Pasar Rebo merupakan pusat aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat, khususnya di Purwakarta. Selain Pasar Senen dan Pasar Jumat. Sebagai suatu kawasan, Pasar Rebo pada umumnya didominasi oleh para keturunan Arab Yaman. Kawasan Pasar Rebo di Purwakarta juga tidak lepas dari adanya kebijakan Wijkenstelsel & Passenstelsel. Suatu kebijakan pemisahan etnis dengan menempatkan etnis tersebut dalam suatu kawasan. Sehingga tidaklah mengherankan bila di kawasan Pasar Rebo dihuni oleh kalangan Arab Yaman, Pasar Jumat oleh Tionghoa, dan Alun-Alun oleh kalangan Pribumi.
Keturunan Arab Yaman di kawasan Pasar Rebo Purwakarta pada masa Hindia Belanda tidaklah seramai saat ini. Berikut ialah sensus jumlah penduduk berdasar etnis di Purwakarta berdasar buku Reclame-album 1903-1904:
Melalui sensus penduduk tersebut, bis akita lihat bahwa sekitar awal abad ke-20, penduduk keturunan Arab di Purwakarta hanya berjumlah 107 orang saja. Meskipun demikian, penduduk keturunan Arab turut berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi di Purwakarta, baik ketika masa Hindia-Belanda ataupun masa modern saat ini. Sebab kebanyakan dari keturunan Arab ini ialah para saudagar. Serta penyebaran agama Islam melalui pembangunan masjid dan sekolah.
Dalam sistem Wijkenstelsel & Passenstelsel juga muncul tokoh-tokoh yang dianggap tetua atau berwibawa tinggi sebagai pemimpin. Salah satu tokoh tersebut ialah Syekh Hasan bin Ali Bajri. Dirinya diangkat sebagai pemimpin dengan gelar Luitenant der Arabieren. Seorang Letnan memiliki tugas untuk kepanjangan tangan pemerintah Hindia Belanda, dari menjaga ketertiban, penyampaian peraturan pemerintah, pencatatan sipil, hingga mengurus masalah keagamaan.
Surat kabar tersebut menerangkan tentang diangkat/dilantiknya Syekh Hasan bin Ali Badjri sebagai seorang Luitenant der Arabieren untuk wilayah Kampung Arab Pasar Rebo. Syekh Hasan bin Ali Badjri dilantik menjadi Luitenant der Arabieren sejak tahun 1927 hingga sekitar tahun 1940-an.
Pasar Rebo juga memiliki dua bangunan cagar budaya, yaitu Masjid Ar Raudloh dan Madrasah Adabiyah Islamiyah yang telah ada sejak tahun 1920-an. Kedua bangunan ini terletak persis di belakang Pasar Rebo, dan hingga saat ini masih memiliki fungsi yang sama sejak awal berdirinya hingga saat ini. Meskipun sudah tidak lagi memiliki bentuk asli seperti dulu kala. Kata Raudloh sendiri merujuk ke dalam bahasa Arab, yang bertarti taman. Apabila kita masuk ke dalam bangunan masjid di samping area mimbar, masih dapat kita jumpai jam bandul tertua yang ada di Purwakarta.
Berdasarkan keterangannya, jam ini sudah ada di Masjid Ar Raudhoh sejak tahun 1349 H atau 1930 M. Apabila kita perhatikan, jam ini terdapat lambang seekor burung elang dengan sayap terentang, sambil mencenkram pelat bundar bertuliskan F.M.S. Jam bandul ini teridentifikasi bermerk F.M.S, yang merupakan akronim dari Friedrich Mauthe Schwenningen. Berdasarkan sejarahnya, jam pabrik Mauthe sudah ada sejak tahun 1844 didirikan oleh sepasang suami istri bernama Friedrich Mauthe dan Maria di Schwenningen, Jerman. Pada tahun 1860, pabrik Mauthe juga turut memproduksi jam bandul, lalu di tahun 1925, pabrik Mauthe mulai menggunakan nama merk FMS sebagai branding mereka.
Pabrik FMS bukan hanya memproduksi berbagai jenis jam untuk keperluan rumah, namun juga turut menjadi pemasok jam tangan bagi tentara Wehrmacht Jerman pada tahun 1930-an. Jam bandul FMS di Purwakarta menjadikannya jam tertua yang masih berfungsi hingga saat ini di Purwakarta. Mari kita rawat dan jaga benda-benda cagar budaya ini agar tidak hilang ditelan zaman.