Mohon tunggu...
Muhamad Idris Solihin
Muhamad Idris Solihin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa UINKHAS

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Islam dan Mobilitas Sosial

24 November 2023   08:20 Diperbarui: 24 November 2023   08:20 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peningkatan status sosial dianggap sebagai suatu hal yang baik karena menunjukkan keberhasilan karir seseorang. Peningkatan status dianggap negatif bila membuat seseorang gelisah, sombong, pamer kekayaan, mengganggu kehidupan keluarga, dan meningkatkan angka perceraian dalam keluarga. Dikatakan bahwa kenaikan status tetap dapat memantapkan semangat seseorang dan menjaga kestabilan karakternya.

Masyarakat modern menawarkan lebih banyak kesempatan untuk melakukan mobilitas sosial dibandingkan masyarakat kuno. Pada masyarakat zaman dahulu dan tradisional, mobilitas sosial sangat sulit dilakukan karena stratifikasi sosial bersifat tertutup dan kaku. Misalnya dalam sistem kasta, tidak ada mobilitas sosial. Dalam sistem ini, jika seseorang dilahirkan dalam kasta terbawah, ia akan selalu berada dalam kasta terbawah. Sekalipun ia mempunyai kemampuan atau keahlian, ia tidak boleh dipromosikan ke kasta yang lebih tinggi karena kriteria stratifikasinya bersifat genetik. Oleh karena itu, tidak terjadi perpindahan sosial dari satu kelas ke kelas lain yang lebih tinggi.

Masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial terbuka mempunyai mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial tidak terbuka. Di dunia modern saat ini, tidak sedikit negara berupaya meningkatkan mobilitas sosial di masyarakatnya sebab mereka percaya hal ini akan memungkinkan masyarakatnya mendapatkan jenis pekerjaan yang paling sesuai untuk mereka.

Mobilitas yang dilaksanakan individu menempatkan orang tersebut dalam suatu kelas sosial. (Stratifikasi Sosial) imi tidak sama dengan sebelumnya. Dalam stratifikasi sosial terdapat klasifikasi kelas yang dikatakan sistem kelas, yang memposisikan orang ke dalam kelas-kelas yang cocok dengan keadaan yang dimilikinya.

Jika mobilitas tinggi, meskipun individu mempunyai latar belakang sosial yang tidak sama, mereka tetap bisa merasa memiliki hak yang tidak berbeda untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi. Jika mobilitas sosial rendah, tentu sebagian besar masyarakat akan terkurung pada status nenek moyangnya. Jika kita membahas tentang mobilitas sosial, umumnya yang kita pikirkan adalah mobilitas dari tingkat bawah ke atas, namun nyatanya mobilitas bisa terjadi dua arah. Sama seperti orang-orang yang berhasil mencapai status tinggi, ada pula yang gagal, sementara ada pula yang tetap berada pada atau di bawah status orang tuanya. Mobilitas yang diuraikan di atas merupakan salah satu bentuk mobilitas antargenerasi, yaitu kita dapat membandingkan status pekerjaan ayah dan anak, dan lebih dari itu kita dapat melihat sejauh mana anak mengikuti jejak ayahnya dalam hal pekerjaan. Mobilitas juga dapat dipelajari dalam kaitannya dengan pergerakan "intragenerasi", yaitu kita dapat memperikan sejauh mana seseorang yang sama mengalami perubahan sosial sepanjang hidupnya. Kembali ke pembahasan sebelumnya, dalam kedua kasus tersebut kita prihatin dengan tingkat keterbukaan yang ekstrim dalam suatu masyarakat, suatu masyarakat terbuka yang mana hubungan antara pekerjaan seorang ayah dengan pekerjaan seorang anak bersifat acak. Ini ialah masyarakat di mana status didapatkan melalui prestasi, dan mengetahui karier seorang ayah tidak menolong kita memprediksi karier anak-anaknya. Di sisi lain, masyarakat yang benar-benar tertutup adalah masyarakat yang statusnya bawaan (diberikan) sejak lahir, penyapu jalan melahirkan penyapu jalan (masa depan), perawat melahirkan perawat (masa depan), pengemis melahirkan pengemis (masa depan). Namun, dalam setiap masyarakat terdapat perpaduan antara prestasi dan rasa memiliki, dan hubungan timbal balik antara upaya seseorang dan upaya generasi mendatang sangatlah kompleks dan beragam.

