Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Tengah Malam #2

16 Maret 2015   23:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:33 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara itu terdengar lagi, memecah kesunyian malam.

“Dear, itu bayi siapa sih tengah malam gini nangis?” tanyaku pada Maya, wanita yang sudah 6 tahun kunikahi.

Namaku Sultan, seorang pengusaha muda berusia 39 tahun. Mendengar pertanyaanku barusan, Maya yang masih asyik dengan laptopnya mengerutkan kening,

“Bayi?  I’m afraid you’re too tired, honey.  Nggak ada bayi di sini.”

“I’m not deaf, dear,” bantahku. “Aku denger suara bayi di sekitar sini.”

Maya tertawa kecil kemudian menutup laptopnya dan menghampiriku.

“Apa itu kode buatku?” tanyanya menggoda.  Tangannya melingkari leherku.

“Hmm… actually not,” jawabku sambil menatapnya, “Aku yakin sudah beberapa malam ini denger suara bayi.  Kadang sepertinya deket banget, kadang jauh.”

“Ya sudah, aku yakin kamu kecapean.  Besok kita temui dokter Reyssent, ya?”

“Okay.”

Sayup aku mendengar lagi tangisan tersebut diselingi senandung yang dilantunkan seorang wanita.

Rasanya aku kenal suara itu.

Siapa?

* * *

“Sepertinya Pak Sultan dalam kondisi prima,” tegas dokter Reyssent seraya membaca kembali hasil tes labku.

“Tapi katanya dia sering denger suara bayi nangis, dok,” tukas Maya, “padahal saya sendiri nggak denger apa-apa.”

Dokter Reyssent yang berusia sekitar 50 tahun itu memandangku.

“Nanti saya coba konsultasikan ke kolega saya, mungkin dia lebih mengerti soal ini.  Sementara itu…,” ia kemudian menuliskan sesuatu di secarik kertas dan memberikannya padaku. “Resep ini mungkin bisa membantu seandainya pendengaran itu dirasakan mengganggu.”

Aku membaca resep yang ditulis dokter tersebut untukku.

Obat penenang?

Seakan mengerti kebingunganku, dokter Reyssent melanjutkan kalimatnya,

“Cuma buat jaga-jaga seandainya pak Sultan butuh istirahat.”

* * *

“Pak Ali, tolong bilang ke Sarif untuk nyiapin mobil.  Setengah jam lagi saya turun,” perintahku pada Ali - petugas sekuriti - melalui telepon.

Aku bergegas menuju toilet khusus di ruanganku, menyiapkan diri untuk sebuah janji nanti malam.  Sore tadi seorang artis muda pendatang baru yang minggu lalu kukenal di sebuah klub malam meneleponku, menanyakan apakah aku jadwalku free malam ini karena dia ingin mengajakku bersenang-senang.

Yah, lumayanlah, pikirku.

Kebetulan aku butuh perempuan lain setelah kejadian itu…

Saat itu jam 8 malam. Usai membersihkan wajah dan menyisir rambut, sayup aku mendengar tangisan itu lagi.

Nggak mungkin!

Mana ada bayi di sini?

Aku menajamkan pendengaranku, mencari sumber suara.  Tangisan bayi yang semula sayup perlahan semakin jelas dan jelas. Aku tersentak! Suara itu kini terdengar sangat jelas, bahkan sepertinya ada di toilet ini.  Mendadak bulu kudukku berdiri, ada hawa dingin yang menyergap di ruangan itu. Tangisan bayi itu semakin jelas terdengar memenuhi toilet yang kecil.

“Hei!” seruku mengumpulkan segenap keberanian. “Jangan ganggu aku!  Aku salah apa sama kamu?!”

Entah karena teriakanku barusan, tangisan itu mendadak berhenti.  Aku memandang berkeliling dengan liar. Tidak ada apa-apa. Hening. Hanya terdengar gemericik air dari keran yang masih mengalir. Pandanganku tertumbuk pada cermin di ruangan itu, namun aku hanya melihat bayanganku di sana.  Sedetik, dua detik, hingga satu menit berlalu, tetap tidak ada apa-apa. Aku menghela nafas.  Lega. Kubasuh kembali wajahku sambil mencoba melupakan kejadian tadi.

“Sultan…”

Aku terlompat! Terdengar satu bisikan yang sangat jelas di telingaku seolah pemilik suara itu berada tepat di sampingku. Namun yang lebih menakutkan lagi, aku mengenal suara itu.

Adeline!

* * *

18 bulan lalu…

“Adeline,” gadis itu mengulurkan tangannya padaku.  Seorang gadis dengan wajah campuran Indo-Eropa.

“Sultan,” aku membalas uluran tangannya.

Suasana klub malam itu sangat ramai.  Freya yang mengenalkanku pada Adeline tertawa renyah.

“Nah, Sultan.  Gimana?”

Aku tertawa sambil memeluk Freya dan menciuminya.

“Only for tonight, kita akan melakukannya bertiga.”

“C’mon, Sultan,” Freya menepisku halus. “Tiga hari lagi aku akan menikah.  Please forget about us, okay?”

“If you said so,” aku pun menggamit lengan Adeline. “Bye, Freya.”

* * *

10 bulan lalu…

“Nggak mungkin!” sergahku. “Ini pasti salah!”

“Nggak ada yang salah,” Adeline menjawab dingin. “Bayi yang ada di perutku ini memang anakmu.”

“Kamu sengaja!” teriakku. “Kamu sengaja nggak minum pil anti hamil ‘kan?”

Adeline hanya mendengus.

* * *

6 bulan lalu…

“Kita sudah sering membicarakan ini, Adeline.  Aku nggak mungkin melakukannya. Aku nggak mungkin menikahimu.”

“Begitukah?” Adeline mengambil smartphone-nya dan menyodorkannya padaku. “Sultan, kamu liat baik-baik semua foto dan video yang ada di situ.”

Tubuhku bergetar menahan marah.  Akupun membanting smartphone Adeline, namun ia hanya tertawa.

“Percuma kamu lakukan itu.  Aku sudah punya banyak kopiannya dan disimpan di tempat yang kamu nggak akan duga.  Aku menitipkannya pada orang yang sangat kupercaya.”

Aku menggeram.

* * *

3 bulan lalu… Seseorang bernama Ryan menemuiku dan memperlihatkan foto dan video yang sama seperti yang tersimpan di smartphone Adeline.  Ryan juga mengaku bahwa hanya dia satu-satunya yang diberi kepercayaan oleh Adeline untuk membocorkan rahasia itu ke publik seandainya terjadi apa-apa pada Adeline. Aku tersenyum sinis.

Orang kepercayaan ya?

Adeline, malang sekali.  Orang kepercayaanmu akan mengkhianatimu…

“Sebutkan harga yang Anda minta, saudara Ryan.”

Ryan menulis sebaris angka di secarik kertas.

Kurang ajar! batinku kala melihat angka yang dia sodorkan, namun aku mencoba tetap tersenyum. “Kapan butuhnya?”

“Semakin cepat semakin baik, bukan?” Ryan tampak acuh tak acuh dengan laptopnya. “Saya takut semakin lama menahan akun ini, akan ada orang yang berani membayar lebih tinggi, dan itu tentunya mimpi buruk buat Anda, Tuan Sultan.”

“Oke, bagaimana jika saya transfer sekarang?” tawarku.

Ryan tertawa dan mengangkat kedua tangannya tanda setuju.  Tak sampai 15 menit, username dan password dari akun penyimpanan file foto dan video mesraku dengan Adeline sudah berpindah ke tanganku sementara Ryan – lelaki tinggi kurus itu mendapatkan apa yang diinginkannya.

“Senang berbisnis dengan Anda, Tuan Sultan,” kami berjabat tangan. “Dan jujur saja, jika Tuan punya niat mencelakai saya, sebaiknya batalkan saja.  Saya akan meninggalkan negara ini dan memulai hidup yang baru.”

* * *

2 bulan lalu…

“Kenapa harus kamu yang nganter?” Adeline merintih memegangi perutnya.  Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju Rumah Sakit untuk persiapan kelahiran.

Aku yang duduk di belakang kemudi hanya diam.

“Aku nggak percaya sama kamu…,” lanjutnya sambil sesekali mengerang.

Melihat kondisinya yang seperti itu, ada sedikit rasa iba yang menyeruak.  Aku teringat saat mengantar Maya ke Rumah Sakit sewaktu melahirkan anak pertama kami.  Kondisinya persis seperti Adeline sekarang ini. Rasanya ingin aku membatalkan rencana jahat yang sudah kususun beberapa minggu sebelumnya.

Tapi aku sudah tidak bisa mundur!

Kamu yang memulai semua ini, Adeline...

* * *

1 bulan lalu… Rencana yang kususun berjalan sempurna!  Polisi menemukan bangkai mobilku di dasar jurang dalam keadaan hancur. Dalam perjalanan bisnisku seorang diri, aku dicegat sekelompok orang yang tidak puas dengan kesepakatan bisnis yang sudah deal sebelumnya.  Aku dituduh curang, diminta keluar mobil, kemudian dihajar hingga babak belur.  Mobilku lalu dirusak dan dibuang ke jurang, sementara aku ditinggalkan begitu saja di jalanan.  Beruntung aku ditemukan seseorang yang baik hati dan menolongku.

Rencana sempurna!  Sejauh ini semua berjalan baik…

Aku tersenyum memikirkan kejeniusanku.

Aku memang babak belur.  Mobilku hancur.

Tapi hidupku sekarang tenang.

Matilah kau, perempuan!

Kamu kalah!

Aku ingat betul, aku memang ditarik keluar dari mobil dan dihajar – sesuai rencana yang sudah aku susun bersama preman-preman bayaranku.  Kemudian, dengan Adeline yang masih berada di dalam dan terikat sabuk pengaman, mobil dijatuhkan ke jurang. Setelah memastikan kematian Adeline, mobil itu diangkat dan dibuang ke sisi jurang yang lain sementara sebuah mobil yang identik dengan mobil yang kutumpangi bersama Adeline dibuang dan dihancurkan di tempat tadi. Adapun preman-preman itu tak keberatan seandainya kelak mereka tertangkap dan dijatuhi hukuman karena aku menjamin kehidupan mereka dan keluarganya selama mereka dipenjara.

Sukses!

Namun sejak saat itu aku kerap mendengar tangisan bayi di malam hari – sampai sekarang. Dan hari inilah puncak dari segala kengerianku selama ini!

* * *

Adeline. Wajahnya pucat dengan sedikit darah mengalir di bibirnya.  Matanya menatap kosong.  Tangan kanannya terlihat menjuntai seperti tak bertulang, sementara tangan kirinya memeluk erat satu sosok mungil dengan kulit yang sama pucatnya. Bayi! Aku tercekat! Aku ingin berteriak tapi suaraku hilang entah ke mana. Aku ingin lari dari tempat ini tapi tubuhku rasanya terpaku. Dengan langkah diseret, Adelline mendekatiku. Ia memandangku dengan tatapan kosongnya. Aku ingin memalingkan wajahku darinya tapi aku tidak bisa!

“Sultan…” terdengar suara yang lebih mirip bisikan.  Suara Adeline saat ini terdengar sangat menakutkan di telingaku.

Tangan kiri Adeline mengangsurkan bayi pucatnya ke arahku.

“Ini anakmu.  Anak kita…”

Semakin dekat denganku, bayi itu mulai menangis.  Tangisannya terdengar makin kencang dan kencang. Aku terjatuh dan tak ingat apa-apa lagi.

* * *

Pancaran senter itu menyilaukan mataku.

Aku di mana?

“Responnya bagus,” terdengar suara yang sangat kukenal.

Dokter Reyssent!

“Pak Sultan bisa dengar saya ‘kan?” tanya dokter Reyssent.

Aku menjawab dengan lenguhan pendek.  Kesadaranku sudah pulih sepenuhnya, rupanya aku berada di Rumah Sakit. Aku bermaksud menggerakkan kepalaku. Tapi…

Aku tidak bisa!

Kenapa?

Apa yang terjadi?

Berkali-kali aku mencoba menggerakkan tubuhku, namun tetap tidak bisa.  Bahkan sekadar menggerakkan jari-jari tanganku pun rasanya tubuhku terkunci.

Kenapa?!

“Bagaimana kondisi suami saya, dok?” aku mendengar suara wanita yang sangat kukenal.  Suara itu terdengar sangat cemas dan tertekan.

Maya!

Sekali lagi aku coba menggerakkan tubuhku, namun hasilnya sama saja! Aku menyerah. Aku hanya bisa diam menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.  Aku menyimak setiap kata yang mereka ucapkan. Dan hasilnya membuatku terperanjat!

Aku… terkena stroke?

Lumpuh seluruh badan?

Nggak mungkin!

Ini pasti mimpi!

Dalam kepanikan dan kecemasan, aku hanya mampu melirik kesana-kemari. Dan aku melihatnya lagi! Melihat wanita berwajah pucat dengan tatapan kosong, lengan kanan menjuntai, dan lengan kiri menggendong sosok mungil yang sama pucatnya.  Sosok dengan sedikit darah di bibirnya. Adeline! Adeline berjalan terseret menghampiriku.  Wajah pucatnya mendekati wajahku dekat, dekat sekali. Kemudian ia menyeringai. Aku menjerit, namun hanya lenguhan yang keluar dari mulutku. Sejak itu, ke manapun aku memandang, mereka selalu ada.

“Ini anakmu, Sultan…”

-Jakarta, 16 Maret 2015-

Catatan penulis :

  1. Cerita ini hanya fiksi belaka.  Kesamaan nama dalam kisah ini merupakan 'ketidak-sengajaan' dan tidak merujuk pada pribadi-pribadi di dunia nyata.
  2. Ilustrasi diambil dari game favorit saya "Fatal Frame" hehehe...

Cerita Tengah Malam #1 Sumber gambar : g4tv.com Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun