Padahal sejak awal, koperasi dirancang bukan sebagai instrumen distribusi dana pemerintah, melainkan sebagai kendaraan ekonomi rakyat, yang digerakkan oleh modal bersama, semangat kolektif, dan kemandirian. Kekuatan koperasi ada pada anggota yang aktif, bukan pada stimulus dana yang datang dari luar.
Membiarkan koperasi hanya menjadi tempat menyalurkan dana negara tanpa pembenahan paradigma, justru akan melanggengkan ketergantungan dan mematikan inisiatif warga sendiri. Lebih dari itu, hal ini berpotensi mengulangi kegagalan berbagai program bantuan masa lalu, yang besar di awal, tapi hilang tanpa jejak karena tak ditopang oleh kesadaran dan akuntabilitas.
Karena itu, menyehatkan kembali persepsi masyarakat tentang koperasi adalah tugas mendesak. Koperasi bukan tempat "dapat uang", tetapi tempat "bersama-sama menghasilkan uang". Tanpa pemahaman ini, koperasi hanya akan menjadi proyek sesaat yang menambah beban negara, tanpa pernah benar-benar membangun daya ekonomi rakyat.
Pengurus Koperasi Termotivasi Gaji dan Honor
Jika anggota koperasi keliru karena memandang koperasi sebagai tempat "meminjam uang," maka kekeliruan yang lebih dalam justru muncul dari sebagian calon pengurus koperasi itu sendiri. Banyak yang bersedia menjadi pengurus bukan karena niat tulus membangun ekonomi kolektif, melainkan karena tergoda bayangan akan menerima gaji atau honor rutin dari anggaran koperasi.
Motivasinya bukan "saya ingin memimpin usaha bersama," melainkan "berapa saya akan digaji?", sebuah titik tolak yang sepenuhnya menyimpang dari etos koperasi, yang menjunjung tinggi semangat pengabdian, akuntabilitas, dan tanggung jawab moral sebagai pelayan anggota, bukan sebagai pejabat berpenghasilan tetap.
Ketika koperasi dibentuk atas dasar insentif pribadi, bukan panggilan kolektif, maka arah manajemen pun rentan menyimpang. Alih-alih mendorong keberhasilan usaha, pengurus akan sibuk mencari cara mempertahankan honor, meski usaha koperasi belum menghasilkan apa-apa. Bahkan tak jarang, ada yang mulai memikirkan manipulasi laporan keuangan untuk menutupi kegagalan dan tetap mengamankan posisinya.
Lebih celaka lagi, kultur birokrasi subsidi bisa terbawa masuk ke dalam koperasi---di mana pengurus merasa seperti pejabat negara yang mengelola dana publik, bukan sebagai bagian dari komunitas yang mengemban amanat kolektif.
Jika tidak diantisipasi, koperasi bisa mengalami parasitisme dari dalam. Dana habis bukan karena kegiatan usaha, tapi karena belanja honor, perjalanan dinas, konsumsi rapat, dan kegiatan administratif yang tidak memberi nilai tambah ekonomi. Ini bukan koperasi produktif, ini koperasi fiktif yang dikemas rapi.
Maka, mari kita tegaskan:
Menjadi pengurus koperasi bukanlah jalan pintas untuk mencari penghasilan pribadi, melainkan panggilan tanggung jawab untuk membangun ekonomi bersama.
Kredit Macet di Depan Mata
Salah satu konsekuensi langsung dari persepsi keliru bahwa koperasi adalah "tempat meminjam uang dengan mudah" adalah tingginya potensi kredit macet. Ini bukan sekadar dugaan, tapi gejala yang sudah mulai terlihat di banyak koperasi berbasis program. Ketika warga tergiur dana yang disebut-sebut berasal dari pemerintah, lalu menganggap pinjaman itu sebagai "bagian hak" yang tidak wajib dikembalikan, maka runtuhlah fondasi koperasi sebagai lembaga keuangan yang berputar secara sehat.