"Copet! Itu dompet ibu tadi! Dia ambil!"
Darto terpaku. Mulutnya terbuka, ingin menjelaskan. Tapi tangan-tangan menghantam lebih cepat dari suara. Satu tendangan mengenai perutnya. Tinju lainnya mendarat di wajahnya. Ia jatuh, mencoba bangkit, tapi tak mampu.
Darah mengalir dari pelipis. Dunia mulai gelap. Dalam sekarat itu, ponselnya bergetar di saku celana. SMS masuk.
"Pak, Adi makin panas. Tolong bawa beras juga. Kita sudah habis makan sejak tadi pagi. ---Marni"
"Pak! Pak! Ini orang bukan copet! Dia pingsan! Dia cuma ambil dompet jatuh!" suara lain terdengar di tengah kerumunan.
Yono, tukang sayur yang sudah lama kenal Darto, menerobos kerumunan. "Saya kenal orang ini! Dia bukan copet! Dia tiap hari dorong gerobak!"
Yono membaca SMS di HP Darto yang masih terbuka. Hatinya trenyuh. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat tubuh Darto ke becak sayurnya, lalu melaju ke puskesmas terdekat. Setelah itu, ia mampir ke toko beras, membeli lima liter beras dan sekantong plastik obat penurun panas.
Di rumah kontrakan itu, Marni menyambutnya dengan mata sembab.
"Saya Yono, Bu. Pak Darto pingsan... dipukuli orang karena salah paham. Tapi saya sudah bawa dia ke puskesmas. Ini, Pak Darto ada titip beras dan obat turun panas."
Marni menangis, tubuhnya gemetar. "Yaahhh Gusti .... trima kasih, Â masih ada orang kecil yang baik hati ..."
Yono tersenyum kecil. "Dunia ini kejam, Bu. Tapi kadang, masih ada sisa-sisa cahaya. Jangan padamkan itu, ya."