Mohon tunggu...
Rublikpol
Rublikpol Mohon Tunggu... Lembaga Diskusi Kampus

📍 Jakarta, Indonesia | 🎓 Founded at FISIP UIN Syarif Hidayatullah | 🎙️ Voice of Critical Politics Rublikpol (Ruang Publik Politik) is a youth-driven socio-political media organization committed to enriching Indonesia’s public discourse. Founded in 2016 within the Faculty of Social and Political Sciences at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rublikpol has grown into a vibrant space for critical dialogue, political literacy, and civic engagement. 🎯 Our Mission To ignite critical thinking and foster informed discussions on politics, society, and governance—bridging academia, grassroots perspectives, and youth activism through accessible content and community-driven events. 💡 What We Do 1. Interactive Forums & Events - From our flagship *Publik Berbisik* series (where politics meets music and art) to academic discussions and open forums. 2. Multimedia Content – Thought-provoking podcasts, infographics, and political explainers for digital natives. 3. Grassroots Political Education – Training, workshops, and content aimed at strengthening democratic values among young voters and students. We’re not just talking about politics—we're building a generation that critically engages with it.

Selanjutnya

Tutup

Politik

HUT ke-80 TNI: Derap Sepatu Lars itu Makin Menguat?

5 Oktober 2025   10:14 Diperbarui: 5 Oktober 2025   10:14 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TENTARA NASIONAL INDONESIA - Para prajurit TNI saat sedang melakukan gladi bersih jelang Peringatan HUT ke-80 TNI di Silang Monas, Jakarta Pusat. (Kom

Oleh : Fattah Holmes (Abdul Fattah)

Setiap peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) TNI yang jatuh pada tanggal 5 Oktober, publik pada umumnya selalu menampilkan dua wajah yang kontras: Satu sisi, kebanggaan atas kekuatan pertahanan nasional, namun di sisi lain, kegelisahan akan bayang-bayang gelapnya masa lalu. Karena dalam sejarah Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI) pernah memainkan peran ganda lewat doktrin "Dwifungsi ABRI". Doktrin yang sebenarnya dicetuskan di era Orde Lama, namun dilembagakan dengan masifnya saat era Orde Baru. Di mana, tentara tidak hanya menjaga perbatasan dan menghadapi ancaman dari eksternal saja, tetapi juga ikut mengatur politik, pemerintahan, hingga ekonomi negara.

Reformasi 1998 kemudian mencoba mengakhiri dominasi itu. Lewat lahirnya UU TNI No. 34 Tahun 2004, batas tegas pun ditetapkan: bahwa militer hanya fokus kepada urusan pertahanan negara, sementara politik, birokrasi, dan keamanan internal menjadi domainnya sipil serta kepolisian.

Namun semenjak dua dekade berselang, batas itu perlahan-lahan mulai kabur. Dan kini, di usianya yang ke-80, TNI tidak lagi hanya dikenang sebagai penjaga republik, tetapi juga mulai dipertanyakan: apakah ia sedang mengulang pola lama dengan wajah yang baru?

Revisi UU TNI 2025: Supremasi Sipil Kian Terancam?

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang disahkan pada Maret 2025 menimbulkan riak besar. Salah satu poin yang paling disorot adalah pembukaan jalan bagi prajurit aktif untuk dapat menduduki jabatan di 14 kementerian/lembaga.

Adapun kementerian atau lembaga (K/L) yang dapat ditempati oleh prajurit aktif sesuai UU TNI yang baru itu, di antaranya:

  • - Kementerian Koordinator Bidang Politik dan keamanan (Kemenko Polkam)
  • - Kementerian Pertahanan, termasuk Dewan Pertahanan Nasional (Kemenhan dan DPN)
  • - Sekretariat Presiden dan Sekretariat Militer Presiden
  • - Badan Intelijen Negara (BIN)
  • - Badan Siber dan/atau Sandi Negara (BSSN)
  • - Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)
  • - Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BASARNAS)
  • - Badan Narkotika Nasional (BNN)
  • - Mahkamah Agung (MA)

Dalam 14 daftar Kementerian atau lembaga (K/L) tersebut, ada 5 tambahan juga di antaranya:

  • - Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
  • - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
  • - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
  • - Badan Keamanan Laut (Bakamla)
  • - Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer)

Bagi pendukungnya, barangkali langkah ini dianggap realistis dengan alasan: militer memiliki kapasitas disiplin, manajemen krisis, dan pengalaman strategis yang dapat memperkuat birokrasi negara. Tetapi bagi kalangan yang kritis, boleh jadi ini adalah "lonceng bahaya" bagi demokrasi. Sebab tanpa pengawasan sipil yang kuat, artinya negara sedang membuka kembali ruang dominasi tentara ke wilayah yang mestinya steril dari pengaruh militer.

 Ironi BGN: Didominasi Pensiunan Tentara, Minim Ahli Gizi

Sorotan tajam publik juga mengarah ke Badan Gizi Nasional (BGN), Badan yang seharusnya menjadi pusat kajian gizi, kesehatan publik, dan sains nutrisi dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) ini justru banyak diisi oleh figur-figur dari purnawirawan TNI/Polri.

Para Purnawirawan TNI/Polri yang dimaksudkan di antaranya:

  • - Mayjen TNI (Purn) Lodewyk Pusung (Sebagai Wakil Kepala BGN)
  • - Brigjen Pol. Sony Sonjaya (Sebagai Wakil Kepala BGN)
  • - Brigjen TNI (Purn) Sarwono (Sebagai Sekretaris Utama BGN)
  • - Brigjen TNI (Purn) Jimmy Alexander Adirman (Sebagai Inspektur Utama BGN)
  • - Brigjen TNI (Purn) Suardi Samiran (Sebagai Deputi Penyediaan dan Penyaluran BGN)
  • - Mayjen TNI (Purn) Dadang Hendrayudha (Sebagai Deputi Pemantauan dan Pengawasan BGN)

Bagi publik, hal ini sebenarnya bisa dipandang sebagai suatu hal yang menggelikan sekaligus mengkhawatirkan.

Dikatakan menggelikan karena, apakah masalah gizi buruk dan stunting yang mana salah satu penyelesaiannya oleh Presiden dicanangkan lewat program MBG ini, benar-benar harus dilakukan dengan pendekatan yang militeristik ketimbang dari ahli gizi ataupun gastronomi? Mengingat dalam dunia pangan-gizi, disiplin komando ala militer belum tentu sejalan dengan fleksibilitas teknis di dapur dan meja makan ala sipil.

Sedangkan yang untuk mengkhawatirkannya, publik juga memandang ini boleh jadi sebagai "biang kerok" dari kasus keracunan massal MBG yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir di berbagai daerah. Yang mana alasan klasiknya adalah akibat lemahnya pengawasan dapur dan kurangnya tenaga ahli di lapangan. Yang realitanya juga, sebagian besar daripada tenaga pengawas tersebut berasal dari latar belakang militer-logistik, bukannya spesialis pangan atau ahli gizi-gastronomi.

Dalam kasus ini pula, BGN barangkali barulah satu contoh kecil saja. Tapi terlepas daripada itu, ia boleh jadi merupakan simbol dari bagaimana bentuk militerisasi di kehidupan masyarakat mulai perlahan-lahan bangkit kembali, hingga berpotensi dapat mengancam supremasi sipil yang sudah diperjuangkan saat reformasi tahun 1998 lalu.

TNI Jaga Kejaksaan: Isyarat Militerisme Menguat di Era Prabowo?

Langkah pemerintah yang menugaskan TNI untuk menjaga kantor Kejaksaan juga tak kalah memunculkan tanda tanya. Apakah ini sekadar bentuk pengamanan objek vital negara, atau merupakan tanda nyata bahwa militer sudah masuk terlalu jauh ke ranah sipil? Sebab bukannya jadi memperkuat penegakan hukum sipil, langkah ini justru berpotensi dapat mengaburkan prinsip supremasi hukum itu sendiri.

Ditambah lagi, beberapa koalisi masyarakat sipil memandang bahwa pengerahan personel TNI ke wilayah kejaksaan sebagai suatu kebijakan yang "tidak proporsional". Sebab menurut mereka, TNI seharusnya fokus kepada aspek pertahanan negara, bukannya masuk ke ranah penegakan hukum yang dilaksanakan oleh kejaksaan sebagai instansi sipil.

Bergerak daripada itu, langkah mengejutkan ini jadi menuai pertanyaan dari publik: apakah Indonesia sedang bergerak ke arah state of exception? Sebuah kondisi di mana hukum sipil bisa dikesampingkan oleh logika 'demi keamanan dan kestabilan negara'?

Penambahan Komando Teritorial: Distensi Pengawasan oleh Militer?

Presiden Prabowo Subianto, yang juga eks Danjen Kopassus, baru-baru ini meresmikan penambahan sejumlah komando teritorial (10/8/2025). Presiden beralasan, bahwa penambahan sejumlah komando teritorial baru ini sebagai bentuk kesiapan pertahanan negara dalam menghadapi situasi global yang penuh ketidakpastian.

Lebih kurang, komposisi dari komando teritorial baru itu adalah: 6 Komando Daerah Militer, 14 Komando Daerah Angkatan Laut, 3 Komando Daerah Angkatan Udara, dan 1 Komando Operasi Udara. Nantinya, sejumlah komando teritorial baru ini akan memperluas cakupan militer hingga ke daerah-daerah yang sebelumnya hanya di-cover lewat Korem saja.

Tapi terlepas daripada itu semua, langkah ini selain jadi 'merogoh kocek dalam-dalam' anggaran negara, juga boleh jadi bukan hanya sekadar soal pertahanan saja. Publik harus selalu mengedepankan nalar kritis, dengan adanya kans militer yang dapat mengontrol masuk ke ruang-ruang publik lokal akibat langkah ini. Belum lagi perluasan struktur komando teritorial ini, cenderung lebih berfungsi layaknya instrumen pengawasan sosial dan politik kepada masyarakat, yang implikasinya juga dapat berujung pada pengaburan batas antara fungsi pertahanan dan kontrol sipil.

Jadi kalau sudah begini, maka jangan heran bila nanti derap sepatu lars tidak hanya terdengar di dalam pagar militer saja, melainkan juga sudah menjalar ke jalan-jalanan kota.


Isu Tentara Masuk Kampus: Kebebasan Akademik Tanpa Perisai

Terhitung pada medio April--Mei 2025 lalu, publik juga digegerkan dengan adanya laporan bahwa TNI dan beberapa aparat teritorial lain hadir dalam kegiatan diskusi kampus, termasuk pada acara kritik terhadap kebijakan negara. Muncul pula kasus-kasus di mana Babinsa/teritorial "menanyakan identitas peserta" dan mengawasi ruang-ruang diskusi.

Kehadiran tentara di kampus ini, meskipun diklaim hanya sebagai pengamanan atau monitoring wilayah, tentu jadi menghidupkan kembali trauma pada era Orde Baru, ketika kampus 'direpresi' kegiatan politiknya oleh negara melalui militer (lewat yang namanya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan atau NKK/BKK).

Meski isu ini sudah dibantah dan perlahan mulai mereda, perlu diingat bahwa reformasi 1998 mengamanatkan agar kampus harus bebas dari intervensi militer. Itulah mengapa jika pola ini terus berulang, tentunya akan menimbulkan kekhawatiran kembalinya bayang-bayang pengawasan semu daripada aparat militer tersebut.

