Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pesantren IMMIM (7), Mengenang Ritme Hidup Keseharian

17 Juli 2018   12:05 Diperbarui: 17 Juli 2018   14:57 1516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi sebagian besar santri, menu "martabak" itu bisa menggoda selera. Indikatornya, jika pada hari-hari lainnya, sebagian santri masih menyisakan makanan di piringnya alias tidak habis, namun sehabis makan siang dengan menu martabak di hari Jumat , sebagian besar piring akan bersih. Tuntas.

Seusai makan siang, terisisa waktu sekitar 2 jam untuk istirahat siang. Sebagian santri memanfaatkan waktu antara habis makan siang sampai shalat ashar dengan tidur siang. Sebagian lainnya memanfaatkannya untuk ngobrol dan berbagai kegiatan lainnya.

Namun kadang juga, ada guru yang mengisi pelajaran di siang hari. Dan pelajaran tambahan di siang hari ini termasuk menjengkelkan.

Shalat ashar & Olahraga sore

Jadwal waktu shalat Ashar seperti normalnya waktu Makassar sekitar pukul 15.00, dan prosesinya bisa berlangsung sekitar 30 sampai 60 menit.

Waktu dari pukul 15.30 sampai pukul 17.30 adalah waktu olahraga. Dan olahraga paling populer adalah sepak bola, volly, pimpong, dan takraw. Khusus yang hobi bersepakbola, mereka main di lapangan milik asrama tentara yang berdampingan dengan kampus IMMIM.


Sebagian santri memanfaatkan waktu olahraga sore untuk bersantai. Dulu di Pesantren IMMIM, belum ada tukang cukur di pondok (mungkin sampai sekarang belum ada). Jadi kadang waktu olahraga sore dimanfaatkan oleh sebagian santri untuk bergantian saling cukur rambut. Maksudnya, si X mencukur rambut si Y, dan si Y mencukur rambut si-X, dan begitu seterusnya. Saya termasuk "tukang cukur yang laris", atau tepatnya, dilaris-lariskan.

Kebenaran juga, saya termasuk santri yang tidak pernah bisa menikmati olahraga. Saya bukan olahrawan, kowdong. Saya hanya bisa berolahraga jogging, yang alhamdulillah masih saya lakukan hingga saat ini. Entah mengapa, tak satupun olahraga yang saya suka. Ungkapan yang paling tepat: tak satu pun olahraga yang saya bisa, dan karena itu tak satupun olahraga yang saya suka. Padahal pengen juga sih pintar bermain volly atau sepakbola atau hocky misalnya.

Tapi saya menikmati melihat kawan-kawan santri lainnya yang hobby berolahraga. Saya bahkan cemburu kepada santri-santri yang bisa dan dan mahir berolahraga apa saja.

Di setiap pondok, biasanya ada olahraga pilihan yang bersifat ekstra kurikuler, terutama beladiri. Dulu, pada awal 1980-an, Pesantren IMMIM bekerjasama dengan perguruan karate Black Pather, yang ketika itu dikomandani Ambo' Jetta. Kebetulan saya pernah ikut, tapi tidak pernah bisa naik sabuk (peringkat). Saya konsisten tak beranjak dari sabuk putih (sabuk dasar yang paling rendah), hehehe.

Di sore hari itu, lagi-lagi ada beberapa guru, khususnya yang berprofesi sebagai dosen di Unhas dan IKIP, yang waktunya terbatas, kadang mengisi jam pelajaran di waktu sore. Dan sekali lagi, bagi santri yang hobi olaraga, pelajaran sore adalah sebuah siksaan tersendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun