Untuk memudahkan pemahaman, proses membangun fakta hukum dapat dianalogikan seperti menyusun sebuah puzzle:
Setiap alat bukti ibarat potongan puzzle.
Potongan-potongan ini masing-masing membawa bagian informasi yang berbeda. Ada yang berupa keterangan saksi, dokumen tertulis, barang bukti fisik, hingga keterangan ahli. Setiap potongan memiliki bentuk dan warna yang unik, mewakili data tertentu yang hanya sebagian dari keseluruhan cerita.Fakta hukum adalah gambar utuh yang terbentuk ketika potongan-potongan puzzle itu tersusun dengan tepat.
Ketika potongan-potongan puzzle itu digabungkan dengan benar dan sesuai, maka akan terbentuk gambar lengkap yang memberikan gambaran jelas dan koheren tentang suatu kejadian atau keadaan.
Pentingnya Keselarasan dan Konsistensi Bukti
Namun, jika ada satu potongan yang tidak cocok, bertentangan, atau bahkan hilang, maka gambaran yang terbentuk akan menjadi kabur, rancu, bahkan bisa saja salah. Misalnya, jika keterangan saksi bertentangan dengan dokumen resmi yang diajukan, atau barang bukti tidak mendukung cerita yang disampaikan, maka fakta hukum yang dibangun menjadi tidak utuh dan menimbulkan keraguan.
Keraguan tersebut sangat berbahaya karena dapat menyebabkan putusan hakim yang tidak adil atau keliru, sehingga mengancam kepastian hukum dan rasa keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Konsekuensi Hukum
Oleh karena itu, hakim harus secara cermat menilai setiap alat bukti dengan seksama, memastikan bahwa bukti-bukti tersebut:
- Sah secara hukum acara (boleh diterima di pengadilan),
- Relevan dengan perkara yang diperiksa,
- Konsisten dan saling melengkapi satu sama lain, serta
- Membangun konstruksi logis yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan melalui proses ini, hakim dapat menyusun fakta hukum yang akurat dan utuh sebagai dasar yang kokoh bagi putusan yang akan dijatuhkan.
Kriteria Bukti Hukum dalam Membentuk Fakta Hukum
Dalam proses peradilan, hakim tidak hanya berperan sebagai penilai hukum (ius curia novit), tetapi juga sebagai penilai fakta. Oleh karena itu, dalam membentuk suatu fakta hukum yang akan dijadikan dasar putusan, hakim harus sangat hati-hati dalam menerima, menilai, dan menafsirkan bukti-bukti yang diajukan para pihak. Tidak semua bukti yang diajukan secara otomatis dapat diterima atau dianggap cukup untuk membentuk fakta hukum. Terdapat kriteria hukum dan logika yang harus dipenuhi agar suatu bukti dapat digunakan sebagai dasar pembentukan fakta hukum yang sah, valid, dan meyakinkan.