Lingkaran 'Pembisik' Prabowo: Berkumpulnya Para Purnawirawan

Tidak hanya di lembaga publik saja, para penasihat Presiden Prabowo Subianto juga didominasi oleh figur-figur dari pensiunan TNI/Polri.

Tak main-main, nama-nama besar seperti di antaranya:

  • - Jenderal TNI (Purn) Wiranto, Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan
  • - Letjen TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, Penasihat Khusus Presiden Bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan
  • - Letjen TNI (Purn) Dudung Abdurachman, Penasihat Khusus Presiden Bidang Pertahanan Nasional, sekaligus Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan
  • - Letjen TNI (Purn) Terawan Agus Putranto, Penasihat Khusus Presiden Bidang Kesehatan Nasional
  • - Komjen Pol. (Purn) Ahmad Dhofiri, Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), dan Reformasi Polri (Terbaru)

Konfigurasi ini semakin jelas memperlihatkan bahwa logika keamanan bukan hanya hadir di lapangan, tetapi juga di meja rapat strategis negara. Dominasi ini bukan pula sekadar simbol belaka, karena mereka punya kapasitas memberi arah kebijakan strategis kepada Presiden dan mempengaruhi setiap ritme keputusan dari pemerintah. Dan dengan peran sentral yang mereka miliki pula, maka "sepatu lars" bukan hanya berjalan di barak, tetapi juga telah menancap di ruang pengambilan kebijakan.

Oleh karena itu, sulit rasanya bagi publik untuk menampik bahwa wajah pemerintahan saat ini memang kuat akan militeristik. Dan narasi pertahanan-keamanan negara tampak menjadi kerangka dominan dalam setiap kebijakan publik yang dikeluarkannya.

Memori "Agustus Kelabu" dan Bayang-Bayang Darurat Militer

Kerusuhan yang terjadi saat demonstrasi besar-besaran akhir Agustus 2025 lalu menjadi momen yang menguji posisi TNI. Isu tentang kemungkinan diterapkannya darurat militer sempat mencuat, meski akhirnya tidak diputuskan. Namun fakta bahwa opsi tersebut dapat muncul dengan cepat, memperlihatkan betapa mudahnya militerisasi politik itu bisa dihidupkan kembali.

Wacana darurat militer dalam situasi krisis sipil juga menegaskan satu hal: bahwa pendekatan keamanan kerap dijadikan jalan pintas ketika mekanisme demokrasi sudah dianggap lambat. Namun, justru inilah yang berbahaya: sebab demokrasi memang berproses, tetapi begitu militer yang mengambil alih, otomatis ruang sipil juga akan menyempit dengan drastis pula.

Refleksi: Derap Sepatu Lars dan Masa Depan Demokrasi Kita

Delapan dekade perjalanan TNI adalah sebuah pencapaian historis. Namun, peringatan ini tidak boleh hanya menjadi ajang parade alutsista dan defile pasukan saja. Ia sebaiknya menjadi momen untuk refleksi: apakah TNI sudah bekerja secara profesional dalam membela rakyat dan negara, atau justru kembali merambah ke wilayah sipil dengan alasan 'demi stabilitas'?

Pertanyaan ini penting, sebab demokrasi tidak tumbuh dalam suasana seragam, barisan komando, dan derap sepatu lars. Demokrasi harus tumbuh dalam perbedaan, dalam kebebasan, dan dalam ruang sipil yang kuat.

Sebagai pengingat, kata-kata (quotes) dari penyair perlawanan Wiji Thukul, menurut penulis tetap relevan:

  • "Sampeyan itu tidak akan mengerti arti fasisme sebelum sepatu tentara nempel di jidat."

 

Kalimat ini bukan sekadar peringatan belaka, melainkan juga sebuah cerminan bagi kita. Karena bila bangsa ini lengah, maka derap dari sepatu lars lah yang kelak akan menginjak ruang-ruang sipil. Dan pada saat itu pula, maka demokrasi kita dipastikan sudah runtuh.

Ciputat, 5 Oktober 2025

Fattah Holmes

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun