b. Lemah dalam Literasi Digital, Logika, dan Komunikasi
Era digital menuntut kemampuan melek teknologi, berpikir logis, dan berkomunikasi secara efektif. Namun, banyak sarjana kita justru tertatih-tatih mengoperasikan aplikasi kerja sederhana, menulis laporan dengan struktur yang baik, atau menyampaikan gagasan secara runtut dan bernalar.
Padahal, menurut laporan World Economic Forum (2023), keterampilan seperti literasi data, komunikasi interpersonal, dan pemikiran sistemik menjadi syarat utama daya saing tenaga kerja global.
Sayangnya, banyak kampus masih memperlakukan kemampuan logika dan komunikasi sebagai pelengkap, bukan fondasi. Mahasiswa diajari untuk menjawab soal, bukan menyusun argumen. Akibatnya, lahirlah lulusan yang tidak mampu membaca data, memahami kompleksitas, apalagi menjelaskannya dengan jernih.
c. Ketiadaan Pengalaman Praktis dan Magang yang Hanya Formalitas
Kampus sering mengklaim bahwa mahasiswanya "siap kerja" karena telah menyelesaikan magang. Tapi jika ditelusuri lebih jauh, magang seringkali hanya formalitas administratif---sekadar memenuhi syarat kelulusan, bukan ruang belajar yang bermakna. Mahasiswa ditempatkan di instansi hanya untuk membuat laporan harian atau menggandakan dokumen, bukan untuk memahami alur kerja profesional.
Belum ada sistem link and match yang serius antara kampus dan dunia industri. Sebagian besar program studi tidak melibatkan pelaku usaha atau dunia kerja dalam merancang kurikulum. Akibatnya, materi kuliah sering tertinggal jauh dari realitas lapangan. Kampus sibuk mengajarkan teori dari buku lama, sementara dunia kerja berubah cepat setiap hari.
Menurut Prof. Fasli Jalal, mantan Dirjen Pendidikan Tinggi, "Mahasiswa kita terlalu banyak dicekoki teori, tapi tidak diberi cukup ruang untuk mengasah keterampilan aplikatif." Ucapan ini mengandung kritik mendalam: bahwa sistem pendidikan tinggi kita masih menjadikan ruang kuliah sebagai altar dogma, bukan laboratorium kreativitas dan keterampilan.
Pendekatan pendidikan yang kaku dan terlalu berorientasi pada hafalan telah membunuh semangat eksplorasi. Mahasiswa didorong untuk patuh, bukan bertanya; untuk menghafal, bukan menguji; untuk meniru, bukan mencipta.
Sarjana yang Tak Bisa Diandalkan
Fenomena deflasi kompetensi ini bukan sekadar soal kesiapan kerja. Ia adalah refleksi bahwa kita gagal membangun manusia pembelajar. Jika gelar sarjana hanya menghasilkan individu yang bingung, pasif, dan gagap, maka ada yang sangat salah dalam sistem kita.