"Di mana kami harus bertempur?" bertanya Ki Palang Sisir.
"Bukan di mana. Tetapi perkelahian di antara kita memang harus dicegah. Kita sudah terlalu kenyang dihantam oleh pengalaman. Kita selalu dihancurkan karena kita selalu bertengkar dengan kita sendiri."
"Tetapi penghinaan itu sudah melampaui batas."
Ki Jala Sabrang mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Kembang Arum yang masih pucat. Setitik keringat telah membasahi keningnya.
"Hem.., persoalan perempuan selalu muncul dalam berbagai keadaan," desisnya di dalam hati, Ki Jala Sabrang menarik nafas dalam-dalam. "Sejak masa lalu dan kini di Manyuran pula, persoalan perempuan selalu menghantuiku."
Tetapi sebelum Ki Jala Sabrang melakukan sesuatu, mereka telah dikejutkan oleh derap kaki kuda. Sejenak mereka terdiam.Â
Dan suasana pun menjadi hening sepi. Yang terdengar adalah silirnya angin pantai menyentuh dedaunan dan suara derap kaki kuda yang semakin lama semakin menjadi jelas.
"Ternyata hanya seekor kuda," desis Ki Jala Sabrang, sehingga karena itu maka ia pun tidak menjadi cemas karenanya. Ketika tanpa sadar ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah melampaui titik puncaknya di pusat langit.
Sekejap kemudian dari balik rerimbunan, mereka melihat seekor kuda seakan-akan terbang di jalan pedukuhan.Â
Namun kemudian langkah kuda itu pun diperlambat. Agaknya penunggangnya telah melihat beberapa orang yang berada di tempat itu.Â
Tetapi kuda itu tidak berhenti. Semakin lama semakin dekat dan dekat. Ketika terlihat oleh mereka, penunggang kuda itu, maka terdengar Kembang Arum berteriak memanggil.