Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pertimbangan Hukum Tak Penting Lagi : Ironi Putusan MK yang Diabaikan

25 Juli 2025   15:48 Diperbarui: 25 Juli 2025   16:24 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (CNBC Indonesia)

Pertimbangan Hukum Adalah Roh Putusan Hakim

"Kita hidup di negara hukum, bukan negara kekuasaan", kalimat ini sering kita dengar. Tapi apakah benar begitu kenyataannya?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa wakil menteri (wamen) tidak boleh merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN, baru-baru ini menuai kontroversi. Bukan karena substansinya keliru, melainkan karena pernyataan seorang pejabat tinggi negara yang secara terang menyebut: "Tak ada kewajiban untuk dilaksanakan."

Adalah Ahmad Muzani, Ketua MPR RI, yang menyampaikan pandangan itu. Menurutnya, karena larangan tersebut hanya tercantum dalam bagian pertimbangan hukum, dan bukan dalam amar putusan, maka pemerintah tidak wajib mematuhinya.

Sontak, publik pun terperangah. Sebuah negara hukum tiba-tiba mempertanyakan kekuatan moral dan hukum dari putusan lembaga peradilan konstitusional tertinggi. Di sinilah letak ironi besar itu menganga.

Apa Bedanya Amar dan Pertimbangan?

Dalam praktik hukum, amar putusan memang menjadi bagian yang secara eksplisit mengikat secara hukum. Tapi apakah pertimbangan hukum boleh serta-merta diabaikan?

Tidak sesederhana itu.

Pertimbangan hukum dalam putusan MK bukanlah sekadar catatan pinggir. Ia memuat alasan konstitusional yang menjadi dasar penilaian konstitusi. Tanpa itu, amar putusan akan kehilangan legitimasi logisnya. Bahkan dalam banyak preseden, pertimbangan hukum sering menjadi rujukan normatif bagi pembentukan kebijakan, yurisprudensi, dan interpretasi hukum.

Dengan kata lain, pertimbangan adalah roh konstitusi yang tidak boleh dicampakkan hanya karena tidak tertulis dalam kalimat perintah.

Etika Kekuasaan dan Wibawa Konstitusi

Pernyataan "tidak ada kewajiban melaksanakan" mencerminkan satu hal: kekuasaan yang merasa tidak terikat oleh norma kecuali dipaksa secara eksplisit. Ini gejala serius. Ketika elite negara hanya taat pada bunyi literal hukum dan menafikan semangat atau maksudnya, maka kita menghadapi deformasi konstitusi.

Ironisnya, justru MK sendiri telah berulang kali menyatakan bahwa wamen setara dengan menteri, dan karena itu tunduk pada norma larangan rangkap jabatan. Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 dan dikuatkan kembali dalam Putusan No. 21/PUU-XXII/2025, menyatakan dengan tegas: rangkap jabatan melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Namun, pemerintah bergeming. Bahkan Wakil Menteri tetap bercokol sebagai komisaris BUMN. Dan publik hanya bisa mencatat ,  sekali lagi, bahwa hukum, sebagaimana biasa, tunduk di bawah tafsir kuasa.

Menambah Luka Konstitusi: Ketika Eksekutif Mengawasi Dirinya Sendiri

Satu hal yang mestinya tak bisa dibantah: wakil menteri adalah pejabat eksekutif. Ia adalah perpanjangan tangan presiden dan menteri dalam menjalankan kebijakan negara. Ketika pejabat eksekutif ini diberi posisi sebagai komisaris di BUMN, maka terjadi sesuatu yang tidak masuk akal secara tata kelola: eksekutif mengawasi dirinya sendiri.

BUMN adalah bagian dari entitas usaha milik negara yang tunduk pada regulasi pemerintah, tapi juga diharapkan dikelola secara profesional, transparan, dan bebas dari intervensi politik. Komisaris , dalam logika tata kelola,  berfungsi mengawasi jalannya operasional dan keuangan perusahaan, termasuk terhadap campur tangan tidak wajar dari pihak eksekutif.

Maka pertanyaannya:
Bagaimana mungkin wakil menteri yang menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif bisa sekaligus menjadi pengawas atas pelaksanaan kebijakan eksekutif itu sendiri?

Inilah bentuk nyata dari konflik kepentingan struktural. Wakil menteri yang duduk di kursi komisaris tidak hanya berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga merusak prinsip pemisahan fungsi dan akuntabilitas.

Konflik Kepentingan: Wabah Lama yang Dijustifikasi Ulang

Ironisnya, ketika hal ini dipersoalkan oleh MK, elite politik justru berlindung di balik narasi teknis: "tidak ada di amar." Padahal substansinya menyangkut kerapuhan integritas dalam birokrasi dan etika pengelolaan negara.

Ini bukan semata-mata soal jabatan rangkap. Ini tentang prinsip dasar bahwa kekuasaan harus diawasi, bukan digandakan. Ketika pengawasnya justru berasal dari struktur yang harus diawasi, maka praktik kekuasaan berubah menjadi lingkaran setan.

Negara Hukum yang Terus Diuji

Apa gunanya Mahkamah Konstitusi jika putusannya tidak dijalankan?

Apa arti supremasi hukum jika pejabat publik bisa memilih mana bagian dari putusan yang mereka anggap perlu ditaati?

Ini bukan sekadar soal legal-formal. Ini soal moral politik dan etika kenegaraan. Bila logika kekuasaan selalu mencari celah untuk menghindar dari aturan, maka hukum akan kehilangan martabatnya sebagai panglima.

Negara hukum bukan sekadar deretan peraturan. Ia hidup dari penghormatan terhadap prinsip-prinsip konstitusional, dari sikap menjunjung hukum bukan karena takut dihukum, melainkan karena sadar akan nilai yang dilindunginya.

Refleksi Kritis: Apakah Kita Masih Percaya pada Hukum?

Pemerintah memang belum melanggar amar putusan secara tekstual. Tapi dengan menafikan pertimbangan hukum MK yang substansial dan konsisten, ia tengah membuka jalan berbahaya: membiasakan diri untuk tidak patuh pada makna hukum, hanya pada bunyinya.

Jika ini terus dibiarkan, maka konstitusi akan menjadi dekorasi, bukan kompas moral.

Dan kita pun patut bertanya:

Apakah kita hidup dalam negara hukum, atau sekadar negara peraturan yang mudah dipelintir tafsir kekuasaan?

Penutup: Saatnya Menegakkan Nilai, Bukan Sekadar Bunyi

Mahkamah Konstitusi tidak berbicara untuk dirinya sendiri. Ia berbicara untuk rakyat. Dan ketika suaranya diabaikan, yang dicederai bukan hanya hukum, tapi juga kepercayaan publik pada sistem kenegaraan.

Jika elite negeri ini tidak bisa memberi teladan untuk menghormati hukum ,  bahkan dalam tafsir yang paling mendasar , maka jangan heran jika rakyat pun kehilangan arah.

Maka, yang perlu kita jaga hari ini bukan hanya hukum, tapi juga jiwa hukum itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun