Mohon tunggu...
Rusti Lisnawati
Rusti Lisnawati Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia yang senang dengan sesuatu yang berbau fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak ada Karangan Bunga untuk Ayah

21 Maret 2025   17:15 Diperbarui: 21 Maret 2025   17:15 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih mengenakan mukenanya, Ibu menghampiriku. Tak perlu mencemaskan Ayah, tidak akan lama lagi ia pulang. Mungkin hari ini Ayah sedang banyak pekerjaan. Pulang nanti Ayah pasti bawa banyak uang. Kamu bisa meminta Ayah untuk membelikanmu buku cerita yang baru. Tapi, aku tak bisa tenang. Aku ingat, Ayah pergi dalam kondisi kurang sehat. Kalau sekarang Ayah mendapat banyak pekerjaan, itu buruk untuk kesehatannya, Bu. Aku berniat menyusul Ayah ke pangkalan becak. Akan tetapi, urung dilakukan sebab Ayah tiba-tiba muncul dengan baju basah oleh keringat. Duh, Ayah.

Ibu gegas memberi Ayah handuk. Sebagai istri yang berbakti, ia lantas pergi membuat minuman untuk Ayah. Aku mendekati laki-laki yang tua yang sudah menemaniku selama ini. Tanganku terulur memijat kakinya. Ayah menyebutku anak pintar.
"Kenapa Ayah terlambat pulang?" Nada bicaraku sedikit meninggi. Aku marah pada Ayah karena kami batal membaca Iqra bersama. Kemudian bibir Ayah yang merah keunguan akibat keseringan merokok itu mengalirkan cerita tentang hari ini.

Hari ini, Ayah mendapat pekerjaan membawa banyak makanan ke perumahan. Jarak dari tempat makan ke perumahan itu lumayan jauh. Setidaknya Ayah harus bolak-balik beberapa kali untuk menyelesaikan pekerjaannya. Seharusnya itu selesai di jam empat atau sore tadi seandainya becak Ayah tidak diserempet mobil yang melaju kencang. Aku melihat salah satu tangan Ayah memiliki luka terbuka. Itu harus segera diobati. Sayang sekali, di rumah kami tidak ada obat-obatan yang memadai. Kami hanya memiliki obat merah dan obat sakit kepala.

Luka di tangan Ayah sudah kuberi obat merah. Ayah lalu merebahkan tubuhnya di amben. Aku baru saja mengambil satu langkah ketika telingaku menangkap teriakan Ayah. Aku berbalik dan mendapati Ayah meringkuk sembari memegangi perutnya dengan erat. Sesekali tangan Ayah terulur untuk memeriksa kakinya. Aku tidak tahu Ayah kenapa, tapi yang jelas Ayah tidak baik-baik saja.

Kehadiran Ibu yang langsung membantu Ayah bangun, membangunkan diriku dari lamunan. Kami segera membawa Ayah ke klinik terdekat. Hari sudah malam, tidak ada kendaraan umum yang lewat, tidak ada kendaraan tetangga yang bisa dipinjam, terpaksa kami harus jalan kaki. Mulut Ayah terus merintih kesakitan. "Kita harus cepat, Bu!" seruku panik lantaran tubuh Ayah mulai basah kembali oleh keringat dingin.

Kami berjalan dengan tergesa-gesa. Ayah mengaku sudah tidak kuat lagi berjalan. Paru-parunya sesak. Belum lagi rasa sakit di sekujur perut dan kakinya yang menambah penderitaan Ayah. Di saat napas Ayah terdengar putus-putus dan berat, mataku menangkap tulisan klinik yang silau oleh lampu. Aku gegas lari meminta pertolongan. Aku kembali pada Ibu bersama dua orang perawat yang membawa tandu. Ayah dibaringkan di sana. Perawat membawa Ayah ke ruang rawat inap. Ayah diperiksa di sana. Ibu memintaku untuk mendoakan keselamatan Ayah.

"Minta supaya Sang Maut enggan untuk mencabut nyawa Ayahmu," pinta Ibu dengan suara bergetar.

"Siapa Sang Maut, Bu?" Adakah ia seorang perempuan penyelamat? Atau laki-laki yang bisa menyembuhkan orang sakit? Usiaku baru delapan tahun dan aku belum mengerti banyak hal. Tapi, aku tetap melakukan apa yang Ibu minta.

Selang beberapa menit, dokter yang memeriksa Ayah keluar dengan wajah yang sendu. Ibu bertanya bagaimana kondisi Ayah. Bukannya menjawab pertanyaan Ibu, dokter malah memperhatikanku dan bilang kalau aku harus kuat. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Jadi, aku meminta agar dokter mau berterus terang setelah kubilang, aku adalah anak yang kuat.

"Ayahmu mengalami kebocoran di lambung. Penyakit paru-paru akibat kegiatan rokok turut memperburuk kondisi tubuhnya." Dokter melihatku sekali lagi sebelum berkata, "Ayahmu telah meninggal dunia."

Tubuh Ibu merosot ke lantai. Satu persatu air mata membasahi pipinya. Ibu meraung-raung memanggil nama Ayah. Sementara itu, aku masih menyambungkan teka-teki antara Sang Maut, mencabut nyawa Ayah, lambung yang bocor, penyakit paru-paru, dan kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun