a. Tekanan Akreditasi dan Citra Institusi
Akreditasi bukan sekadar pengakuan kualitas, ia kini menjadi alat ukur branding kampus dalam pasar pendidikan tinggi. Banyak perguruan tinggi merasa "dipaksa" menyesuaikan indikator penilaian lembaga akreditasi nasional (BAN-PT), yang salah satunya melihat rerata IPK lulusan dan tingkat kelulusan tepat waktu. Akibatnya, muncul dorongan internal untuk "memoles" IPK mahasiswa, agar citra institusi tetap tinggi dan kompetitif di tengah ketatnya persaingan antar kampus.
Dosen sering mengalami tekanan tidak langsung: memberi nilai terlalu ketat bisa "merugikan" institusi, sementara memberi nilai longgar dianggap mendukung kinerja institusi. Maka, secara sistemik, penilaian menjadi kurang objektif dan lebih condong pada "kompromi administrasi".
b. Pasar Kerja yang Diskriminatif terhadap IPK
Dunia kerja di Indonesia masih sangat bergantung pada angka IPK sebagai filter administratif awal dalam rekrutmen. Alih-alih menilai kompetensi aktual, perusahaan dan instansi pemerintah seringkali menjadikan IPK minimal 3.00 atau bahkan 3.50 sebagai syarat mutlak seleksi berkas.
Realitas ini menciptakan lingkaran setan: mahasiswa mengejar nilai demi peluang kerja, dosen memberi nilai tinggi agar mahasiswa "laku", dan kampus menikmati reputasi sebagai produsen sarjana "unggulan". Namun, semua ini berdiri di atas ilusi, karena angka tidak menjamin kemampuan.
Profesor Daniel Lin dari George Mason University menyebut fenomena ini sebagai "academic credentialism": gejala sosial di mana gelar dan nilai dianggap lebih penting daripada kompetensi sejati. Dalam sistem seperti ini, kualitas pembelajaran menjadi subordinat dari kepentingan simbolik belaka.
c. Sistem Evaluasi yang Dangkal dan Tidak Kritis
Banyak perguruan tinggi di Indonesia tidak memiliki sistem evaluasi yang ketat dan transparan. Penilaian seringkali berbasis pada kehadiran, tugas yang bisa disalin, dan ujian yang mudah ditebak. Bahkan ada dosen yang memberikan nilai tanpa proses ujian yang memadai, asal mahasiswa aktif atau "tidak bermasalah".
Rubrik penilaian jarang dijabarkan secara terbuka. Skema evaluasi sering ditentukan sepihak dan tidak selalu berbasis learning outcomes yang terukur. Di beberapa kampus, praktik plagiarisme bahkan masih dianggap hal biasa, karena yang penting adalah produk akhir, bukan proses berpikir.
Lebih buruk lagi, hubungan personal antara mahasiswa dan dosen kadang menjadi variabel dalam pemberian nilai. Istilah "asal lulus" bukan sekadar rumor, tapi realitas senyap yang kian menggerogoti integritas akademik.