Mohon tunggu...
Rustam E. Simamora
Rustam E. Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

~=*=~

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bagaimana Supaya Tidak Sakit Hati?

2 Juni 2012   15:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:28 2406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Aku benci hubungan ini..”

“Kenapa harus aku rasakan rasa sakit (hati) ini?”

Begitulah ungkapan kekecewaan Pretty kepada pacarnya Rahmat. Hubungan mereka yang telah berlangsung setahun lebih, kini dalam kondisi genting. Si cewek merasa kurang diperhatikan, Si cowok merasa sudah memperhatikan. Si cewek mengklaim si cowok, mau-maunya saja. Si cewek diklaim keras kepala.

Rahmat memang tidak begitu suka terlalu sering komunikasi. Tidak perlu tiap hari sms-an atau nelf. Sekali seminggu sudah cukup. Pretty maunya tiap hari. Kalau bisa dua kali sehari nelf. Akhirnya jalan tengah disepakati. Dua atau tiga hari, nelf. Selain itu, harus sering sms-an. Kesepakatan berjalan. Ternyata Rahmat mau terkadang molor, karena pulsanya tidak selalu ada. Dan dia lebih suka berlama-lama membaca dan menulis daripada telfonan sama sang kekasih. Bukan berarti dia tidak perduli dengan Pretty.

Pretty yang sedang menyelesaikan tugas akhir, menyusun skripsi, kecewa dan marah. Mereka bertengkar. Kemudian Pretty sms seperti di awal cerita ini.

*****

Mengapa Aku Rasakan Sakit Hati ini?

Pertanyaan: “Mengapa aku rasakan sakit hati ini?” bisa dijawab dengan: “karena kita memiliki rasa sayang secara alami”. Rasa sayang sayang, entah itu rasa sayang kepada segala sesuatu secara umum hewan, tanaman, manusia atau bahkan benda mati; rasa sayang kepada orang tertentu, persahabatan; rasa saying kepada kekasih, dan rasa sayang kepada Sumber Kasih Sayang, jika tidak tersalurkan, maka kebencianlah yang timbul.

Mengalami rasa sakit itu wajar. Tidak merasakan sakit justru tak wajar. Ketika fisik mengalami luka, tetapi kita tidak merasa sakit, berarti kitu justru sakit. Bahkan sakitnya sangat serius. Seperti para penderita penyakit kusta.

Kita tidak hanya bisa menderita sakit secara fisik. Tetapi juga secara psikis. Ada berbagai gangguan atau sakit non-fisik. Seperti sakit jiwa atau gangguan jiwa, stress, depresi dan sakit hati. Yang paling sering dialami tampaknya sakit hati. Bahkan depresi, stress, gangguan jiwa bermula dari sakit hati biasa yang ditekan, dan tak pernah diselesaikan, mengendap dan mengkristal menjadi sakit hati yang lebih serius.

Sebagaimana ‘aksioma’ sakit fisik di atas, demikian juga sakit hati. Mengalami sakit hati itu wajar. Justru tak wajar jika tidak (pernah) mengalami sakit hati. Ketika hati dilukai, misalnya difitnah, kita merasa tenang-tenang saja, berarti ada sesuatu yang tidak beres dengan hati kita. Mengalami sakit hati, kecewa atau kesal menunjukkan bahwa hati kita masih dalam keadaan sehat.

Sakit hati bisa jadi timbul oleh rasa sayang yang terdistorsi. Oleh karena kasih sayang kita, kita merencanakan yang terbaik bagi seseorang. Ternyata yang terbaik dari kita ditolak. Timbullah kekecewaan. Hati kita pun panas.

Sedikit tentang rasa sayang. Rasa sayang besifat ambivalen. Bisa sangat menguntungkan, bisa juga sangat merugikan. Kalau pasangan kekasih tadi saling mendukung untuk mengerjakan tugas kuliah, masing-masing akan termotivasi untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Tetapi, di satu sisi, rasa sayang sepasang kekasih bisa menghambat kelancaran kuliah kedua belah pihak. Kalau waktu mereka habis untuk memadu kasih, cerita tetek bengek seharian,mencari tempat rekreasi, kapan lagi mengerjakan tugas kuliah? Peringatan dari C.S. Lewis patut didengarkan. “Kasih jika dituhankan, akan menjadi setan”.

Bagaimana supaya Tidak Sakit Hati (lagi)?

Menjadi manusia berarti siap untuk menyayangi dengan segala konsekuensinya. Termasuk sakit hati. Supaya kita tidak sakit hati bagaimana? Hiduplah menjadi orang egois. Menjauh dari kelompok social. Hidup dengan hobbi. Jangan berikan hatimu untuk apapun, termasuk untuk hewan dan tanaman. Bunuh rasa sayang itu. Matikan hati itu. Masukkan ke dalam peti. Tutup rapat, jangan ada celah walau setitik yang terbuka. Jangan sampai ada udara yang masuk, apalagi hujan yang memberikan kesejukan. Hati itu akan mengeras seperti batu. Tahan banting. Tidak akan sobek-tercabik. Tidak juga tertembus. Mati rasa. Rasa sayang ikut mati. Apakah kita mau menggadaikan rasa sayang kita sebagai tiket supaya tidak sakit hati lagi?

Sama dengan tubuh yang mati – tidak merasakan apa-apa lagi – demikianlah hati yang sudah mati, tidak akan merasakan apa-apa lagi. Melakukan hal ini bisa jadi seperti meminta jimat dari dukun supaya fisiknya tahan tikam. Jimat itu dibarengi beberapa pantangan dan mengorbankan sesuatu yang sangat berharga. Bisa jadi ilmu kebal itu tidak senilai dengan ongkosnya yang dibayar dimuka (dan dibelakang yang biasanya jauh lebih besar).

Sakit hati, seperti masalah lainnya, butuh diselesaikan. Bukan untuk ditekan. Tidak bijak untuk memendam suatu masalah. Menekan masalah sama saja mengubur bom yang masih aktif, yang sewaktu-waktu berpotensi meledak dan menghancurkan. Atau bisa juga seperti duri dalam daging yang terus menerus membuat risi, tidak nyaman, atau menyakitkan sampai duri itu dikeluarkan.

Tidak ada obat yang dapat meredakan sakit hati secara sekejap. Butuh proses. Paham bahwa natur kita tidak kuasa menolak rasa sakit bisa jadi salah satu resep pertama. Resep kedua, sadar bahwa manusia itu tampaknya adalah makhluk paradox, perpaduan malaikat dan binatang, makhluk mulia sekaligus makhluk celaka (seperti kalimat Pram). Khilaf adalah sesuatu yang wajar, walaupun memang tetaplah salah. Mengomunikasikan sakit hati kepada teman atau curhat bisa juga salah satu resep yang manjur. Apalagi mengkomunikasikan sakit hati kepada sumber dan pemicu sakit hati. Tapi hal ini bisa membuat suatu situasi kepada dua ekstrim, bisa makin sakit hati, tapi bisa juga justru memulihkan hati. Akan tetapi, sakit hati bisa membangun jika diolah dengan baik. Sakit hati bahkan bisa diolah untuk memikirkan dan berbuat sesuatu yang revolusioner. Sakit hati karena ketidakadilan menggugah para pejuang mengubah mimpi jadi visi, dan visi menjadi realitas.

Menolak untuk tidak merasakan sakit hati, menolak kemanusiaan itu sendiri. “Bagaimana supaya tidak sakit hati?” adalah pertanyaan bodoh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun