Manufer Jokowi dan Relawan Bara JP dalam Pilpres 2029
Instruksi yang disebutsebut dari Jokowi kepada relawan Bara JP agar mendukung pasangan Prabowo--Gibran dua periode pertama kali dikemukakan oleh Ketua Umum Bara JP, Willem Frans Ansanay. Pernyataan ini disampaikan pada acara Pelantikan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Bara JP periode 2025-2030 di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat pada 13 September 2025. Meski Jokowi sudah tidak lagi menjabat sebagai presiden, pengaruhnya masih sangat terasa melalui jaringan relawan yang dulu mengantarkannya ke kekuasaan. Fakta ini memunculkan pertanyaan penting: sampai sejauh mana relawan masih relevan sebagai gerakan rakyat, atau apakah mereka sudah berubah menjadi instrumen politik bagi kepentingan figur lama? Lebih jauh lagi, amanat itu menunjukkan bahwa demokrasi belum sepenuhnya melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan mantan presiden. Indonesia pun dihadapkan pada dilema: apakah demokrasi akan menjadi kompetisi bebas yang adil, atau tetap didominasi oleh loyalitas dan jaringan politik lama.
Relawan dalam demokrasi idealnya lahir dari kesadaran rakyat yang bebas dan spontan. Namun, keberadaan Bara JP yang masih dikomandoi Jokowi memperlihatkan bahwa relawan lebih mirip instrumen permanen untuk kepentingan politik tertentu. Sejak 2014, Bara JP menjadi basis loyalitas bagi Jokowi, dan kini diarahkan kepada pasangan yang mencakup anak kandungnya. Realitas ini membuat publik bertanya apakah relawan masih relevan sebagai gerakan sipil. Ataukah mereka sudah berubah menjadi perpanjangan tangan dinasti politik? Jika demikian, demokrasi kehilangan sifat otonomnya.
Keterlibatan relawan yang dipelihara lintas periode membuka dugaan adanya hubungan mutualisme. Relawan memperoleh legitimasi sosial dan mungkin pula dukungan ekonomi dari kedekatannya dengan elite. Sementara itu, Jokowi tetap memiliki pasukan politik yang bisa digerakkan kapan saja. Relasi semacam ini menjadikan demokrasi tidak lagi setara, karena sebagian warga negara mendapat akses istimewa. Fenomena ini memperlebar jurang partisipasi antara relawan terorganisir dan rakyat biasa. Demokrasi pun terdistorsi oleh relasi patronase.
Etika politik menuntut seorang mantan pemimpin untuk menahan diri setelah masa jabatan berakhir. Namun, Jokowi justru memanjangkan pengaruhnya dengan menitipkan amanat pada relawan untuk mendukung Prabowo--Gibran. Terlebih lagi, dukungan itu berimplikasi langsung pada posisi anaknya sendiri, Gibran Rakabuming. Hal ini menimbulkan kesan kuat adanya konflik kepentingan dalam demokrasi. Demokrasi yang seharusnya egaliter justru dipakai untuk melanggengkan dinasti. Maka, nilai keadilan dan kesetaraan dalam politik semakin kabur.
Instruksi kepada relawan jauh sebelum Pilpres 2029 resmi diagendakan dapat dipandang sebagai bentuk pra-kampanye. Ini menimbulkan ketidaksetaraan sejak dini bagi kandidat lain yang berpotensi maju. Relawan Jokowi yang sudah terbentuk lama tentu memiliki infrastruktur dan jaringan yang sulit disaingi. Dengan begitu, kompetisi politik kehilangan fairness yang menjadi jiwa demokrasi. Kandidat yang tidak memiliki jaringan serupa akan menghadapi medan yang timpang. Demokrasi pun lebih mirip pertarungan kekuatan lama daripada adu ide baru.
Relawan seharusnya menjadi ruang artikulasi gagasan rakyat. Tetapi dalam praktiknya, Bara JP lebih menyerupai mesin politik yang dikendalikan dari atas. Mereka tidak lagi mewakili kritik atau harapan rakyat secara independen. Sebaliknya, mereka berfungsi sebagai kepanjangan tangan patron lama dalam memengaruhi arah politik. Fenomena ini menggeser demokrasi dari ruang dialog publik menjadi arena loyalitas personal. Rakyat kehilangan instrumen alternatif untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Dari perspektif sosial, relawan yang terus dipelihara menciptakan budaya ketergantungan. Mereka menjadi terbiasa hidup dari kedekatan dengan kekuasaan. Jokowi pun tetap mendapat keuntungan politik karena memiliki modal sosial yang siap digerakkan. Namun, bagi demokrasi, keadaan ini berbahaya karena melahirkan partisipasi politik yang tidak sejajar. Hanya mereka yang dekat dengan figur lama yang mendapat ruang besar, sementara suara rakyat kebanyakan tenggelam. Akhirnya, demokrasi kehilangan keberagaman representasi.
Kekuatan relawan yang diarahkan oleh mantan presiden juga berpotensi menekan kebebasan berpendapat. Mereka bisa berfungsi sebagai buzzer atau alat delegitimasi terhadap pihak yang berseberangan. Situasi ini membuat iklim demokrasi menjadi represif dan intoleran terhadap kritik. Kebebasan yang dijanjikan demokrasi berubah menjadi tekanan sosial. Kritik yang datang dari pihak lain dapat segera dibalas dengan barisan loyalis. Maka, demokrasi justru terancam dari dalam.
Seorang mantan presiden seharusnya memberi teladan dengan melepas ikatan politik praktis setelah jabatannya selesai. Namun, Jokowi masih aktif melalui instrumen relawan, sehingga menghambat regenerasi kepemimpinan. Generasi baru yang ingin tampil di arena politik menghadapi dominasi patron lama. Padahal, demokrasi yang sehat menuntut adanya pergantian elite secara wajar. Ketika ruang itu tertutup, demokrasi menjadi stagnan. Indonesia pun berisiko terjebak dalam lingkaran elite yang sama.
Kesimpulannya, pengaruh Jokowi dan relawannya terhadap demokrasi Indonesia menunjukkan masalah serius. Relawan yang seharusnya berhenti ketika masa jabatan selesai, justru dipertahankan sebagai alat politik jangka panjang. Jokowi, yang semestinya sudah selesai dengan kekuasaan, tetap hadir dalam arah politik bangsa. Akibatnya, demokrasi tidak lagi berdiri di atas kedaulatan rakyat, melainkan terikat pada loyalitas patron lama. Jika tren ini dibiarkan, demokrasi Indonesia akan terjebak dalam krisis legitimasi. Demokrasi yang mestinya segar justru kehilangan vitalitasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI