Menghadapi krisis inflasi nilai dan deflasi kompetensi, solusi tidak cukup hanya dengan mengganti kurikulum atau memperbarui silabus. Permasalahan pendidikan tinggi Indonesia bersifat sistemik dan kultural, sehingga dibutuhkan reformasi akademik yang menyentuh akar, bukan sekadar permukaan.
Kurikulum boleh diperbaharui setiap lima tahun, tetapi selama nilai, penilaian, dan relasi dalam ruang kelas tidak direformasi, maka pembaruan itu hanya bersifat kosmetik. Maka reformasi yang sejati harus melibatkan perubahan dalam paradigma, struktur, dan mentalitas seluruh pelaku pendidikan: dari dosen, mahasiswa, hingga institusi dan negara.
a. Evaluasi Sistem Penilaian: Nilai Harus Mewakili Nalar dan Kecakapan
Langkah pertama adalah mereformulasi sistem penilaian mahasiswa. Selama ini, IPK terlalu ditentukan oleh nilai kuantitatif yang tidak mencerminkan kualitas pemahaman atau daya cipta. Asesmen harus dibangun dengan tolok ukur yang objektif, kontekstual, dan bermakna, tidak lagi mengandalkan ujian pilihan ganda atau tugas tempel-tempelan.
Kampus harus mengembangkan rubrik penilaian berbasis proses, bukan hanya produk akhir. Mahasiswa perlu dinilai atas cara berpikir, orisinalitas ide, ketekunan dalam penelitian, dan kolaborasi kerja. Penilaian semacam ini memang memerlukan waktu dan energi, tetapi itulah harga yang harus dibayar demi kualitas akademik yang bermartabat.
b. Pembelajaran Kontekstual: Dari Ruang Kelas ke Dunia Nyata
Transformasi pembelajaran juga menuntut penggabungan antara teori dan praktik. Kuliah tidak boleh berhenti pada presentasi dan hafalan, tapi harus terhubung dengan persoalan konkret yang dihadapi masyarakat dan dunia kerja. Model seperti Project-Based Learning (PjBL), Service Learning, dan Community Engagement perlu diintegrasikan ke dalam setiap program studi.
Mahasiswa seharusnya belajar sambil berkontribusi nyata, mengerjakan proyek sosial, menganalisis kebijakan publik, membantu UMKM digitalisasi, atau merancang inovasi lokal. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi sarjana dalam gelar, tetapi juga dalam tindakan.
c. Membangun Ekosistem Keterbukaan: Sinergi Kampus, Mahasiswa, dan Industri
Pendidikan tinggi tidak dapat lagi berdiri di menara gading. Kolaborasi antara kampus, mahasiswa, industri, dan masyarakat harus menjadi ekosistem baru. Dunia kerja dan dunia akademik harus saling bicara, saling dengar, dan saling belajar.
Melibatkan profesional industri dalam perkuliahan, menyusun kurikulum berbasis kebutuhan lapangan, serta membuka ruang magang yang berkualitas akan membuat mahasiswa lebih siap secara mental, teknis, dan sosial. Demikian pula, kampus harus terbuka terhadap umpan balik dari alumni dan pengguna lulusan sebagai bagian dari evaluasi dan akuntabilitas akademik.