Pendidikan adalah jalan menuju mobilitas sosial. Pada zaman dahulu, faktor keturunanlah yang menentukan status sosial seseorang, dan faktor keturunan ini diresapi melalui sistem kelas yang ketat. Semoga kesempatan belajar yang setara akan membuka jalan bagi setiap anak untuk memperoleh pekerjaan yang mereka inginkan. Sekolah wajib atau pendidikan universal; memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berbeda kepada semua anak dari semua kelompok sosial. Dengan cara ini, ketidaksamaan kelompok sosial anak bisa dikurangi, bahkan dihilangkan sama sekali. Faktanya, mimpi tidak mudah untuk menjadi kenyataan. 


Pendidikan membuka kemungkinan terjadinya mobilitas sosial. Dikarenakan pendidikan, status sosial seseorang meningkat. Pendidikan kesetaraan memberikan kesetaraan dasar juha mengurangi ketidaksamaan antara kelompok tinggi dengan rendah. Dengan pendidikan, setiap warga negara bisa membaca surat kabar juga majalah yang sama serta memikirkan isu-isu politik. Masyarakat dan perekonomian yang sama. 

Adapun teori dari mobilitas sosial, antara lain:

  • Teori Martin Lipset dan Hans Zetterber. Teori mobilitas sosial Lipset dan Zetterberg berfokus pada penyebab dan dimensi mobilitas sosial. Alasan pertama adalah ketersediaan lowongan dan alasan kedua adalah perubahan peringkat. Sederhananya, kita dapat membayangkan bahwa untuk setiap mobilitas ke atas dalam suatu masyarakat, pasti ada mobilitas ke bawah.[15] Mobilitas sosial menurut Lipser dan Zeesemberg terdiri dari empat dimensi, yaitu: 
  • Peringkat Karir. Pekerjaan merupakan indikator universal sertifikasi sosial. Para peneliti percaya bahwa pekerjaan merupakan faktor penting dalam membedakan kepercayaam, nilai, norma, kebiasaan, serta terkadang bahkan ekspresi emosional. 
  • Peringkat konsumsi mengacu pada gaya hidup. Orang-orang dengan gaya hidup juga gengsi yang kurang lebih tidak jauh berbeda bisa disebut berada pada kelas konsumen yang sama. Cara yang paling benar untuk menghitung indeks konsumsi kelas tidak dari total pendapatan, tetapi dari pendapatan ketenaran dan aktivitas budaya.
  • Peringkat kelas sosial. Seseorang dikatakan satu kelas dengan orang lain apabila ia menerima orang lain sebagai satu kelas dan mempunyai hubungan.
  • Pemeringkatan kekuasaan, dimensi ini mengacu pada hubungan peran yang berbentuk kekuasaan atau relasi kekuasaan yang mengikutkan posisi bawahan di satu sisi serta posisi bawahan di sisi lain. Mereka percaya jika kekuasaan adalah alat mobilitas sosial.[16]
  • Teori Ralph Turner Telaah Turner . Teori tersebut menghubungkan sistem pendidikan Amerika Serikat dan Inggris dengan mobilitas vertikal di kedua negara. Asumsi yang menjadi latar belakang pemikiran Turner ialah sistem kelas terbuka yang ditandai dengan dibukanya sekolah negeri memberikan kesempatan lahirnya mobilitas sosial vertikal. Lebih lanjut Patinasarani menjelaskan bahwa Turner menemukan ada 2 jenis mobilitas yang berdasar pada norma sosial yang terorganisir, yakni mobilitas patronase juga mobilitas lingkungan. Turner mengartikan mobilitas kompetitif sebagai institusi dimana status elit merupakan hadiah/penghargaan yang didapatkan indivifu dengan beberapa upaya dalam kompetisi terbuka di mana peserta menunjukkan kemampuan, strategi, tekad, dan bersaing secara setara. Dalam mobilitas bersponsor, pemilihan kelompok elit dan pemberian status elit didasarkan pada beberapa kriteria, yang harus didasarkan pada kualifikasi tertentu dan penetapan tersebut tidak dapat dibatalkan melalui upaya atau strategi apa pun.[17]  
  • Turner menambahkan, kedua jenis mobilitas sosial ini ialah tipe ideal yang ia gunakan untuk menjelaskan analisis penelitiannya tentang stratifikasi dan sistem pendidikan. Faktanya, mobilitas vertikal yang terjadi di semua masyarakat mencakup kedua jenis mobilitas sosial tersebut, meskipun dalam derajat yang tidak sama.[18]  
  • Teori Pitirim Sorokin Sorokin. Mengenai kesempatam mobilitas, Sorokin mengatakan jika tidak semua individu dalam suatu masyarakat memiliki kesempatan yang sama dengan individu lain untuk berpindah dari 1 posisi ke posisi lain. Teori ini secara luas mengartikan mobilitas sosial sebagai pergerakan individu dalam ruang sosial. Ketika mempelajari mobilitas sosial, perhatian kita terfokus tidak cuma pada transformasi status sosial seseorang, namun juga pada dampak gerakan-gerakan tersebut terhadap kelompok sosial serta keseluruhan struktur sosial di mana gerakan-gerakan seseorang tersebut terjadi. Sorokin membagi 2 jenis yakni gerak horizontal juga gerak vertikal, gerak horizontal adalah gerak dari suatu posisi ke posisi lain pada tingkat yang sama. Sedangkan vertikalitas mengacu pada perpindahan masyarakat dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Seseorang dikatakan mempunyai mobilitas ke atas apabila mobilitas sosial berupa perpindahan orang dari kelas sosial yang lebih rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi dan kebalikannya. Jika individu berpindah dari kelas yang lebih tinggi ke kelas yang lebih rendah, maka orang tersebut mengalami mobilitas ke bawah.[19]  
  • Teori Boudon. Teori Mobilitas Berdasarkan Ketimpangan Budaya Teori yang dikemukakan oleh Boudon menyatakan bahwa mobilitas terjadi berdasarkan latar belakang budaya, yaitu masyarakat yang hidup pada kelas sosial yang lebih tinggi lebih cenderung mencari pekerjaan elit dibandingkan kelas sosial yang lebih rendah. Teori tersebut juga berpendapat bahwa meskipun ketimpangan di sektor pendidikan menunjukkan tren menurun, ketimpangan di sektor sosial menunjukkan arah yang konstan (tidak berubah).[20] 

C. Konsekuensi dan Dampak Mobilitas Sosial Pendidikan Agama Islam

Meskipun mobilitas sosial memungkinkan orang untuk menemukan orang yang paling terampil untuk mengisi posisi dan memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk mencapai tujuan hidupnya, mobilitas sosial juga dapat menimbulkan konsekuensi yang sebenarnya tidak kita inginkan, seperti perasaan individu yang berusaha untuk maju merasa gugup. Karena dinamika antar kelompok sosial, solidaritas kelompok dapat dirusak oleh ketidakpuasan status, kegagalan, arogansi dan arogansi terhadap kesuksesan, kekhawatiran akan penurunan status, dan kekhawatiran sosial. Kita dapat menemukan contoh ekstrim dari dampak mobilitas sosial pada masyarakat kasta di atas, dimana perbedaan antar kelompok yang menduduki strata tertentu dalam masyarakat sangat menonjol dan jelas batas-batasnya. Norma, nilai, dan gaya hidup masing-masing kelompok juga berbeda secara signifikan. Oleh karena itu wajar jika kasta atas merasa cemas ketika statusnya terancam terdegradasi ke kasta bawah. Bahkan masyarakat dari kasta tertentu yang melanggar norma yang berlaku langsung dikeluarkan dari kelompoknya dan dikucilkan oleh kasta sendiri bahkan keluarganya.

Adapun akibat atau dampak mobilitas sosial terhadap masyarakat, ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya adalah dapat mendorong seseorang untuk semakin maju, mempercepat tingkat perubahan sosial ke arah yang lebih baik, dan meningkatkan integrasi sosial. Selain itu, mobilitas sosial dapat memberikan insentif bagi masyarakat untuk maju dan mencapai status yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun