Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan

Membaca adalah bagian dari hidup saya, terutama karya-karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Malam Kelam, Penuh Dendam, 1993

12 Mei 2024   20:04 Diperbarui: 12 Mei 2024   21:31 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ya, Mak. Saya harus mempertahankan tanah sangkolan tempat kita mendapat makan."

"Jangan pergi, Nak. Firasat emak tak enak."

"Tenang saja, Mak. Kalau saya tak kembali, mati berkalang tanah maka sudah jalannya takdir, begitu pun sebaliknya."

Emak merelakan kepergian saya dengan air mata. Sementara kalian membangun waduk yang megah itu tanpa kerelaan justru di atas air mata kami. Kalian sangat tuli mendengar teriakan kami. Kalian tutup telinga, dari teriakan mahasiswa, aktifis lembaga kemasyarakatan, dan kiai. Dasar rèng-orèng rajâ![3] Kepala kalian batu!

Kau, Letnan Jenderal Soecipto, keluar pintu belakang. Saya melangkah mengikutimu. Kau berpelesir ke kakus yang terletak di belakang markas kalian ini. Kau memuntahkan isi perutmu melalui lubang pantat. