Terhitung pada medio April--Mei 2025 lalu, publik juga digegerkan dengan adanya laporan bahwa TNI dan beberapa aparat teritorial lain hadir dalam kegiatan diskusi kampus, termasuk pada acara kritik terhadap kebijakan negara. Muncul pula kasus-kasus di mana Babinsa/teritorial "menanyakan identitas peserta" dan mengawasi ruang-ruang diskusi.
Kehadiran tentara di kampus ini, meskipun diklaim hanya sebagai pengamanan atau monitoring wilayah, tentu jadi menghidupkan kembali trauma pada era Orde Baru, ketika kampus 'direpresi' kegiatan politiknya oleh negara melalui militer (lewat yang namanya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan atau NKK/BKK).
Meski isu ini sudah dibantah dan perlahan mulai mereda, perlu diingat bahwa reformasi 1998 mengamanatkan agar kampus harus bebas dari intervensi militer. Itulah mengapa jika pola ini terus berulang, tentunya akan menimbulkan kekhawatiran kembalinya bayang-bayang pengawasan semu daripada aparat militer tersebut.
Lingkaran 'Pembisik' Prabowo: Berkumpulnya Para Purnawirawan
Tidak hanya di lembaga publik saja, para penasihat Presiden Prabowo Subianto juga didominasi oleh figur-figur dari pensiunan TNI/Polri.
Tak main-main, nama-nama besar seperti di antaranya:
- - Jenderal TNI (Purn) Wiranto, Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan
- - Letjen TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, Penasihat Khusus Presiden Bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan
- - Letjen TNI (Purn) Dudung Abdurachman, Penasihat Khusus Presiden Bidang Pertahanan Nasional, sekaligus Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan
- - Letjen TNI (Purn) Terawan Agus Putranto, Penasihat Khusus Presiden Bidang Kesehatan Nasional
- - Komjen Pol. (Purn) Ahmad Dhofiri, Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), dan Reformasi Polri (Terbaru)
Konfigurasi ini semakin jelas memperlihatkan bahwa logika keamanan bukan hanya hadir di lapangan, tetapi juga di meja rapat strategis negara. Dominasi ini bukan pula sekadar simbol belaka, karena mereka punya kapasitas memberi arah kebijakan strategis kepada Presiden dan mempengaruhi setiap ritme keputusan dari pemerintah. Dan dengan peran sentral yang mereka miliki pula, maka "sepatu lars" bukan hanya berjalan di barak, tetapi juga telah menancap di ruang pengambilan kebijakan.
Oleh karena itu, sulit rasanya bagi publik untuk menampik bahwa wajah pemerintahan saat ini memang kuat akan militeristik. Dan narasi pertahanan-keamanan negara tampak menjadi kerangka dominan dalam setiap kebijakan publik yang dikeluarkannya.
Memori "Agustus Kelabu" dan Bayang-Bayang Darurat Militer
Kerusuhan yang terjadi saat demonstrasi besar-besaran akhir Agustus 2025 lalu menjadi momen yang menguji posisi TNI. Isu tentang kemungkinan diterapkannya darurat militer sempat mencuat, meski akhirnya tidak diputuskan. Namun fakta bahwa opsi tersebut dapat muncul dengan cepat, memperlihatkan betapa mudahnya militerisasi politik itu bisa dihidupkan kembali.
Wacana darurat militer dalam situasi krisis sipil juga menegaskan satu hal: bahwa pendekatan keamanan kerap dijadikan jalan pintas ketika mekanisme demokrasi sudah dianggap lambat. Namun, justru inilah yang berbahaya: sebab demokrasi memang berproses, tetapi begitu militer yang mengambil alih, otomatis ruang sipil juga akan menyempit dengan drastis pula.
Refleksi: Derap Sepatu Lars dan Masa Depan Demokrasi Kita
Delapan dekade perjalanan TNI adalah sebuah pencapaian historis. Namun, peringatan ini tidak boleh hanya menjadi ajang parade alutsista dan defile pasukan saja. Ia sebaiknya menjadi momen untuk refleksi: apakah TNI sudah bekerja secara profesional dalam membela rakyat dan negara, atau justru kembali merambah ke wilayah sipil dengan alasan 'demi stabilitas'?
Pertanyaan ini penting, sebab demokrasi tidak tumbuh dalam suasana seragam, barisan komando, dan derap sepatu lars. Demokrasi harus tumbuh dalam perbedaan, dalam kebebasan, dan dalam ruang sipil yang kuat.