Hakim dalam menjatuhkan putusan ibarat seorang arsitek yang harus membangun bangunan (putusan hukum) berdasarkan pondasi dan kerangka (fakta hukum) yang kuat. Jika konstruksi faktanya lemah, misalnya tidak cukup bukti, bukti bertentangan, atau diperoleh secara melawan hukum, maka putusan menjadi rapuh, tidak meyakinkan, bahkan bisa dibatalkan oleh pengadilan tingkat lebih tinggi.
Sebaliknya, jika konstruksi fakta hukum dibangun dari rangkaian bukti yang lengkap dan sah, maka hasilnya adalah putusan yang legitimate, final, dan dapat menjadi preseden (yurisprudensi) untuk perkara sejenis di kemudian hari.
Contoh Yurisprudensi Mahkamah Agung
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam sejumlah putusannya menegaskan bahwa kekuatan putusan hakim sangat tergantung pada kualitas fakta hukum yang dibentuk dari alat bukti yang sah dan koheren. Dua contoh penting berikut memperlihatkan prinsip ini:
1. Putusan MA Nomor 1014 K/Pid/2004
Dalam perkara pidana ini, Mahkamah Agung menyatakan bahwa:
"Suatu fakta hukum hanya dapat dianggap benar apabila terbukti secara sah melalui alat bukti yang memenuhi syarat hukum dan membentuk konstruksi logis yang utuh."
Putusan ini menegaskan bahwa tidak cukup bagi hakim untuk menyimpulkan berdasarkan satu alat bukti atau asumsi pribadi. Semua kesimpulan hukum harus lahir dari pembuktian yang dapat diverifikasi, logis, dan sesuai hukum acara pidana.
2. Putusan MA Nomor 62 PK/TUN/2005
Dalam perkara Tata Usaha Negara ini, Mahkamah Agung menekankan bahwa:
"Konsistensi dan koherensi antar bukti merupakan syarat mutlak untuk membentuk fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan."