Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Bahaya Laten Mengancam Koperasi Merah Putih

11 Juli 2025   00:36 Diperbarui: 11 Juli 2025   00:36 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Desa Kita.id)

Pendahuluan: Bahaya yang Tidak Terlihat, Tapi Nyata

Program Koperasi Merah Putih digulirkan dengan semangat besar untuk membangkitkan ekonomi rakyat. Dengan target membentuk 80.000 koperasi baru dan memberikan suntikan modal hingga Rp3 miliar per koperasi, harapannya adalah menciptakan pemerataan ekonomi berbasis kekuatan lokal. Di permukaan, inisiatif ini tampak menjanjikan: rakyat dilibatkan, koperasi diberdayakan, dan pemerataan kesejahteraan didorong dari bawah.

Namun, di balik angka-angka dan euforia pembentukan koperasi baru, terdapat bahaya laten yang pelan tapi pasti mulai menunjukkan gejalanya. Saya menyaksikan langsung pembentukan beberapa Koperasi Merah Putih dan mendengar apa yang ada dalam harapan warga, antusiasme masyarakat memang tinggi, tapi yang mengemuka justru harapan untuk "meminjam uang dengan mudah" dari pemerintah. Koperasi dianggap sebagai pintu masuk dana, bukan sebagai wadah perjuangan ekonomi kolektif.

Inilah titik rawan yang belum banyak disadari. Ketika koperasi dibentuk atas dasar persepsi "akses dana gratis dari pusat," maka semangat gotong royong, partisipasi anggota, kemandirian modal, dan visi jangka panjang perlahan-lahan terkikis. Dana stimulus yang seharusnya menjadi pemicu pertumbuhan, justru bisa menjadi sumber kehancuran diam-diam, apabila tidak dibarengi dengan kesadaran kolektif dan tata kelola yang sehat.

Bahaya laten ini tidak langsung terlihat. Ia bersembunyi di balik struktur formal koperasi yang tampak legal. Tapi jika dibiarkan tumbuh, ia bisa menggerogoti koperasi dari dalam: menciptakan ketergantungan, konflik sosial, moral hazard, kredit macet, dan matinya inisiatif warga.

Koperasi sejati dibangun dari kesadaran, kontribusi, dan rasa memiliki. Tapi ketika koperasi hanya dipandang sebagai proyek "distribusi dana negara," maka ia akan kehilangan akarnya, dan tinggal menunggu waktu untuk runtuh.

Artikel ini mengurai tanda-tanda bahaya itu satu per satu. Bukan untuk menghakimi program, tetapi untuk memberi peringatan bahwa niat baik saja tidak cukup. Tanpa arah yang benar dan pemahaman yang mendalam, program koperasi bisa menjadi jebakan kolektif yang justru memperlemah ekonomi rakyat, bukan menguatkannya.

Koperasi Bukan ATM Publik

Salah satu kekeliruan paling mendasar dalam memandang koperasi, terutama dalam konteks program Koperasi Merah Putih, adalah menganggapnya sebagai "lembaga kredit lunak yang didanai negara." Dalam persepsi ini, koperasi bukan lagi tempat membangun usaha bersama, melainkan hanya sarana untuk menarik dana semudah mungkin. Banyak warga yang datang mendaftar bukan dengan semangat gotong royong atau niat berkontribusi, tapi karena satu motivasi: "kapan cair?"

Akibatnya, makna sejati koperasi sebagai wadah usaha kolektif berbasis partisipasi anggota perlahan mulai hilang. Tidak ada dorongan untuk menabung, enggan ikut rapat anggota, dan tidak merasa punya tanggung jawab terhadap keberlanjutan koperasi. Rasa memiliki bergeser menjadi rasa menuntut.

Dalam iklim seperti ini, koperasi berubah wajah menjadi ATM publik, tempat mencairkan dana, bukan tempat membangun ekonomi. Selama ada uang dari pusat, koperasi berjalan. Tapi ketika aliran dana berhenti, koperasi ikut mati suri. Tidak ada aktivitas usaha, tidak ada produksi, tidak ada pengembalian pinjaman. Yang tersisa hanyalah nama koperasi dan daftar piutang tak tertagih.

Padahal sejak awal, koperasi dirancang bukan sebagai instrumen distribusi dana pemerintah, melainkan sebagai kendaraan ekonomi rakyat, yang digerakkan oleh modal bersama, semangat kolektif, dan kemandirian. Kekuatan koperasi ada pada anggota yang aktif, bukan pada stimulus dana yang datang dari luar.

Membiarkan koperasi hanya menjadi tempat menyalurkan dana negara tanpa pembenahan paradigma, justru akan melanggengkan ketergantungan dan mematikan inisiatif warga sendiri. Lebih dari itu, hal ini berpotensi mengulangi kegagalan berbagai program bantuan masa lalu, yang besar di awal, tapi hilang tanpa jejak karena tak ditopang oleh kesadaran dan akuntabilitas.

Karena itu, menyehatkan kembali persepsi masyarakat tentang koperasi adalah tugas mendesak. Koperasi bukan tempat "dapat uang", tetapi tempat "bersama-sama menghasilkan uang". Tanpa pemahaman ini, koperasi hanya akan menjadi proyek sesaat yang menambah beban negara, tanpa pernah benar-benar membangun daya ekonomi rakyat.

Pengurus Koperasi Termotivasi Gaji dan Honor

Jika anggota koperasi keliru karena memandang koperasi sebagai tempat "meminjam uang," maka kekeliruan yang lebih dalam justru muncul dari sebagian calon pengurus koperasi itu sendiri. Banyak yang bersedia menjadi pengurus bukan karena niat tulus membangun ekonomi kolektif, melainkan karena tergoda bayangan akan menerima gaji atau honor rutin dari anggaran koperasi.

Motivasinya bukan "saya ingin memimpin usaha bersama," melainkan "berapa saya akan digaji?", sebuah titik tolak yang sepenuhnya menyimpang dari etos koperasi, yang menjunjung tinggi semangat pengabdian, akuntabilitas, dan tanggung jawab moral sebagai pelayan anggota, bukan sebagai pejabat berpenghasilan tetap.

Ketika koperasi dibentuk atas dasar insentif pribadi, bukan panggilan kolektif, maka arah manajemen pun rentan menyimpang. Alih-alih mendorong keberhasilan usaha, pengurus akan sibuk mencari cara mempertahankan honor, meski usaha koperasi belum menghasilkan apa-apa. Bahkan tak jarang, ada yang mulai memikirkan manipulasi laporan keuangan untuk menutupi kegagalan dan tetap mengamankan posisinya.

Lebih celaka lagi, kultur birokrasi subsidi bisa terbawa masuk ke dalam koperasi---di mana pengurus merasa seperti pejabat negara yang mengelola dana publik, bukan sebagai bagian dari komunitas yang mengemban amanat kolektif.

Jika tidak diantisipasi, koperasi bisa mengalami parasitisme dari dalam. Dana habis bukan karena kegiatan usaha, tapi karena belanja honor, perjalanan dinas, konsumsi rapat, dan kegiatan administratif yang tidak memberi nilai tambah ekonomi. Ini bukan koperasi produktif, ini koperasi fiktif yang dikemas rapi.

Maka, mari kita tegaskan:
Menjadi pengurus koperasi bukanlah jalan pintas untuk mencari penghasilan pribadi, melainkan panggilan tanggung jawab untuk membangun ekonomi bersama.

Kredit Macet di Depan Mata

Salah satu konsekuensi langsung dari persepsi keliru bahwa koperasi adalah "tempat meminjam uang dengan mudah" adalah tingginya potensi kredit macet. Ini bukan sekadar dugaan, tapi gejala yang sudah mulai terlihat di banyak koperasi berbasis program. Ketika warga tergiur dana yang disebut-sebut berasal dari pemerintah, lalu menganggap pinjaman itu sebagai "bagian hak" yang tidak wajib dikembalikan, maka runtuhlah fondasi koperasi sebagai lembaga keuangan yang berputar secara sehat.

Apalagi jika dana pinjaman justru digunakan bukan untuk usaha produktif, melainkan untuk kebutuhan konsumtif: hajatan keluarga, beli barang elektronik, renovasi rumah, atau bahkan membayar utang lama. Dalam konteks ini, pinjaman koperasi bukan lagi alat penggerak ekonomi, tapi malah menjadi beban baru yang tidak bisa ditutup.

Lebih parah lagi, koperasi tidak memiliki perangkat mitigasi risiko seperti lembaga keuangan formal. Tidak ada sistem agunan yang kuat, tidak ada BI checking, dan sering kali tidak ada analisis kelayakan usaha sebelum pinjaman diberikan. Dalam banyak kasus, keputusan pemberian pinjaman hanya berdasarkan pada "kedekatan sosial" atau "kasihan," bukan pada pertimbangan objektif dan profesional.

Ketika kredit bermasalah mulai menumpuk, efek domino langsung terjadi:

Koperasi kehilangan likuiditas.

Pengurus panik karena simpanan anggota tidak bisa diputar.

Program usaha bersama mandek karena modal hilang di tangan debitur bermasalah.

Rapat anggota jadi ajang saling tuding dan frustrasi.

Kepercayaan sosial yang menjadi fondasi koperasi mulai retak.

Dan jika kepercayaan sudah hilang, koperasi sangat sulit untuk bangkit kembali. Sebab koperasi bukan sekadar badan hukum, koperasi hidup dari rasa saling percaya antaranggota. Bila rasa itu hilang, maka koperasi bukan hanya gagal menjalankan fungsi ekonomi, tapi juga gagal menjaga nilai-nilai sosial yang menjadi jantung semangat gotong royong.

Maka, tak berlebihan jika dikatakan:

 Kredit macet dalam koperasi bukan sekadar soal angka, tapi soal hilangnya masa depan usaha kolektif.

Karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa pinjaman koperasi diberikan secara selektif, diawasi secara ketat, dan digunakan secara produktif. Tanpa itu semua, koperasi hanya akan menjadi tempat penyebaran dana yang cepat musnah, seperti air hujan di tanah kering, menghilang tanpa bekas dan meninggalkan kerak.

Koperasi Disulap Jadi Program Bantuan?

Di tengah euforia pembentukan 80.000 Koperasi Merah Putih, kabar bahwa setiap koperasi akan menerima suntikan dana hingga Rp3 miliar terdengar seperti angin surga bagi masyarakat akar rumput. Sayangnya, euforia ini berisiko membelokkan arah koperasi secara fundamental. Alih-alih menjadi lembaga ekonomi rakyat yang mandiri dan produktif, koperasi mulai dipahami sebagai program bantuan pemerintah.

Dalam banyak pertemuan dan diskusi lapangan, terdengar kalimat semacam ini: "Itu kan uang pemerintah, jadi ya tidak apa-apa kalau kita pakai dulu, nanti juga ada lagi..." Pola pikir semacam ini sangat berbahaya karena menciptakan ilusi bahwa koperasi adalah saluran bantuan yang tidak perlu dikembalikan, semacam hibah terselubung yang bisa dimanfaatkan siapa saja, tanpa pertanggungjawaban jelas.

Inilah awal mula moral hazard: ketika orang merasa tidak berkewajiban bertanggung jawab atas dana yang bukan berasal dari kantong sendiri. Sikap ini menjangkiti bukan hanya anggota, tapi bisa merembes hingga ke pengurus koperasi. Akibatnya:

Dana yang semestinya bergulir untuk menggerakkan usaha justru terparkir di tangan-tangan konsumtif.

Tidak ada evaluasi serius terhadap penggunaan pinjaman.

Laporan keuangan tidak dibuat secara berkala, atau hanya menjadi formalitas.

Tidak ada tekanan sosial untuk mengembalikan dana, karena dianggap milik "pemerintah," bukan milik bersama.

Padahal, dalam prinsip koperasi sejati, dana yang dikelola adalah milik bersama. Setiap rupiah yang dipinjam harus dikembalikan, karena itu bagian dari hak anggota lain. Setiap keputusan harus melalui rapat anggota, dan setiap penggunaan dana harus dilaporkan secara transparan. Koperasi dibangun dari kepercayaan kolektif, bukan dari dana stimulan yang diasumsikan tak terbatas.

Jika koperasi diposisikan hanya sebagai program penyaluran bantuan, maka cepat atau lambat, koperasi akan kehilangan roh kemandiriannya. Ia akan hidup selama ada anggaran, dan mati begitu anggaran dihentikan. Lebih dari itu, koperasi akan kehilangan kepercayaan publik karena berubah menjadi sarang penyimpangan yang diselimuti legalitas administratif.

Maka, pertanyaannya bukan lagi sekadar "berapa besar dana yang dikucurkan," tetapi "sebesar apa kesiapan masyarakat untuk mengelola dana itu secara bertanggung jawab?"

Tanpa perubahan pola pikir ini, koperasi tidak akan pernah menjadi solusi. Ia justru menjadi jebakan baru yang memperpanjang tradisi ketergantungan dan menggerus semangat ekonomi rakyat yang sesungguhnya.

Munculnya Konflik Sosial: Dari Koperasi ke Ketegangan Komunal

Di banyak desa dan kampung, koperasi dibentuk oleh warga, dikelola oleh warga, dan ditujukan untuk kepentingan warga. Secara teori, inilah model ideal dari ekonomi kerakyatan. Namun dalam praktik, justru kedekatan sosial antar-warga inilah yang bisa menjadi sumber konflik yang sangat sensitif, terutama ketika menyangkut soal penyaluran dana pinjaman.

Begitu koperasi mulai menyalurkan pinjaman, pertanyaan-pertanyaan penuh kecurigaan pun bermunculan:

"Kenapa si A langsung dapat, padahal saya duluan mendaftar?"

"Kenapa si B dapat Rp10 juta, saya hanya Rp5 juta?"

"Jangan-jangan pengurus pilih kasih karena mereka satu keluarga..."

Inilah titik rawan yang sering terlewatkan dalam wacana pembangunan koperasi: koperasi bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal kepercayaan sosial. Tanpa pengelolaan yang adil dan transparan, kecemburuan sosial akan tumbuh liar, berubah menjadi konflik horizontal yang memecah belah warga.

Situasinya makin rumit ketika pengurus koperasi adalah warga setempat yang punya relasi personal, politik, atau bahkan ekonomi dengan sebagian anggota. Potensi conflict of interest terbuka lebar. Pengurus bisa saja memberi prioritas kepada kerabat, sahabat, atau orang-orang yang dianggap "satu kelompok." Ini bukan hanya melanggar prinsip keadilan, tapi juga menciptakan suasana curiga, iri, dan akhirnya permusuhan yang sangat sulit dipulihkan.

Bukan tidak mungkin, koperasi yang awalnya digadang sebagai sarana pemersatu warga dalam membangun kekuatan ekonomi bersama, justru berubah menjadi api pemecah solidaritas sosial. Koperasi jadi pemicu pertengkaran, bukan gotong royong. Dan ini sangat berbahaya, apalagi di desa-desa yang ikatan sosialnya sangat dekat dan rentan terpecah hanya karena persoalan uang.

Lebih jauh lagi, konflik internal ini bisa mematikan koperasi secara perlahan. Ketika kepercayaan hilang, rapat anggota menjadi sepi. Ketika rasa keadilan dilanggar, semangat partisipasi pun menurun. Koperasi tinggal nama, tanpa roh, tanpa gerak, tanpa masa depan.

Maka jelas, keadilan dan transparansi bukan sekadar prinsip administratif, tapi fondasi sosial koperasi. Tanpa itu, koperasi hanyalah ladang konflik yang dibungkus logo kebersamaan.

Penting bagi semua pihak, terutama pemerintah, pendamping, dan penggerak koperasi, untuk menyadari bahwa mengelola koperasi berarti juga mengelola kepercayaan sosial. Dan kepercayaan itu hanya akan tumbuh jika keputusan diambil dengan jujur, terbuka, dan berdasarkan aturan yang disepakati bersama, bukan atas dasar hubungan pribadi, kedekatan, atau kekuasaan informal.

Ketergantungan Baru terhadap Negara: Mematikan Kemandirian Sebelum Tumbuh

Di atas kertas, program stimulus Rp3 miliar per koperasi dari pemerintah pusat dalam skema Koperasi Merah Putih terdengar seperti terobosan strategis: pemerintah memberi dorongan awal agar koperasi bisa bergerak lebih cepat, lebih besar, dan lebih kuat. Namun, di lapangan, realitas tak selalu berjalan sesuai harapan. Stimulus yang semestinya menjadi pemantik justru berisiko menjadi candu.

Ketika koperasi hanya bergerak karena ada suntikan dana dari pusat, maka koperasi tersebut tak ubahnya kendaraan yang hanya hidup jika disubsidi. Begitu dana berhenti, roda usaha juga berhenti. Tidak ada inisiatif dari dalam, tidak ada pembiayaan mandiri, dan tidak ada keberlanjutan.

Lebih dari sekadar stagnasi usaha, ini adalah bentuk kemunduran ideologis. Koperasi, yang sejak awal digagas sebagai lembaga ekonomi rakyat berbasis gotong royong dan kemandirian, justru terjebak dalam model ketergantungan struktural. Dalam banyak kasus, alih-alih menjadi instrumen pembebasan ekonomi masyarakat, koperasi malah berubah menjadi "perpanjangan tangan birokrasi", pasif, menunggu perintah, dan hidup dari transfer dana.

Semangat partisipasi aktif, yang merupakan nadi kehidupan koperasi, perlahan terkikis. Anggota tidak merasa perlu membayar simpanan wajib, tidak tertarik hadir dalam rapat anggota, dan hanya menanti kabar: "Kapan dana dari pusat cair lagi?"

Efek Turunannya: Kewirausahaan Lokal Lumpuh

Situasi ini juga memberi dampak psikologis yang merusak: matinya inisiatif dan kreativitas ekonomi masyarakat. Ketika koperasi dibentuk bukan karena dorongan kebutuhan bersama, melainkan karena peluang untuk "mengakses dana," maka koperasi kehilangan daya cipta.

