Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan

Membaca adalah bagian dari hidup saya, terutama karya-karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Malam Kelam, Penuh Dendam, 1993

12 Mei 2024   20:04 Diperbarui: 12 Mei 2024   21:31 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungguh bocah itu mirip anak saya, Mad Nasir. Dinasehati tutur hati, saya mendekati bocah itu lalu membentenginya pakai tubuh saya, khawatir peluru melesat ke arah sini. Saya bangunkan dia, cerlang kakinya terkilir, tetapi saya paksa dia berlari secepatnya. Dia bangkit mulai berlari dengan air mata.

Sesaat sebelum saya bangkit, mata saya berkunang-kunang lalu gelap yang tiada tara menyelimutinya. Sesaat sebelumnya, suara nyaring laju pelurumu menembus punggung saya. Darah menyembul deras dari punggung dan dada saya. Tetapi sesaat sebelumnya pula saya sempat tersenyum. Sakit sekali kejadian mendadak itu, tetapi saya gembira sebab bocah itu selamat.

Karena semua ketidakadilan yang telah saya dapatkan. Saya tetap berada di atas bumi sampai detik ini, di malam tanpa rembulan ini. Kalian hendak membangun waduk besar untuk mengairi berhektar-hektar sawah yang tandus kami, tetapi kalian membangunnya di atas tanah sebagian dari kami. Sehingga kalian menuntut pelepasan berhektar-hektar lahan tanah pertanian yang menjadi penghidupan kami. Apakah ini tak berujung sengketa? Apakah kalian tak memikirkan dampaknya bagi kami?

Dari ujung kemaluanmu sudah keluar hasratmu, cairan putih. Kau tersenyum, menikmatinya. Kemudian kau, Letnan Jenderal Soecipto, mengerek timba dari dasar sumur, hendak mandi. Nantinya saat kau berbalik badan, saya sudah berada di belakangmu. Mencekik lehermu lalu mendorongmu ke dalam sumur. Dengan benturan lorong-lorong sumur kau akan hancur bermandi darah, tetapi kalau kau selamat tercebur ke dalam sana, saya akan turun lantas menghabisimu di bawah sana.

Ini saatnya! Tetapi desir hati saya mendorong ingatan pada mantan istri, Sri Astutik, yang meninggalkan saya dan Mad Nasir, anak tunggal kita yang berusia tanggung. Karena berbedaan status sosial, dan saya bersikukuh tak mau meninggalkan desa untuk ikut bersamanya ke Jawa, karena saya harus mengurus sawah, sangkolan dari almarhum bapak, Suhaimi, dan leluhur. Tetapi justru sangkolan itu hendak dirampas kalian dengan bayaran tak seberapa. Dibayar mahal pun saya tak akan melepasnya, keparat!

Bimbang sudah niat saya. Saya tak boleh dendam pada Sri Astutik dan siapa saja. Emak dan bapak senantiasa menasehati.


"Jangan pernah kamu mempersilahkan dendam mengetuk pintu hatimu," kata bapak.

"Kamu boleh benci pada orang yang tak kamu senangi, tetapi jangan membalas dendam padanya, Nak. Itu artinya kamu sama saja dengan dia," kata emak.

Syahdan, saya urungkan niat membunuhmu, Letnan Jenderal Soecipto. Saya berbalik meninggalkan markasmu. Saya ikuti kata hati. Kemarin malaikat membukakan tabir masa depan bahwa Waduk Nipah, Sampang akan tetap terbangun megah dan kokoh, lalu besar sekali manfaatnya, termasuk mengairi beribu-ribu hektar sawah rèng-orèng kènè . Tetapi tetap saja, kalian membangunnya di atas air mata kami.

Sejak kematian saya tertembak pelurumu, dua bidadari yang turun dari langit hendak menjemput saya, membawa saya meninggalkan dunia tak adil ini. Tetapi saya tak mau karena dendam kesumat, dan setelah dua hari kemudian, dendam saya sudah padam. Malam kelam ini berubah terang-benderang setelah langit disinari cahaya membentang dari sayap dua bidadari yang hendak menjemput saya.

Waduk Nipah, Sampang Madura, 9 Mei 2024

[1] sangkolan: barang warisan turun-temurun dari leluhur yang pantang dilepas kepemilikan sebab dapat bertulah, seperti lahan tanah
[2] bulan Madura: bulan Hijriyah tetapi orang Madura biasa menyebutnya "tanggal (bulan) Madura"
[3] rèng-orèng rajâ: orang-orang besar, seperti aparat keamanan dan pemerintah
[4] rèng-orèng kènè': orang-orang kecil, seperti para petani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun