Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pesantren IMMIM (7), Mengenang Ritme Hidup Keseharian

17 Juli 2018   12:05 Diperbarui: 17 Juli 2018   14:57 1516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: immim.sch.id

Ritme dan alur kegiatan santri di setiap pondok pesantren, modern ataupun klasik, putra ataupun putri, pada dasarnya nyaris mirip-mirip. Tapi selalu ada ciri khas di setiap pesantren, dan tiap ritme hidup yang khas itu akan menyimpan ribuan cerita menarik.

Sekedar bernostalgia berdasarkan pengalaman, artikel ini akan coba mendaur ulang memori tentang ritme hidup keseharian selama 24 jam, hour-to-hour, di kampus Pesantren IMMIM, KM 10, Tamalanrea, Makassar pada 1980-an, ketika santrinya masih berjumlah sekitar 500 (lima ratus)-an orang. Dan seperti halnya sisi kehidupan lainnya, sebagian besar ritme hidup keseharian tersebut baru terasa manfaatnya justru ketika sudah tuntas menjalaninya.

Bangun untuk shalat fajar

Ritme itu selalu dan selalu berawal di subuh hari, sekitar pukul 04.00 WITA, dengan kegiatan bangun pagi massal. Di sini, seorang ketua kamar asrama (biasanya santri senior yang duduk di kelas 5, yang setingkat kelas 2 SMA dan/atau kelas 6 setara kelas 3 SMA) memiliki peran utama dan bertanggung jawab penuh memastikan semua santri binaan kamarnya sudah bangun.

Sebagai gambaran, ketika itu, tiap kamar rata-rata dihuni sekitar 30-an santri, tidur di ranjang susun. Setiap unit ranjang didesain dengan formasi empat ranjang dengan ukuran kasur nomor tiga: dua di atas, dua di bawah dan disekat dengan terali.

Dan ada banyak cerita tentang bangun subuh ini. Ketika ketua kamar mulai berteriak: yalla, qum, qum, qum (ayo, bangun-bangun-bangun), ada santri yang langsung sigap terbangun. Ada juga santri yang tak mendengar atau mungkin pura-pura tak mendengar walaupun diteriaki berkali-kali. Sebagian lainnya harus disentuh dulu kaki atau tangannya atau bagian tubuh lainnya. Bahkan sebagian kecil, ya, terpaksa harus disabet pake sajadah yang dililit ujungnya. Eittt, tentu kaget dan sakit lalu bangun. Beberapa ketua kamar membangunkan santri binaannya dengan menggunakan percikan air.

Begitu bangun dari tidur langsung berjalan menuju sumur untuk mengabil air wudhu. Berebutan timba air yang jumlahnya selalu terbatas. Ketika itu, belum ada tempat berwudhu yang berupa kran air. Kadang ada santri, yang berjalan sempoyongan, matanya merem-melek dalam perjalanan dari kamar ke sumur.

Setelah semua santri bangun dan satu per satu berjalan menuju masjid, akan disusul pengecekan, semacam pemeriksaan sapu bersih, oleh beberapa ustad/pembina yang menyisir kamar satu per satu: memastikan semua santri sudah pergi ke masjid untuk shalat fajar berjamaah.

Shalat fajar berjamaah dan belajar Bahasa Arab

Shalat subuh berjamaah di masjid. Oleh karena semua santri bangun berbarengan, bisa diduga, bau aroma tubuh dan mulut para santri akan menyengat, bercampur jadi satu di dalam ruangan masjid, menciptakan bau khas, yang lama kelamaan sudah tak tericum lagi, karena hidung sudah imun.

Usai shalat subuh, sebagian santri akan belajar, lainnya berolahraga, dan sebagian lainnya memanfaatkan waktu untuk tidur sebelum mandi. Kadang juga ada kerjabakti di kamar.

Tiap kamar, biasanya memiliki jadwal santri yang bertugas menyapu dan mengepel lantai kamar, sekaligus membersihkan toilet. Dan ini dilakukan sehabis shalat subuh.

Bagi santri baru, sehabis shalat subuh, akan tetap tinggal di masjid, untuk belajar bahasa Arab selama sekitar satu jam, dan ini berlangsung selama setahun penuh, selama duduk di kelas satu. Pelajaran bahasa Arab di waktu subuh inilah, yang menjadi bekal utama tiap santri sehingga dapat berkomunikasi harian dalam bahasa Arab.

Selama semester pertama, para santri akan diajari atau dijejali bahasa Arab (kata kerja dan semua kata benda yang lazim digunakan dalam percakapan keseharian). Dalam hitungan saya, selama satu tahun itu, guru bahasa Arab akan mengajarkan metode penggunaan sekitar 800 kata kerja, plus 700 kata benda. Dan semua santri tanpa kecuali, pasti bisa berbahasa Arab setelah enam bulan belajar, dan semakin lincah setelah belajar selama satu tahun.

Dengan begitu, di Pesantren IMMIM, ada peraturan yang mengharuskan semua santri tak boleh lagi berbahasa Indonesia setelah semester pertama. Artinya, semua santri tanpa kecuali sudah dipastikan bisa berbahasa Arab setelah belajar selama enam bulan. Jangan heran, bila banyak santri yang kalau mimpi atau ngigau, ngomong dalam mimpi dengan menggunakan bahasa Arab. Dan mimpi/ngigau berbahasa Arab bisa terbawa ke rumah saat liburan.

Mandi pagi

Salah satu pemandangan menarik di Pesantrren IMMIM adalah ketika para santri melakukan mandi pagi berjamaah, dalam rentang waktu sekitar satu jam, sekitar 06.00 sampai 07.00. Pada tahun 1980-an, belum ada kamar mandi di pondok. Semua santri mandi di sumur.

Saat mandi, masing-masing santri membawa peralatan mandinya (sabun, sikat gigi, odol, shampo). Sebagian membawa sendiri timba air sumur. Semuanya meribun di sekitar sumur, dengan celana mandi masing-masing (konon celana mandi inilah, yang kadang bergantian atau kurang dirawat, yang merupakan penyebab utama banyak santri yang menderita kudisan di wilayah yang sensitif, hehehehe).

Dan di Pesantren IMMIM, ketika itu, terdapat empat sumur, yang melayani sekitar 500-an santri. Bisa dibayangkan, tiga sumur melayani sekitar 500 santri, sumur itu bisa habis airnya. Santri yang telat mandi dipastikan hanya akan kebagian sisa-sisa air sumur yang butek akibat tanah/ pasir di dasar sumur.

Sarapan

Sebagian kecil santri melakukan sarapan pagi sebelum mandi. Sebagian besar lainnya sarapan setelah mandi dan rapih dengan pakaian sekolahnya. Saya termasuk yang suka sarapan sebelum mandi.

Untuk sarapan, masing-masing santri akan membawa piring dan gelasnya. Lalu antri untuk disendokkan nasi dan lauk oleh petugas dapur (ketika itu, semua petugas dapur perempuan dipanggil dengan sebutan bibi). Di pagi hari, dapur umum juga menyediakan teh panas di gentong besar, yang manisnya tidak pernah sempurna (menurut selera saya).

Dan soal sarapan ini, jangan dibayangkan akan disiapkan menu yang mengundang selera. Dari hari ke hari, sepanjang tahun, menu yang paling sering disajikan adalah ikan mairo (teri kering) dan/atau tempe, yang dimasak sekedarnya: dimatangkan, disiram kecap plus garam, lalu disajikan. Kami mempopulerkan menu ikan teri kering itu dengan sebutan "mairo paku", mungkin karena ikan terinya memang menyerupai paku.

Sebagian santri menyiasati menu sarapan dengan lauk mairo dan/tempe itu dengan membawa sendiri lauk tambahan: abon atau jabu-jabu (irisan ikan) atau dendeng. Itu pun kalau stock kiriman dari rumah masih tersisa.

Belajar di kelas

Belajar di kelas mulai dari jam 07.30 WIB dan rata-rata berlangsung sampai pukul 12.00 WIB. Selama jam sekolah ini, tak seorang pun santri diperkenankan berada di kamar.

Sejak awal, salah satu keunggulan Pesantren IMMIM adalah karena sebagian gurunya adalah dosen di berbagai perguruan tinggi di Makassar, khususnya dari Universitas Hasanuddin (Unhas). Para santri yang setara SMP dan SMP diajar oleh dosen adalah pengalaman langka untuk semua sekolah menengah di Makassar ketika itu.

Kebetulan juga, pada awal 1980-an, Unhas membangun kampus barunya di KM 10 Makassar, berdekatan dengan kampus Pesantren IMMIM. Jadi sebagian dosen Unhas yang punya jadwal mengajar di Unhas, juga menyempatkan diri untuk sekaligus mengajar di Pesantren IMMIM.

Shalat zhuhur, Makan dan istirahat siang

Lazimnya,  shalat zhuhur dilakukan berjamaah di masjid pondok. Sebagai catatan: beberapa pondok di Jawa yang santrinya ribuan orang, dan masjidnya tak lagi menampung seluruh santri, shalat wajib berjamaah dilaksanakan di kamar atau rayon masing-masing.

Begitu shalat zhuhur selesai, tiba saatnya santap siang, yang berlangsung rata-rata antara pukul 12.00 s.d 01.00. Berbeda dengan sarapan pagi, di mana tiap santri membawa piring-sendok-gelas masing-masing, pada santap siang, makanan disajikan di piring yang mirip jenis piring di rumah sakit atau penjara: permukannya disekat untuk nasi, lauk, sayur, kadang ada sambalnya. Dan makan siang dimulai bersamaan setelah semua santri duduk di meja, dan ada komando dari santri senior.

Dan cerita tentang menu makanan di Pesantren IMMIM, dan saya pikir juga di pondok-pondok lain, adalah kisah bersambung yang tak ada habisnya. Seingat saya, menu makan siang menggunakan ritme mingguan: saya tidak ingat persis lagi menu hari per harinya: yang pasti, menu ikan mairo bisa tiga-empat kali dalam seminggu. Selebihnya tempe, kadang perkadel yang juga berbahan ikan mairo basah. Sayur relatif konstan: bayam atau kangkung. Sesekali sayur sop, yang dagingnya hanya secuil.

Khusus untuk hari Jumat, menu makan siang agak istimewa, jika dibandingkan dengan menu hari-hari lainnya. Di IMMIM putra dulu, tahun1980-an, ada menu yang kami sebut martabak (padahal bukan martabak). Bahan dasarnya telur, tepung, bawang dan kol, yang disiram kuah (sejenis kuah untuk empe-empe). 

Bagi sebagian besar santri, menu "martabak" itu bisa menggoda selera. Indikatornya, jika pada hari-hari lainnya, sebagian santri masih menyisakan makanan di piringnya alias tidak habis, namun sehabis makan siang dengan menu martabak di hari Jumat , sebagian besar piring akan bersih. Tuntas.

Seusai makan siang, terisisa waktu sekitar 2 jam untuk istirahat siang. Sebagian santri memanfaatkan waktu antara habis makan siang sampai shalat ashar dengan tidur siang. Sebagian lainnya memanfaatkannya untuk ngobrol dan berbagai kegiatan lainnya.

Namun kadang juga, ada guru yang mengisi pelajaran di siang hari. Dan pelajaran tambahan di siang hari ini termasuk menjengkelkan.

Shalat ashar & Olahraga sore

Jadwal waktu shalat Ashar seperti normalnya waktu Makassar sekitar pukul 15.00, dan prosesinya bisa berlangsung sekitar 30 sampai 60 menit.

Waktu dari pukul 15.30 sampai pukul 17.30 adalah waktu olahraga. Dan olahraga paling populer adalah sepak bola, volly, pimpong, dan takraw. Khusus yang hobi bersepakbola, mereka main di lapangan milik asrama tentara yang berdampingan dengan kampus IMMIM.

Sebagian santri memanfaatkan waktu olahraga sore untuk bersantai. Dulu di Pesantren IMMIM, belum ada tukang cukur di pondok (mungkin sampai sekarang belum ada). Jadi kadang waktu olahraga sore dimanfaatkan oleh sebagian santri untuk bergantian saling cukur rambut. Maksudnya, si X mencukur rambut si Y, dan si Y mencukur rambut si-X, dan begitu seterusnya. Saya termasuk "tukang cukur yang laris", atau tepatnya, dilaris-lariskan.

Kebenaran juga, saya termasuk santri yang tidak pernah bisa menikmati olahraga. Saya bukan olahrawan, kowdong. Saya hanya bisa berolahraga jogging, yang alhamdulillah masih saya lakukan hingga saat ini. Entah mengapa, tak satupun olahraga yang saya suka. Ungkapan yang paling tepat: tak satu pun olahraga yang saya bisa, dan karena itu tak satupun olahraga yang saya suka. Padahal pengen juga sih pintar bermain volly atau sepakbola atau hocky misalnya.

Tapi saya menikmati melihat kawan-kawan santri lainnya yang hobby berolahraga. Saya bahkan cemburu kepada santri-santri yang bisa dan dan mahir berolahraga apa saja.

Di setiap pondok, biasanya ada olahraga pilihan yang bersifat ekstra kurikuler, terutama beladiri. Dulu, pada awal 1980-an, Pesantren IMMIM bekerjasama dengan perguruan karate Black Pather, yang ketika itu dikomandani Ambo' Jetta. Kebetulan saya pernah ikut, tapi tidak pernah bisa naik sabuk (peringkat). Saya konsisten tak beranjak dari sabuk putih (sabuk dasar yang paling rendah), hehehe.

Di sore hari itu, lagi-lagi ada beberapa guru, khususnya yang berprofesi sebagai dosen di Unhas dan IKIP, yang waktunya terbatas, kadang mengisi jam pelajaran di waktu sore. Dan sekali lagi, bagi santri yang hobi olaraga, pelajaran sore adalah sebuah siksaan tersendiri.

Mandi sore

Sekitar setengah jam menjelang magrib, setelah berolahraga, giliran empat sumur di Pesantren akan dikerubuni santri, berdesak-desakan berebut mandi sore. Dan mandi sore ini harus selesai sekitar seperempat jam sebelum azan magrib dikumandangkan. Dan pemandangan mandi sore itu persis dengan suasana mandi pagi.

Tiap santri membawa peralatan mandinya (sabun, sikat gigi, odol, shampo). Sebagian membawa timba air sumur miliknya. Semuanya meribun di sekitar sumur, dengan celana mandi yang masing-masing punya sendiri.

Di seluruh wilayah Makassar, ketika itu, mungkin hanya sumur di Pesantren IMMIM yang habis airnya digunakan dua kali dalam sehari.

Shalat magrib, mengaji bareng

Dengan sarung dan bersongkok, para santri akan menunaikan shalat berjamaah di masjid. Seusai shalat magrib, semua santri akan mengaji bersama, yang berlangsung antara magrib dan isya. Santri kelas 2 sampai kelas 4 akan mengaji sendiri. Diawasi oleh santri kelas-5 dan kelas-6.

Sementara santri-santri baru, kelas-1, akan dikumpulkan untuk diajari mengaji (bagi yang belum mengenal hurup Arab), atau memperlancar bacaannya bagi yang sudah lincah mengaji. Guru mengaji adalah para kelas 5 dan kelas 6.

Pada tahun 1980-an, waktu mengaji ini kadang juga diisi oleh penceramah tokoh-tokoh dari Makassar. Saya ingat beberapa kali Prof Dr Halide mengisi ceramah antara magrib dan isya di kampus Tamalanrea, yang antara lain pernah membahas "tema idola".

Shalat Isya dan makan malam

Setelah mengaji bersama di masjid sekitar satu jam antara magrib dan isya, tiba waktunya shalat isya berjamaah. Seusai shalat Isya, seorang santri akan berdiri dekat mimbar, lalu dengan pengeras suara mengumumkan nama-nama santri yang melakukan pelanggaran bahasa dan/atau tata tertib pondok.

Selanjutnya, semua santri akan keluar dari masjid seperti semut, menuju dapur umum. Dan pemandangan makan siang pun akan berulang: duduk berjejer di meja panjang; di depan tiap santri sudah tertata makanan di piring yang mirip piring di rumah sakit atau penjara; menunggu komando dari satu santri senior.

Dan santap malam pun berlangsung, tentu dengan menu seperti biasanya: ikan mairo tiga-empat kali dalam seminggu. Selebihnya tempe, kadang perkadel yang juga berbahan ikan mairo basah. Sayuran relatif konstan: bayam atau kangkung. Sesekali sayur sop, yang dagingnya hanya secuil.

Belajar malam di kelas

Formalnya, waktu belajar malam di kelas berlangsung setelah makan malam, antara pukul 20.00 sampai 22.00 WIB. Selama periode sekitar dua jam ini, para santri akan berada di kelasnya masing-masing, mendaras pelajaran esok harinya. Santri tidak boleh belajar malam di kamar.

Pada periode waktu yang sama (20.00 sampai 22.00 WIB), nama-nama santri yang di masjid tadi telah diumumkan namanya sebagai pelanggar bahasa (terdengar dan tercatat menggunakan bahasa Indonesia) akan dipanggil menghadap ke Mahkamah Bahasa. Dan tentu saja dihukum: menyapu dan mengepel kelas, masjid atau kantor administrasi, membersihkan MCK, memotong atau merapikan rumput, dan sejenisnya.

Selain Mahkamah Bahasa, di pondok juga dikenal mahkamatul-amni (pengadilan keamanan) untuk santri-santri yang melanggar tata tertib pondok. Misalnya telat shalat berjamaah, telat makan bersama, biasanya akan dihukum mengepel lantai masjid atau membersihkan WC kamar, yang umumnya bau menyengat.

Dan ada tiga pelanggaran Tatib pesantren yang dianggap serius: kabur dari pondok, berkelahi, mencuri. Hukuman untuk tiga jenis pelanggaran ini, paling minimal digundul, dan dalam kasus tertentu, hukuman bisa sampai dikeluarkan di pesantren.

Tidur malam

Pas pukul 22.00, lonceng akan dipukul dan berdentang keras. Pertanda pulang dari kelas, dan semua santri akan mengalir menuju kamar masing-masing untuk tidur dan istrirahat malam.

Oh iya, hampir lupa. Ketika itu, para santri tidak memiliki agenda menonton televisi. Namun, pada tahun 1970-80-an, ada program televisi yang sangat populer: "Dunia Dalam Berita", yang berlangsung sekitar 30 menit di TVRI. Ini pengecualian. Para santri yang berminat, bisa menonton sampai habis Dunia Dalam Berita. Kadang, Dunia Dalam Berita kepanjangan sampai pukul 23.00 bahkan lebih, karena TVRI memberitakan kegiatan kunjungan presiden RI ke suatu negara atau daerah, waktu itu Presidennya masih Pak Harto.

Bagi santri yang tidak suka menonton Dunia Dalam Berita, akan langsung menuju kamar untuk istirahat. Setiap kamar akan langsung sepi paling lama pukul 23.00. Sebab umumnya santri mudah dan gampang tidur, karena kelelahan akibat serangkaian kegiatan yang berlangsung 18 jam: dari subuh hingga malam hari.

Dan ritme kegiatan harian itu berlangsung selama enam tahun, kecuali bila santri liburan semesteran atau liburan panjang pada bulan Ramadhan.

Catatan:

Pertama, saking padatnya kegiatan di pondok, kadang para santri tidak punya waktu untuk kangen orang di rumah. Secara psikologis, orangtua dan keluarga di rumah mungkin lebih kangen kepada anaknya di Pondok dibanding sang anak santri kepada ayah-ibu-kakak-adik-kakek-nenek di rumah. Jika dibandingkan dengan beberapa pondok di Pulau Jawa, ritme kegiatan di Pesantren IMMIM sebenarnya masih relatif longgar.

Kedua, mengecap pendidikan formal-informal di sekolah asrama (boarding school) selama enam tahun tanpa jeda tentu bukan pilihan enteng. Tantangan utamanya adalah para santri "harus atau terpaksa merelakan" satu periode kehidupannya (usia remajanya dari usia 12 sampai 19 tahun) dijalani dalam suasana yang boleh dibilang serba terbatas.

Ketiga, mondok di sebuah pesantren selama enam tahun adalah etape kehidupan yang layak dikenang ulang dan berulang-ulang. Serangkaian ritme kegiatan yang berlangsung day-to-day bahkan hour-to-hour, nyaris tanpa jeda, rutinitas yang intens, kadang membosankan, dan tak jarang menjadi faktor yang membuat beberapa santri akhirnya memutuskan keluar dari pesantren sebelum tamat.

Keempat, sebagian santri tetap mempertahankan ritme hidup keseharian di pesantren setelah keluar atau tamat. Khususnya terkait dengan bangun subuh untuk shalat fajar. Namun saya tidak termasuk di dalamnya. Kilas balik ini sekali lagi lebih sebagai ungkapan syukur. Bukan untuk dibangga-banggakan apalagi dijadikan materi keangkuhan. Sebab di Indonesia, banyak sekali orang baik-baik yang bukan lulusan pesantren. Begitu Cees.

BERSAMBUNG

Syarifuddin Abdullah, Alumni IMMIM 1979-1985 | 17 Juli 2018 / 04 Dzul-qa'dah 1439H

Sumber foto: immim.sch.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun