Mohon tunggu...
rudie chakil
rudie chakil Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Biarkan Ego Muthmainahku Berkreasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[LOMBAPK] Pulung Permintaan

23 Januari 2017   08:36 Diperbarui: 23 Januari 2017   09:11 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami berbincang tentang banyak hal. Tak kaku dan tak heran lagi akan arah pembicaraan. Sudah bukan rahasia umum bagi kami berlima akan rahasia 'Pulung permintaan' nanti malam. Yang jelas, masing-masing dari kami membawa hajat yang harus tercapai. Dan kami mengerti bahwa kami akan bersaing memperebutkan seberkas cahaya terang yang akan datang di malam nanti.

Obrolan pun berlanjut pada sesi curhat. Di mulai dari Mas Kirun yang kembali membuka cerita tentang keluarga besar dan segala problematika moneter-nya. Di sambung dengan curhatan pilu dari Mas Anton, pria berkulit hitam yang berharap datangnya keajaiban akan kesembuhan anak semata wayangnya yang sakit keras. Lalu Mas Ken Lee, pria putih bermata sipit, yang inginkan keturunan setelah puluhan tahun belum dikaruniai seorang anak. Kemudian berlanjut ke Mas Taruna Wijaya, pria yang terlihat bersih seperti perempuan, yang usahanya bangkrut dan meninggalkan hutang miliyaran rupiah setelah ditipu oleh rekannya sendiri.

Yahh..., Begitulah hidup. Tiada hidup tanpa datangnya sebuah masalah. Saat aku ditanya tentang masalah dan keperluanku, aku cuma menjawab jika aku diminta orang tua membawa hajat orang lain.
"Bawa banyak, Mas?" Tanya Mas kirun pada Mas Ken yang membakar batang hio untuk ke sekian kalinya.
"Iya..., Saya bawa banyak," jawabnya.
Mas Kirun menengok padaku.

"Mas..., Sajen itu artine 'sae gowong sejjen'. Artine 'berbagi dengan sesama'. Sama seperti sampean ngasih aku rokok, ngasih aku kopi. Sajen itu seperti itu pada alam halus." Ucapnya secara tiba-tiba. Aku kaget mendengarnya. Setahuku perbuatan seperti  itu adalah sebuah praktek musyrik yang memberi makan makhluk halus. Namun pada dasarnya aku adalah orang yang open mind. Jadi, selama hal yang diutarakan cukup masuk akal dan tak merugikan atau mencelakakan siapapun, aku tak akan mematahkan pernyataannya. Aku hanya mengangguk-angguk.
Obrolan kami pun berlanjut seru.

Ketika rasa dingin mulai dirasakan dan ketika waktu malam mulai ditampakkan, kami semua memulai ritual. Hanya duduk bersila seperti orang yang bermeditasi, mengatur napas, memokuskan pikiran, dan merapal sebait kalimat yang dibaca berulang-ulang. Cukup lama aku larut dalam heningnya malam dengan mata terpejam, rasa-rasanya seperti tak ingat akan keberadaan diriku di alam dunia ini. Seperti melihat Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa dari jarak amat dekat.

Benar saja, di saat waktu beranjak pada sepertiga malam, saat hawa dingin terasa begitu menyengat sekujur tubuh. Seberkas cahaya terang datang dari langit. Sangat terlihat jelas meski hitam di mata tertutup oleh kelopak mata. Aku pun membuka mata, -dalam catatan, apabila ada cahaya terang dalam keterpejaman, maka membuka mata sudah tidak apa-apa.-
Sinar terang berbentuk bulat seperti bola kasti itu berputar-putar di area sekitar tempat kami duduk. Aku melihat empat orang di dekatku juga sudah membuka mata. Masing-masing dari mereka terpana kagum pada satu kejadian aneh yang terjadi. Dan pada putaran yang ke-tujuh, sinar terang itu datang mendekat padaku. Aku terkesima atas kejadian ini.


Tiba-tiba ingatanku begitu berat terbawa pada kisah-kisah yang kudengar sore tadi. Kisah pilu yang membuat mataku menangis karena kasihan pada mereka. Membuat hatiku teriris karena beban yang tengah dirasakan oleh mereka. Membuat jiwaku merintih karena wajah harap mereka akan jalan keluar dari semua belitan peristiwanya. Persetan dengan tuan Anoa yang berhasrat mencalonkan diri jadi orang nomer satu di kota nomer satu itu.
Tetapi! Dia juga yang membawaku sampai ke tempat ini. Tetapi! Aku juga ingin hidup layak seperti seorang kaya-raya. Ah, persetan dengan semuanya.
Sinar itu semakin mendekat padaku. Aku pun berdiri dan menautkan kedua tanganku di depan dada.
"Tuhaaaaan..., Kabulkanlah hajat kami semua di sini." Teriakku.

***

Rasa bahagia dan kebebasan begitu kurasakan sepanjang perjalanan pulang. Biarlah aku tak mendapatkan apa yang aku mau. Toh bagiku, diberi keberuntungan adalah hal yang lebih baik daripada keinginan yang dikabulkan. Dari perjalanan kali ini aku mendapat banyak pelajaran.
'Telolet, telolet... telolet, telolet'. Dering suara handphoneku berbunyi.
"Iya, Mas Kirun. Nanti aku telpon lagi yaa, Mas. Ini lagi turun dari Bus." Aku berdiri dari kursi Bus, kemudian melangkah turun. Yah, mereka berempat telah sepakat untuk menjadi saudaraku.

Baru saja aku menginjakan kaki di terminal pemberhentian Bus, tak jauh dari situ aku melihat ada seseorang berpakaian compang-camping yang sedang duduk di pinggir trotoar sambil memegang uang seribu rupiah. Aku pun mendekat padanya.
Orang itu berbicara pada sesuatu ditangannya, "Hahahaha... uang... hahahaha... keinginan...." Aku agak terkejut mendengarnya.
Tak lama kemudian ia membakar uang itu. Aku masih terus memerhatikannya. 'Mungkin dia ingin memberi 'Sajen', alias 'sae Gowong sejjen' pada makhluk gaib di terminal. Hahaha'. Pikirku.

Jika orang gila macam dia saja bisa toleransi pada makhluk gaib, kenapa manusia normal tidak bisa toleransi pada sesama manusia?
Aku berbalik badan sambil melangkah. "Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun