Mohon tunggu...
rudi kafil yamin
rudi kafil yamin Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa yang tak kunjung berkarya

Bergaya dengan karya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Demokrasi a la Gusdur

19 Juni 2019   15:55 Diperbarui: 19 Juni 2019   16:14 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

4

(Demokrasi a la Gus Dur, sambil mengenang wafatnya beliau.)

"Ada berita apa hari ini, Rudi Kafil?" Tanya Gus Dur kepadaku.

"Pemilu yang memilukan, Gus!" Balasku padanya.

Pertemanan ini sudah terhitung satu bulan. Melalui karya dan pemikirannya, saya merasa lebih dekat dengan beliau. Tak dapat dipungkiri, bahwa di dalam tulisan ini saya mendeklarasikan diri mengagumi beliau. Saya katakan kepada kalian yang masih belum mengenal beliau, sesegera mungkinlah membaca karya-karya tentang beliau.

Kali ini saya benar-benar menyaksikannya sendiri. Tercatat dalam ingatan, bahwa pada bulan-bulan ini telah terjadi begitu banyak momentum bersejarah yang katanya masih bermandikan darah. Entah itu positif, ataupun negatif. Di antara banyaknya tema dalam sejarah Indonesia kali ini, bagian panggung politiklah yang paling mengguncang. Meski di sisi lain, Indonesia turut mencatat sejarah karena telah berhasil melangsungkan pemilu raya sekaligus, baik pemilu presiden maupun legislatif.

Pemilu 2019 telah usai dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019. Kini menurut data dari KPU, pasangan nomor urut 01 yang memenangkan pemilu. Akan tetapi, lawan dari pasangan 01 yaitu 02, merasa keberatan dan tidak menerima kemenangan dari lawannya tersebut. Sebab mereka menengarai adanya sebuah bentuk kecurangan dalam berlangsungnya pemilu kali ini. Maka jalur paling tinggi ditempuh oleh kubu 02 dengan menggugat kubu 01 ke Mahkamah Agung.

"Lalu apa yang memilukan dalam pemilu kali ini, Fil?" Tanya Gus Dur padaku sambil cengengesan, khasnya.

"Agama, Gus! Kini agama diperjualbelikan!" Jawabku lantang.

"Lah, wong gitu aja kok repot!" Sahut Gus Dur membalas pernyataanku.

"Ya jelas repot toh, Gus! Agama ini Gus, menyangkut soal Tuhan. Bukan mochi yang bebas diperjualbelikan."

Gus Dur memang selalu terlihat tidak mau ambil ribet dalam segala persoalan. Bagiku beliau adalah seorang yang sangat keren! Kenapa? Pasalnya, dia tidak mau membikin semua perkara menjadi terlalu ribet. Hal yang paling penting bagi dirinya justru adalah persoalan nilai kemanusiaan yang tetap berada pada porsinya.

"Gini Fil, sampean tak kasih tahu ya, dengerin baik-baik! Apapun persoalanya, Tuhan itu tidak perlu dibela. Tuhan itu Maha Besar, Maha Agung, dan Maha Berkuasa. Tidak perlu ada pembelaan apapun. Yang sejatinya perlu dibela adalah manusia yang hidupnya kerap manusia lain tindas dan aniaya." Gus Dur dengan santainya duduk di kursi kesayangannya itu, sambil merekatkan kedua jari-jemari.

"Ya tapikan Gus, ini persoalan serius. Banyak korban berjatuhan, bahkan terpecah menjadi kubu 01 dan 02. Yang lebih parah ya Gus, di grup WA keluarga saya---Bapak dan Ibu saya jadi bertengkar hanya gara-gara beda pilihan. Ada yang bilang 01 itu kubu-kubuan sama antek asing, atheis, ke china-chinaan, suka diskriminasi ulama. Ada yang bilang juga 02 itu Islamnya radikal, so suci, ke arab-araban, terus pendapatnya merasa paling benar karena ada ijtima dari ulama, yang ini dibilang kafir yang itu juga dibilang kafir. Ya sudah saya muncul di grup sambil bilang, gapapa kalian kafir yang penting saya tetep kafil. Hahaha."

"Sampean ini gimana, Fil. Liat keluarga pada ribut malah ketawa!" Kekehnya.

"Habisnya mau gimana lagi, Gus? Kalo saya ikut berargumentasi, nanti saya yang balik dimarahin. Lagian, saya enggak tau apa-apa tentang perbedaan Gus." Jawabku ketus karena kena sentil.

"Fil, bukankah dengan demikian, akan sangat jelas bagi kita? Bahwa menerima perbedaan pendapat bukanlah tanda kelemahan, namun menunjukkan kekuatan."

"Kekuatan yang sampean maksud gimana, Gus? Saya teu ngarti!"

"Marilah kita bangun bangsa ini, dan kita hindarkan dari segala pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi dari tugas untuk kesejahteraan kita yang tidak boleh kita lupakan sama sekali! Kemajemukan harus bisa diterima, tanpa adanya perbedaan!" \

"Tapi kan Gus, menerima perbedaan itu sangatlah sulit! Apalagi perbedaan mengenai agama, mengenai keyakinan. Saat ini agama begitu ditonjolkan, sehingga dalam pemilu kali ini isu agama lebih sensitif. Di Indonesia sendiri, ada banyak sekali perbedaan, dimulai dari agama, suku, ras dan pilihan presiden tentunya. Hehe.  Lantas, apakah perbedaan pemahaman itu merupakan fitrah, bawaan sejak lahir---atau perbedaan itu disebabkan oleh ketidaktahuan akan kebenaran sebuah agama, Gus?"

"Kok repot lagi, Fil! Sekali lagi saya tegaskan, perbedaan itu rahmat Tuhan! Dalam perbedaan mengenai pandangan agama, manusia mestilah saling memuliakan manusia, yang berarti ia pun memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti juga menistakan penciptanya."

"Hm, gitu ya, Gus."

"Satu lagi Fil, sampean tak kasih tahu kenapa Tuhan menurunkan agama kepada manusia. Yang diperlukan Tuhan bagi orang-orang yang memeluk agama adalah ditegakanya nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, agama diturunkan oleh Tuhan adalah untuk manusia, bukan untuk Tuhan sendiri."

Pandangan Gus Dur bagiku selalu melampaui peradaban, ia berpikir jauh dan bijaksana dalam setiap ucapannya, meski terkadang nyeleneh. Ya, seperti itulah Gus Dur.

"Jadi, Tuhan tidak perlu dibela, Gus? Terus bagaimana dengan orang-orang yang selalu mengatasnamakan Tuhan, padahal mereka hanya meraih keuntungan pribadi bahkan kelompoknya, Gus?"

"Ya sampean ubah. Toh, tugas generasi selanjutnya memang seperti itu, merubah dan meneruskan peradaban dengan lebih baik lagi. Indonesia itu bangsa yang besar. Tak kalah besar dengan pemikirannya!"

"Saya enggak yakin, Gus. Saya selalu bimbang di tengah jalan, belum lagi saya bukan siapa-siapa."

"Selagi kulitmu masih sawo matang, akhir logatmu masih berkata euy, berarti sampean adalah anak bangsa yang berasal dari tanah Jawa, dan identitasmu adalah orang Sunda. Selagi sampean memiliki niat untuk melakukan perubahan, ya ubahlah! Kalau  sampean ingin melakukan perubahan, jangan tunduk terhadap kenyataan yang ada! Asalkan sampean yakin di jalan yang benar, lanjutkan!"

"Iya, Gus. Saya pingin kayak sampean, pinter dan terus bisa jadi presiden. Tapi saya suka nyesel, Gus! Skripsi enggak beres-beres! Dan kenapa nasib saya selalu seperti ini, pinter engga, bodo iya."

"Fil, menyesali nasib itu tidak akan pernah merubah keadaan! Terus berkarya dan bekerjalah! Itu yang akan membuat kita tetap berharga! Jangan putus asa, gitu aja kok repot!"

"Baik, Gus. Terima kasih! Nasihat dan humormu pasti akan saya contoh di kemudian hari."

Pada tanggal 30, Gus Dur berpulang, dan aku pun terbangun dari mimpi. Masih terngiang kala beliau berkata, "Bangunlah, Fil, lanjutkan hidupmu, bukan mimpimu!".

(Semoga beliau diterima iman dan Islamnya, Al-fatihah.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun