Gerobak dan Sebuah Dompet
Darto mendorong gerobaknya pelan. Bukan karena pasar sedang sepi, tapi lutut kirinya sering nyeri mendadak. Sisa-sisa tenaga sebagai buruh pelabuhan masih membekas di punggung yang sudah mulai membungkuk. Sesekali ia menarik napas panjang, seperti hendak mengangkat beban dunia dari dadanya.
"Ayah... Adi demam lagi," suara Marni lirih pagi tadi, sambil menyeka keringat dingin anak bungsu mereka.
Darto hanya mengangguk. Tak ada kata yang sanggup keluar. Mulutnya kering oleh kenyataan: uang di dompet hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi, dan itupun pinjaman dari tetangga yang sudah enggan tersenyum tiap melihatnya lewat.
Yanti, anak sulung mereka, sudah pergi lebih dulu pagi itu. Dengan pikulan kecil dan senyum dipaksakan, ia berjalan keliling menjajakan pisang goreng.
"Ayah doakan, Nak... semoga laku semua," ucap Darto dalam hati. Ia terlalu malu untuk mendoakannya dengan suara keras.
------
Hari itu pasar ramai. Langkah-langkah bergegas, teriakan pedagang bersahut-sahutan. Darto berdiri mematung di pojok, menunggu orang yang butuh jasa dorongan gerobak. Seorang wanita paruh baya baru saja selesai belanja dan bergegas pergi. Di tempat dia berdiri, tersisa sesuatu yang mencolok: sebuah dompet merah.
Darto melihat ke sekeliling. Tak ada yang memperhatikan. Ia ragu. Tangannya hendak memungut, tapi mundur. Lalu mengambil. Membuka pelan. Di dalamnya ada uang. Banyak.
"Ini cukup... cukup buat bawa Adi ke dokter. Mungkin bahkan bisa bayar kontrakan satu bulan. Mungkin juga... nasi buat malam ini."
Tapi sebelum pikirannya selesai menyusun kemungkinan, teriakan memecah keramaian: