Pagi itu saat aku sedang di depan rumah menggendong Sisi anak keduaku yang berusia 7 bulan, seseorang menghampiriku. Sekali lihat saja aku langsung tahu bahwa lelaki berusia sekitar 50 tahun tersebut adalah seorang keturunan Tionghoa.
“Pagi, Pak,” sapanya ramah sambil mengulurkan tangan. “Nama saya Santoso atau panggil saya San saja.”
Singkatnya, Pak San tertarik membeli rumah yang aku tempati. Ia bahkan mengatakan siap membeli berapapun harganya.
“Rumah yang seperti ini sangat langka, feng-shuinya sangat bagus,” tutur Pak San sementara aku hanya bisa mengingat berat dan sulitnya kehidupan yang kami jalani selama menempati rumah warisan orangtua Nia tersebut. “Tentu saja itu hanya berlaku jika ada kecocokan unsur antara rumah dan pemiliknya,” lanjut lelaki bermata sipit tersebut.
“Benarkah?’ tanyaku ragu.
“Tentu saja,” jawabnya. “Maaf, saya merasa rumah ini tidak cocok untuk Bapak sekeluarga. Tapi paling tidak, rumah ini akhirnya bisa mengubah kehidupan Bapak jika Bapak setuju melepasnya pada saya. Nah, berapa harganya?”
* * *
Kehidupan kami berubah sejak saat itu.
Dengan uang bermiliar-miliar yang kami miliki, aku bahkan tak perlu bekerja untuk mencukupi kehidupan kami. Aku pun tak perlu membeli rumah pengganti karena Pak San memberikan salah satu rumahnya pada kami.
Aku kemudian membeli beberapa rumah yang kusulap menjadi kos-kosan dan kontrakan. Dari kos-kosan dan kontrakan itulah setiap bulannya kami mendapat pemasukan yang lumayan, lebih dari cukup untuk kebutuhan kami, apalagi kami mendepositokan sisa uang yang kami miliki.
Kami hidup bahagia. Sangat bahagia.
Hingga hari itu.
* * *
Suatu pagi aku kedatangan tamu, seorang perempuan bersahaja.
Mbak Titi, kakak kandungku, kakak yang banyak membantu saat aku menjalani masa-masa sulit dan kelam dalam kehidupanku beberapa tahun lalu.