Alih-alih membangun unit usaha lokal seperti pertanian terpadu, koperasi peternakan, warung anggota, atau usaha mikro berbasis komunitas, banyak koperasi justru tidak punya rencana usaha sama sekali. Mereka hanya membentuk struktur, mengurus legalitas, dan kemudian menunggu "transfer" dari atas. Begitu dana datang, dibagi-bagikan. Begitu dana habis, koperasi pun tak berfungsi lagi.

Mengulang Pola Gagal Masa Lalu

Kondisi ini mengingatkan kita pada banyak program masa lalu yang bernasib serupa: bantuan datang tanpa kesiapan kelembagaan, lalu habis tanpa bekas. Koperasi pun hanya menjadi kotak kosong berlabel "ekonomi rakyat," tapi isinya adalah ketergantungan dan pengelolaan semu.

Padahal sejarah dan pengalaman menunjukkan: koperasi yang berhasil justru adalah koperasi yang dibangun dari bawah, dengan semangat swadaya, kesabaran membangun kepercayaan, dan komitmen jangka panjang dari anggotanya sendiri.

Solusi: Stimulus Harus Disertai Pendidikan Kemandirian

Koperasi memang boleh dibantu. Tapi bantuan itu harus bersyarat: bukan sekadar dikucurkan, tetapi dibarengi dengan syarat kesiapan kelembagaan, edukasi keuangan, dan rencana usaha yang realistis. Pemerintah bukan sekadar pemberi dana, tapi fasilitator pertumbuhan.

Tanpa syarat-syarat itu, bantuan justru menjelma menjadi racun yang melumpuhkan daya hidup koperasi. Dan dalam jangka panjang, rakyat akan kembali ke titik semula: tergantung, lemah, dan tidak mampu berdiri sendiri secara ekonomi.

Koperasi sejati tumbuh dari bawah, bukan muncul dari atas. Ia dibangun, bukan dibentuk. Ia hidup dari gotong royong, bukan dari aliran dana.

Jika kita ingin koperasi menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, maka kita harus berhenti memperlakukannya sebagai anak kecil yang harus disuapi terus-menerus.

Refleksi: Koperasi Harus Dibangun dari Kesadaran, Bukan Iming-Iming

Antusiasme masyarakat terhadap koperasi, terutama dalam konteks program Koperasi Merah Putih, sesungguhnya adalah modal sosial yang sangat besar. Semangat ingin terlibat, ingin ikut serta, ingin mendapatkan manfaat, semua itu adalah energi kolektif yang jika diarahkan dengan benar bisa menjadi kekuatan luar biasa. Tapi seperti api, energi itu bisa membakar atau bisa menghangatkan, tergantung bagaimana kita mengelolanya.

Jika koperasi dibangun hanya dari harapan "bagi-bagi uang", tanpa landasan kesadaran akan tanggung jawab dan nilai kebersamaan, maka koperasi justru akan menjadi jebakan kolektif yang menghancurkan harapan itu sendiri. Dalam waktu singkat, dana bisa habis, konflik bisa pecah, dan yang tersisa hanya nama koperasi tanpa kegiatan, tanpa kepercayaan, tanpa kehidupan.

Koperasi bukan lembaga karitatif. Ia adalah organisme sosial-ekonomi yang hidup dari dalam ke luar: dari kontribusi anggota, dari partisipasi aktif, dari musyawarah, dari pengawasan horizontal yang setara, dan dari rasa memiliki. Maka koperasi hanya akan tumbuh sehat dan berumur panjang jika dibangun di atas fondasi:

Kesadaran bersama, bukan euforia sementara.

Kepemimpinan yang jujur dan visioner, bukan yang haus jabatan dan honor.

Anggota yang aktif dan sadar peran, bukan sekadar penerima manfaat.

"Koperasi bukan milik pemerintah. Bukan pula milik pengurus. Koperasi adalah milik bersama. Maka hanya akan berhasil jika dibangun dengan semangat bersama, untuk kepentingan bersama, dan dengan tanggung jawab bersama."

Kita tidak sedang membangun koperasi untuk hari ini saja. Kita sedang membangun model ekonomi alternatif untuk masa depan, agar rakyat punya ruang berdaya di tengah sistem ekonomi yang makin meminggirkan yang lemah. Jika hari ini kita biarkan koperasi menjadi proyek sesaat, kita sedang membunuh harapan itu di pangkal jalan.

Mari kita arahkan ulang semangat ini. Bangun koperasi bukan sebagai pintu masuk bantuan, tapi sebagai wadah tumbuhnya kemandirian. Bukan sekadar lembaga, tapi sebagai gerakan sadar rakyat membangun masa depannya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun