Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Literasi Hukum : Memahami Hubungan Fakta Hukum dan Bukti Hukum dalam Putusan Hakim

18 Juli 2025   08:06 Diperbarui: 18 Juli 2025   08:06 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Sah Menurut Hukum Acara

Bukti hukum harus memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, tergantung pada jenis perkara yang diperiksa:

  • Dalam perkara pidana, alat bukti yang sah secara hukum diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang meliputi:

    • Keterangan saksi,
    • Keterangan ahli,
    • Surat,
    • Petunjuk,
    • Keterangan terdakwa.
  • Dalam perkara perdata, alat bukti sah tercantum dalam Pasal 164 HIR (atau Pasal 284 RBg untuk wilayah luar Jawa dan Madura), yaitu:

    • Bukti tulisan (akte otentik atau di bawah tangan),
    • Saksi-saksi,
    • Persangkaan,
    • Pengakuan,
    • Sumpah.

Bukti yang tidak memenuhi ketentuan ini,  misalnya diperoleh secara melawan hukum (illegal evidence), seperti penyadapan tanpa izin pengadilan, tidak dapat dijadikan dasar pembentukan fakta hukum, karena melanggar prinsip due process of law.

2. Relevan dengan Pokok Perkara

Bukti yang diajukan harus memiliki hubungan langsung dan substansial dengan fakta atau peristiwa hukum yang sedang diperiksa. Relevansi di sini berarti bukti tersebut mampu menjelaskan, membuktikan, atau menyanggah suatu unsur penting dari perkara.

Contohnya:

  • Dalam kasus penggelapan, bukti berupa kuitansi palsu atau laporan keuangan internal bisa sangat relevan.
  • Dalam kasus perceraian karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), visum et repertum dari dokter forensik bisa menjadi bukti relevan yang membuktikan adanya kekerasan fisik.

Sebaliknya, bukti yang tidak berkaitan langsung, meskipun valid, tidak dapat dipakai untuk membentuk fakta hukum karena tidak mendukung pembuktian terhadap unsur hukum yang disengketakan.

3. Konsisten dan Tidak Saling Bertentangan

Satu bukti yang berdiri sendiri belum tentu cukup. Bukti-bukti harus mendukung satu narasi hukum yang koheren dan tidak saling bertentangan. Ketika terdapat inkonsistensi di antara alat bukti, maka hakim wajib melakukan pembuktian ulang, pengujian silang (cross examination), atau mempertimbangkan bukti mana yang lebih kuat berdasarkan prinsip:

  • Credibility (kredibilitas): sejauh mana saksi atau alat bukti dapat dipercaya,
  • Weight of evidence (kekuatan pembuktian): seberapa besar daya dukung suatu bukti terhadap kesimpulan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun