Mohon tunggu...
Ruri Prattycia
Ruri Prattycia Mohon Tunggu... Lainnya - baru memulai menulis

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Yang Muda Yang Bersuara: Kekerasan Seksual di Ruang Publik

7 Desember 2021   01:40 Diperbarui: 7 Desember 2021   09:19 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Ruri Prattycia Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, UNJ

Kekerasan seksual bukanlah suatu permasalahan yang baru dalam kehidupan masyarakat, permasalahan ini akan secara terus -- menerus meluas. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi oleh remaja saja, bahkan anak -- anak sampai orang dewasa pun mengalami tindakan tersebut. di Indonesia, kejadian seperti ini sering ditemukan pada daerah -- daerah yang cukup terpencil dimana kebanyakan para pelaku adalah orang terdekat bahkan sekaligus keluarga. 

Terlebih dalam era globalisasi yang sudah modern, perkembangan internet dan teknologi sudah menjangkau kepenjuru tempat, yang biasanya banyak orang -- orang tidak bertanggung jawab mengakses situs dewasa yang akhirnya melampiaskan keinginannya kepada korban baik itu anak -- anak, remaja bahkan orang dewasa. Pelecehan seksual sebagai salah satu bentuk yang sering dialami oleh para pemuda di ruang publik akan menimbulkan dampak psikis dimana pemuda sebagai korban akan merasakan trauma yang parah dan ketakutan berlebih kepada orang lain.

Perlunya rasa aman yang dirasakan oleh para pemuda di ruang publik agar terhindar dari gangguan verbal atau tindakan langsung. Perspektif struktural fungsionalisme menjadi dasar agar peran dan fungsi masyarakat dapat berjalan dengan benar dalam menghadapi tindakan kekerasan seksual.

Menurut Echols dan Shadily (1997: 517) istilah dari kekerasan seksual berasal dari bahasa Inggris yaitu sexual hardness yang berarti kekerasan, tidak menyenangkan dan tidak bebas. Sedangkan menurut Supardi dan Sudarjoen (2016) kekerasan seksual merupakan perilaku yang menimbulkan tindakan negative yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Tindakan negative ini dapat berupa kemarahan, kehilangan harga diri, malu, tersinggung, menjadi pribadi tertutup, dan hina.

Dimana hal ini juga dikemukakan oleh Poerwandari (2000) bahwasannya kekerasan seksual adalah suatu perbuatan atau tindakan yang mengarah ke desakan atau ajakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, memaksa melihat gambar atau video pornografi, gurauan mengandung unsur seksual, merendahkan, meremehkan, memaksa berhubungan seksual tanpa adanya persetujuan korban dengan kekerasan fisik maupun tidak, melukai, dll. 

Jadi dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh para pelaku kepada korban seperti meraba, menyentuh, mencium, dan sebagainya yang dapat menimbulkan kemarahan serta merasa kehilangan harga diri akibat tindakan yang diterima.

Nyatanya di Indonesia kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak -- anak bertambah banyak. Berdasarkan data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada tahun 2020 terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang mana kasus ini naik sekitar 6% dari tahun sebelumnya sebanyak 406.178 kasus. Kekerasan yang berada di ruang publik ataupun komunitas tercatat sekitar 3.062 kasus dengan 58% merupakan kekerasan seksual (https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan).

Berdasarkan pengamatan Komnas Perempuan selama 15 tahun (1998 -- 2013) terdapat 15 bentuk kekerasan seksual yang biasanya terjadi di Indonesia seperti pemerkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual,  praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol seksual termasuk melalui aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Dari bentuk -- bentuk kekerasan seksual yang terjadi, pemerkosaan dan pencabulan merupakan bentuk kekerasan seksual yang paling banyak ditemukan. Menurut Fathurrozi (2016) terdapat :

  • 45% korban kekerasan seksual adalah anak -- anak dan 47% diantaranya adalah kasus incest dengan 90% pelakunya yaitu ayah korban
  • 85% pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat seperti orang tua, saudara, suami, pacar, tetangga, teman dan guru
  • 100% korban sudah dipilih atau menjadi target
  • 43% kekerasan seksual dilakukan dengan ancaman atau intimidasi dan 57% dengan tipu atau daya muslihat.

Sedangkan untuk kasus yang terjadi baru -- baru ini dimana sering terjadi kekerasan seksual di ranah perguruan tinggi, namun banyak kampus yang seolah -- oleh tutup mata akan perbuatan para dosen ataupun petinggi yang melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswinya. 

Hal ini dikarenakan demi nama baik dari perguruan tinggi tersebut sehingga membuat korban menjadi takut untuk dikeluarkan dari perguruan tinggi ketika mereka melaporkan tindakan tersebut. 

Survei yang dilakukan oleh Kemendikbud pada tahun lalu menghasilkan data bahwa 77% dosen yang ada di perguruan tinggi Indonesia mengatakan bahwa kampus tempat mereka bekerja pernah terjadi kekerasan seksual, 63% diantaranya tidak melaporkan kejadian tersebut, dan 27% korban yang mengadukan kekerasan seksual di perguruan tinggi kepada Komnas Perempuan (https://interaktif.tempo.co/proyek/kekerasan-seksual-di-kampus/).

Dampak dari adanya kekerasan seksual ini menjadi tantangan tersediri untuk para korban dan orang sekitarnya, dimana psikis dan fisiknya akan terganggu. Dampak ini bisa berupa menimbulkan rasa trauma, selalu menyendiri, gangguan pada kesehatan, merasa hina , tidak percaya diri, mulai tidak suka dengan lawan jenis, bahkan sampai bunuh diri (Wahid dan Irfan, 2001: 82-83). 

Rata -- rata pemuda yang menjadi korban kekerasan seksual akan mengakibatkan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang memerlukan penanganan khusus.

Maka dari itu perlunya semua elemen masyarakat dan pemerintah yang menjalankan fungsi dan perannya masing -- masing dalam menghadapi kekerasan seksual. Dalam hal ini kekerasan seksual yang dilihat pada perspektif struktural fungsionalisme Talcott Parsons. Dalam Ritzer (1992: 25) masyarakat merpakan suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian -- bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. 

Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan terhadap bagian yang lain.terdapat lembaga -- lembaga yang memiliki fungsi sendiri -- sendiri. Pada lembaga sekolah mempunyai fungsi mewariskan nilai -- nilai, lembaga politik berfungsi menjaga tatanan sosial agar berjalan dan ditaati (Zamroni, 1988: 27).

Dalam permasalahan ini, masing -- masing lembaga harus menjalankan fungsinya seperti lembaga sekolah harus mengawasi dan menjamin tanpa adanya kekerasan seksual melalui peraturan dan visi misinya. Sekolah juga harus bisa bertindak tegas dan tidak menutup -- nutupi kasus kekerasan seksual yang terjadi. Sedangkan lembaga pemerintahan juga dapat membuat perlindungan bagi korban serta membuat pendampingan selama pemulihan dengan para ahli untuk menyembuhkan rasa traumanya.  

Banyak peran yang harus dilakukan oleh berbagai pihak agar masalah kekerasan seksual ini dapat diminimalisirkan, seperti halnya pemerintah yang mempunyai peran untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan terciptanya PERMENDIKBUDRISTEK No. 30 Tahun 2021 dan perlunya pengesahan RUU PKS demi kemaslahatan bersama. 

Peran pemuda agar mau bersuara terhadap permaslahan yang tidak ada habisnya ini, banyak korban -- korban yang menderita akibat tidak berani mengungkapkan kasus kekerasan seksual dan banyak pelaku yang kehidupanya damai tanpa memperdulikan tindakan yang telah dilakukan, pemuda harus berani menolong dan bersuara agar keadilan para korban tetap terjamin. 

Karena seperti yang diketahui bahwasannya kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat jumlahnya dan sangat sedikit korban yang berani melaporkan bahwa mereka telah mengalami kekerasan seksual. Pemuda perlu mengawal setiap kasus yang terjadi agar negara kita tetap aman dari kekerasan seksual dan pelecehan seksual. #YangMudaYangBersuara.

Referensi :

Buku :

Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Bandung: PT. Refika Aditama

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2014. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Edisi Terbaru). Bantul: Kreasi Wacana.

Wirawan, I.B. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial). Jakarta: Prenadamedia Group.

Jurnal : 

Fuadi, M. Anwar. 2015. Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Psikoislamika (Vol. 8 No. 2). Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Purbararas, Esmu Diah. Problema Traumatik: Kekerasan Seksual Pada Remaja. Jurnal IJTIMAIYA (Vol. 2 No. 1).

Munim, Musyafa Abdul. 2016. Perlindungan Anak dari Perilaku Kekerasan Seksual. Skripsi. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun