku untuk mengampuni dosa-dosa kalian? Bukankah salah satu sifat-Ku adalah gaffar (Maha Pengampun).
Meragukan Kemahakuasaan Allah untuk mengabulkan doa bisa dimaknai sebagai tindakan yang mencederai bobot keimanan seorang hamba.
Hubungan antara Doa - Hukum sebab akibat - Kemutlakan Kehendak Allah
Adakah hubungan antar doa dan hukum sebab-akibat (kausalitas)? Secara logika, seharusnya memang ada hubungan sebab akibat antara doa di satu sisi dan respons terhadap doa tersebut di sisi yang lain.
Namun, kita tidak bisa memaksakan sesuatu kepada Allah swt. Artinya, kita tidak bisa mengatakan, misalnya, setelah meyakini saya memenuhi semua syarat untuk dipenuhi keinginan saya, maka seharusnya Allah swt mengabulkan doa saya.
Sebab salah satu syarat utama keutuhan keimanan, termasuk dalam berdoa, adalah meyakini Kemahamutlakan Allah swt, dalam pengertian bahwa Allah swt tidak memerlukan syarat tertentu untuk mengabulkan, mengalihkan, menunda atau menolak doa hambanya.