Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ketika MBG Menjadi Makan Beracun Ganas

19 September 2025   21:35 Diperbarui: 19 September 2025   21:35 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (CNBC Indonesia)

Ketika MBG Menjadi Makan Beracun Ganas

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah dengan tujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia kini berubah menjadi sumber kecemasan dan trauma. Alih-alih menjadi solusi, MBG justru menimbulkan masalah serius, termasuk keracunan massal yang mengancam kesehatan dan psikologis anak-anak. Insiden terbaru di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, menjadi contoh nyata kegagalan program ini. Sebanyak 314 siswa dari berbagai sekolah dilaporkan mengalami keracunan setelah menyantap menu MBG, dengan 26 di antaranya masih dirawat di rumah sakit.

Program MBG juga menjadi gambaran nyata program politis yang sangat dipaksakan, dijalankan tanpa persiapan matang. Anggaran yang fantastis dan target pelaksanaan yang ambisius tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dapur, pengawasan mutu makanan, atau pelatihan SDM yang memadai. Akibatnya, risiko keselamatan jiwa rakyat, khususnya anak-anak, menjadi terabaikan. Dengan kondisi ini, publik merasa seolah pemerintah sedang bermain-main dengan nyawa rakyat, menempatkan kepentingan politik di atas keselamatan dan kesehatan anak. Trauma dan kecemasan yang muncul menjadi cermin kegagalan pemerintah dalam merancang program sosial yang benar-benar aman dan efektif. MBG, yang semula dimaksudkan untuk kebaikan, kini menghadirkan ironi pahit bagi masyarakat.

Namun, kasus di Banggai Kepulauan bukanlah yang pertama. Sejak peluncuran MBG pada Januari 2025, sejumlah kasus serupa telah terjadi di berbagai daerah, seperti Garut, Lebong, dan Banjarnegara. Berdasarkan data dari CISDI, hingga 19 September 2025, menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) sedikitnya 5.626 anak mengalami keracunan akibat program ini di puluhan kota dan kabupaten di 17 provinsi .

Keracunan massal ini bukan hanya angka statistik; ia menimbulkan dampak psikologis yang mendalam bagi anak-anak dan orang tua. Anak-anak yang sebelumnya antusias mengikuti program ini kini merasa takut dan cemas setiap kali waktu makan tiba. Orang tua juga merasakan kecemasan yang luar biasa, khawatir akan keselamatan anak-anak mereka. Ketakutan akan makanan MBG dapat menyebabkan stres dan kecemasan, yang tentunya bertentangan dengan tujuan program untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia .

Ironisnya, MBG juga menyasar anak-anak dari keluarga mampu, yang seharusnya tidak menjadi prioritas penerima manfaat. Hal ini menimbulkan ketidakadilan sosial dan pemborosan sumber daya yang seharusnya dapat dialokasikan untuk anak-anak yang benar-benar membutuhkan.

Hingga saat ini, tidak ada pihak yang secara jelas bertanggung jawab atas serangkaian keracunan massal akibat program MBG. Pemerintah, melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, telah menyampaikan permohonan maaf dan berjanji melakukan evaluasi menyeluruh untuk mencegah kejadian serupa. Namun, janji tersebut belum membuahkan hasil konkret. Kasus keracunan terus berulang, bahkan dengan jumlah korban yang semakin meningkat. Pemerintah berjanji akan bertindak tegas jika ditemukan kelalaian atau kesengajaan dalam pelaksanaan program ini . Namun, hingga kini, tidak ada sanksi atau tindakan hukum yang jelas terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab. Apakah kita harus menunggu hingga jatuh korban jiwa sebelum tindakan tegas diambil?

Dampak dari keracunan massal ini tidak hanya dirasakan oleh anak-anak, tetapi juga oleh orang tua dan masyarakat luas. Orang tua merasa cemas dan khawatir akan keselamatan anak-anak mereka, sementara masyarakat mulai mempertanyakan efektivitas dan transparansi pelaksanaan MBG.

Trauma akibat keracunan makanan dapat mengganggu konsentrasi dan motivasi belajar anak-anak. Ketakutan akan makanan MBG dapat menyebabkan stres dan kecemasan, yang tentunya bertentangan dengan tujuan program untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia .

Program MBG yang semula bertujuan untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia kini berubah menjadi beban sosial dan kesehatan. Diperlukan evaluasi menyeluruh dan penyesuaian kebijakan agar tujuan mulia program ini dapat tercapai tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.

Pemerintah perlu melakukan audit menyeluruh terhadap pelaksanaan MBG, mulai dari proses pengadaan bahan makanan, penyiapan, distribusi, hingga penyajian di sekolah-sekolah. Transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program ini sangat penting untuk memastikan bahwa anggaran yang dialokasikan benar-benar digunakan untuk kepentingan anak-anak yang membutuhkan .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun