Lebih jauh lagi, konflik internal ini bisa mematikan koperasi secara perlahan. Ketika kepercayaan hilang, rapat anggota menjadi sepi. Ketika rasa keadilan dilanggar, semangat partisipasi pun menurun. Koperasi tinggal nama, tanpa roh, tanpa gerak, tanpa masa depan.
Maka jelas, keadilan dan transparansi bukan sekadar prinsip administratif, tapi fondasi sosial koperasi. Tanpa itu, koperasi hanyalah ladang konflik yang dibungkus logo kebersamaan.
Penting bagi semua pihak, terutama pemerintah, pendamping, dan penggerak koperasi, untuk menyadari bahwa mengelola koperasi berarti juga mengelola kepercayaan sosial. Dan kepercayaan itu hanya akan tumbuh jika keputusan diambil dengan jujur, terbuka, dan berdasarkan aturan yang disepakati bersama, bukan atas dasar hubungan pribadi, kedekatan, atau kekuasaan informal.
Ketergantungan Baru terhadap Negara: Mematikan Kemandirian Sebelum Tumbuh
Di atas kertas, program stimulus Rp3 miliar per koperasi dari pemerintah pusat dalam skema Koperasi Merah Putih terdengar seperti terobosan strategis: pemerintah memberi dorongan awal agar koperasi bisa bergerak lebih cepat, lebih besar, dan lebih kuat. Namun, di lapangan, realitas tak selalu berjalan sesuai harapan. Stimulus yang semestinya menjadi pemantik justru berisiko menjadi candu.
Ketika koperasi hanya bergerak karena ada suntikan dana dari pusat, maka koperasi tersebut tak ubahnya kendaraan yang hanya hidup jika disubsidi. Begitu dana berhenti, roda usaha juga berhenti. Tidak ada inisiatif dari dalam, tidak ada pembiayaan mandiri, dan tidak ada keberlanjutan.
Lebih dari sekadar stagnasi usaha, ini adalah bentuk kemunduran ideologis. Koperasi, yang sejak awal digagas sebagai lembaga ekonomi rakyat berbasis gotong royong dan kemandirian, justru terjebak dalam model ketergantungan struktural. Dalam banyak kasus, alih-alih menjadi instrumen pembebasan ekonomi masyarakat, koperasi malah berubah menjadi "perpanjangan tangan birokrasi", pasif, menunggu perintah, dan hidup dari transfer dana.
Semangat partisipasi aktif, yang merupakan nadi kehidupan koperasi, perlahan terkikis. Anggota tidak merasa perlu membayar simpanan wajib, tidak tertarik hadir dalam rapat anggota, dan hanya menanti kabar: "Kapan dana dari pusat cair lagi?"
Efek Turunannya: Kewirausahaan Lokal Lumpuh
Situasi ini juga memberi dampak psikologis yang merusak: matinya inisiatif dan kreativitas ekonomi masyarakat. Ketika koperasi dibentuk bukan karena dorongan kebutuhan bersama, melainkan karena peluang untuk "mengakses dana," maka koperasi kehilangan daya cipta.
Alih-alih membangun unit usaha lokal seperti pertanian terpadu, koperasi peternakan, warung anggota, atau usaha mikro berbasis komunitas, banyak koperasi justru tidak punya rencana usaha sama sekali. Mereka hanya membentuk struktur, mengurus legalitas, dan kemudian menunggu "transfer" dari atas. Begitu dana datang, dibagi-bagikan. Begitu dana habis, koperasi pun tak berfungsi lagi.