Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pertimbangan Hukum Tak Penting Lagi : Ironi Putusan MK yang Diabaikan

25 Juli 2025   15:48 Diperbarui: 25 Juli 2025   16:24 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (CNBC Indonesia)

Pernyataan "tidak ada kewajiban melaksanakan" mencerminkan satu hal: kekuasaan yang merasa tidak terikat oleh norma kecuali dipaksa secara eksplisit. Ini gejala serius. Ketika elite negara hanya taat pada bunyi literal hukum dan menafikan semangat atau maksudnya, maka kita menghadapi deformasi konstitusi.

Ironisnya, justru MK sendiri telah berulang kali menyatakan bahwa wamen setara dengan menteri, dan karena itu tunduk pada norma larangan rangkap jabatan. Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 dan dikuatkan kembali dalam Putusan No. 21/PUU-XXII/2025, menyatakan dengan tegas: rangkap jabatan melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Namun, pemerintah bergeming. Bahkan Wakil Menteri tetap bercokol sebagai komisaris BUMN. Dan publik hanya bisa mencatat ,  sekali lagi, bahwa hukum, sebagaimana biasa, tunduk di bawah tafsir kuasa.

Menambah Luka Konstitusi: Ketika Eksekutif Mengawasi Dirinya Sendiri

Satu hal yang mestinya tak bisa dibantah: wakil menteri adalah pejabat eksekutif. Ia adalah perpanjangan tangan presiden dan menteri dalam menjalankan kebijakan negara. Ketika pejabat eksekutif ini diberi posisi sebagai komisaris di BUMN, maka terjadi sesuatu yang tidak masuk akal secara tata kelola: eksekutif mengawasi dirinya sendiri.

BUMN adalah bagian dari entitas usaha milik negara yang tunduk pada regulasi pemerintah, tapi juga diharapkan dikelola secara profesional, transparan, dan bebas dari intervensi politik. Komisaris , dalam logika tata kelola,  berfungsi mengawasi jalannya operasional dan keuangan perusahaan, termasuk terhadap campur tangan tidak wajar dari pihak eksekutif.

Maka pertanyaannya:
Bagaimana mungkin wakil menteri yang menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif bisa sekaligus menjadi pengawas atas pelaksanaan kebijakan eksekutif itu sendiri?

Inilah bentuk nyata dari konflik kepentingan struktural. Wakil menteri yang duduk di kursi komisaris tidak hanya berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga merusak prinsip pemisahan fungsi dan akuntabilitas.

Konflik Kepentingan: Wabah Lama yang Dijustifikasi Ulang

Ironisnya, ketika hal ini dipersoalkan oleh MK, elite politik justru berlindung di balik narasi teknis: "tidak ada di amar." Padahal substansinya menyangkut kerapuhan integritas dalam birokrasi dan etika pengelolaan negara.

Ini bukan semata-mata soal jabatan rangkap. Ini tentang prinsip dasar bahwa kekuasaan harus diawasi, bukan digandakan. Ketika pengawasnya justru berasal dari struktur yang harus diawasi, maka praktik kekuasaan berubah menjadi lingkaran setan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun