Sarjana mestinya adalah produk tertinggi dari sistem pendidikan. Namun jika mereka justru menjadi beban di pasar kerja, maka gelar bukan lagi lambang keunggulan, melainkan simbol dari pendidikan yang gagal menjalankan tugasnya.
3. Sistem Pendidikan yang Kompromistis dan Transaksional
Di banyak kampus di Indonesia, pendidikan tinggi telah tergelincir dari tujuannya yang mulia: mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang terjadi hari ini adalah kompromi demi kompromi, antara idealisme akademik dan tuntutan pragmatisme institusi. Pendidikan tinggi menjadi seperti pabrik birokrasi, bukan ruang pembebasan intelektual.
Banyak dosen terjebak dalam logika birokrasi-didaktik, di mana proses mengajar direduksi hanya untuk memenuhi checklist administratif: menyusun RPS, mengisi presensi, mengupload nilai ke sistem, dan menyelesaikan beban SKS. Kelas menjadi rutinitas teknis, bukan lagi proses dialektika antara pikiran dosen dan mahasiswa. Bahkan, kreativitas mengajar sering kali dikorbankan demi kelancaran akreditasi.
Di sisi lain, mahasiswa belajar bukan untuk memahami, tapi untuk lulus ujian dan mengumpulkan nilai. Keingintahuan digantikan oleh kepatuhan; proses berpikir dikalahkan oleh target IPK. Maka tak heran jika ruang kuliah menjadi hampa makna---tempat bertemunya dosen yang mengajar karena kewajiban, dan mahasiswa yang belajar karena terpaksa.
Transaksionalisme Akademik: Ilmu Diperdagangkan Tanpa Rasa Malu
Lebih parah dari itu adalah fenomena komersialisasi nilai dan tugas akademik. Maraknya praktik jual beli skripsi, makalah, bahkan gelar, menjadi cermin rusaknya integritas akademik. Di berbagai kota besar hingga pelosok, jasa pembuatan karya ilmiah bisa ditemukan dengan mudah, bahkan dipromosikan terang-terangan di media sosial. Fenomena ini tidak lagi berada di ruang gelap; ia telah menjadi bisnis terbuka yang tumbuh subur di lingkungan pendidikan.
Laporan dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) dan beberapa hasil investigasi media menunjukkan bahwa puluhan jasa skripsi dan tesis komersial beroperasi aktif dengan omset puluhan juta per bulan. Tak sedikit mahasiswa, bahkan dari kampus ternama, menggunakan jasa ini karena tekanan waktu, kemalasan, atau sekadar mengejar formalitas kelulusan.
Tidak berhenti di situ, terdapat pula penjualan gelar akademik ilegal dan palsu, yang merusak legitimasi sistem pendidikan nasional. Orang bisa menyandang gelar "Dr." atau "M.Pd." tanpa pernah mengenyam perkuliahan sesuai standar. Hal ini menunjukkan bahwa ijazah telah kehilangan makna epistemologisnya, dan bergeser menjadi sekadar status sosial, simbol kekuasaan tanpa kompetensi.
Ijazah sebagai Surat Keterangan Pernah Kuliah
Di tengah situasi tersebut, ijazah tak lagi menjadi bukti kemampuan dan keahlian, melainkan hanya menjadi "surat keterangan pernah kuliah". Sebuah lembar dokumen yang menandakan bahwa seseorang telah mengikuti prosedur administratif pendidikan, mengisi KRS, mengikuti perkuliahan, lulus skripsi, lalu wisuda, namun tanpa jaminan bahwa ia benar-benar memiliki kemampuan berpikir kritis, problem solving, atau integritas ilmiah.