Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dompet dan Perjalanan yang Menyakitkan

27 April 2025   23:08 Diperbarui: 27 April 2025   23:08 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Kreasi Pribadi)

Dompet dan Perjalanan yang Menyakitkan

Kereta sore itu penuh sesak saat aku hampir saja menyerah berdiri sepanjang perjalanan. Tapi mataku menangkap satu bangku kosong di sebelah seorang pria muda yang sedang membaca buku. Dengan ragu aku duduk, dan dia menoleh sambil tersenyum sopan, memperkenalkan dirinya sebagai Dito. Sepanjang perjalanan, kami berbincang tentang banyak hal, mulai dari buku favorit hingga tempat-tempat yang ingin dikunjungi. Rasanya nyaman, seolah-olah aku sudah mengenalnya lebih lama dari yang seharusnya. Saat dia turun, aku baru sadar bahwa ia meninggalkan dompetnya di kursi. Aku bimbang sejenak, lalu memutuskan untuk mengembalikannya. Dalam dompet itu, aku menemukan kartu nama dengan alamat kantornya. Esok harinya, aku memberanikan diri datang ke sana, tak pernah mengira pertemuan itu akan menjadi awal dari sesuatu yang sulit kulupakan.

Saat aku mengembalikan dompet itu, Dito menyambutku dengan tatapan lega dan senyum tulus. Ia menawarkan aku duduk dan berbincang sebentar, seolah kami sudah sahabat lama. Sejak saat itu, hubungan kami menjadi lebih akrab, walau tetap terasa santai dan tidak berlebihan. Pesan-pesan kecil darinya mulai mewarnai hariku, mulai dari sekadar ucapan selamat pagi hingga kutipan buku-buku kesukaanku. Beberapa kali dia membawakanku hadiah kecil, seperti gantungan kunci lucu atau cokelat kesukaanku. Aku merasa istimewa, seolah dunia menyelimutiku dengan perhatian yang hangat. Aku mulai menaruh harapan, mengira perasaanku mungkin berbalas. Rasanya, tak mungkin ada lelaki yang sebegitu perhatian jika tidak menyimpan rasa. Setiap kata, setiap tawa, membuatku semakin yakin bahwa aku tak sendiri dalam perasaan ini.

Hubungan kami berlanjut selama enam bulan, dan aku semakin terbiasa dengan kehadirannya dalam hidupku. Kadang kami bertemu untuk makan siang, kadang hanya bertukar cerita lewat telepon hingga larut malam. Setiap perhatian yang dia berikan terasa seperti benih-benih cinta yang tumbuh perlahan di hatiku. Aku mulai berani bermimpi tentang masa depan bersamanya, tentang hari-hari yang penuh tawa dan kebersamaan. Tak sekali pun aku meragukan perasaannya, mungkin karena aku terlalu larut dalam bahagia. Dito begitu tulus, begitu perhatian, dan aku merasa begitu berarti di matanya. Aku sering bercerita pada sahabatku bahwa mungkin aku telah menemukan orang yang tepat. Dunia terasa lebih cerah, dan aku tak pernah sebahagia ini sebelumnya. Tapi, kebahagiaan itu ternyata rapuh, sehalus embun di ujung pagi.

Sore itu, aku pergi ke mal untuk mencari hadiah ulang tahun keponakanku. Di antara kerumunan, aku melihat sosok yang begitu kukenal: Dito, dengan senyum lebar di wajahnya. Tapi ada sesuatu yang menusuk hatiku, seorang gadis kecil menggelayut manja di lengannya, dan seorang perempuan cantik menggamit bahunya mesra. Dunia di sekelilingku seolah berhenti berputar. Aku berdiri membeku, menyaksikan pemandangan yang menghancurkan seluruh harapanku dalam sekejap. Itu bukan adiknya, bukan temannya,  itu keluarganya. Aku merasa seperti orang bodoh yang baru saja terbangun dari mimpi panjang. Mataku panas, tapi aku menahan air mata agar tidak tumpah di tengah keramaian. Aku berbalik, melangkah cepat menjauh sebelum Dito sempat melihatku.

Malam itu aku menatap layar ponselku, membaca ulang semua pesan-pesan dari Dito. Setiap kata yang dulu membuatku tersenyum, kini terasa seperti luka yang menganga. Aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin aku tidak melihat tanda-tanda yang jelas? Tapi aku sadar, Dito memang tidak pernah memberiku harapan secara langsung. Ia hanya memperlakukanku seperti adik kecil yang harus dijaga, tanpa tahu bahwa aku diam-diam menaruh seluruh hatiku padanya. Rasanya begitu menyakitkan menyadari bahwa semua perhatian itu bukan cinta, hanya kebaikan biasa. Aku menangis dalam diam, membiarkan rasa sakit itu membanjiri seluruh tubuhku. Aku merasa tertipu, bukan oleh Dito, tapi oleh harapanku sendiri. Ini bukan kisah cinta seperti yang kubayangkan. Ini hanya kisah seorang gadis yang terlalu mudah percaya.

Beberapa hari setelah aku melihat kenyataan itu, ponselku bergetar dengan nama Dito di layar. Aku membiarkannya berdering, tak sanggup menjawab, jantungku seolah berhenti berdetak setiap kali kulihat pesannya. "Rina, kenapa nggak balas? Apa ada yang salah?" begitu isi salah satu pesan yang kuterima. Aku butuh waktu untuk menguatkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk jujur padanya. Dengan tangan gemetar, aku mengetik: "Aku tahu, Kak. Aku tahu semuanya. Maafkan aku, aku tidak mau mengganggu keluarga Kak Dito." Butuh beberapa menit sebelum balasan darinya muncul, dan saat kubaca, air mataku tumpah lagi. Ia berkata bahwa ia tetap menganggapku sebagai adiknya, dan ingin menjaga silaturahmi dengan tulus. Tapi entah kenapa, kata-kata itu justru membuat hatiku terasa semakin perih.

Beberapa hari kemudian, Dito kembali menghubungiku, kali ini mengundangku untuk bertemu dalam sebuah acara kecil di taman kota. Ia mengatakan bahwa ia ingin mengenalkanku pada istrinya dan putri kecilnya, agar tidak ada salah paham di antara kami. Aku membacanya berulang-ulang, menimbang-nimbang dengan hati yang berkecamuk. Rasanya aku ingin menolak, ingin menghilang saja dari kehidupannya. Tapi ada bagian kecil dalam diriku yang tahu, aku harus menyelesaikan ini dengan berani, demi hatiku sendiri. Aku menyiapkan diri sebaik mungkin, memilih pakaian sederhana dan merapikan senyumku yang setengah dipaksakan. Di perjalanan menuju taman itu, hatiku seperti dihimpit beban berat yang tak terlihat. Aku tahu, aku harus melepaskan perasaanku, bukan dengan kemarahan, tapi dengan ketulusan. Ini bukan tentang aku lagi, ini tentang menghargai cinta yang sudah dimilikinya.

Saat tiba di taman, aku melihat Dito melambaikan tangan dengan senyum hangat, didampingi istrinya yang cantik dan anak gadis kecilnya yang menggemaskan. Dadaku sesak melihat kebahagiaan yang begitu nyata di wajah mereka. Dito mengenalkanku sebagai adik yang pernah membantunya di saat penting, dan istrinya menyambutku dengan ramah tanpa rasa curiga sedikit pun. Kami mengobrol seadanya, tentang hal-hal ringan seperti cuaca, mainan anak-anak, dan makanan favorit. Tapi di dalam diriku, pertempuran hebat terjadi, antara rasa sakit dan keinginan untuk merelakan. Saat melihat tangan kecil putrinya menggenggam erat jari Dito, aku tahu bahwa aku harus melepaskan semua mimpi yang dulu kubangun. Aku tersenyum, menahan tangis yang nyaris pecah, berusaha mengukir kenangan terakhir ini dalam hati. Saat pamit, aku membungkuk sedikit, bukan hanya sebagai tanda hormat, tapi juga sebagai salam perpisahan pada semua rasa yang pernah tumbuh.

Malam itu aku berjalan pulang dengan langkah pelan di bawah langit yang bertabur bintang. Ada kesedihan yang masih mengendap, tapi juga kelegaan yang perlahan menghangatkan hatiku. Aku tahu aku sudah mengambil keputusan yang benar, untuk tidak bertahan pada sesuatu yang tidak bisa kumiliki. Dito tetaplah Dito yang baik, dan aku tetaplah Rina yang pernah singgah sebentar dalam hidupnya. Aku menyadari bahwa kadang mencintai berarti juga melepaskan, meski rasanya seperti mencabik separuh jiwaku. Di antara deru angin malam, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tetap berjalan ke depan. Aku masih percaya bahwa suatu hari nanti, aku akan menemukan seseorang yang menggenggam hatiku tanpa membuatku merasa salah tempat. Dengan seulas senyum kecil, aku melangkah pergi, membawa luka yang pelan-pelan berubah menjadi kekuatan baru. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku merasa bebas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun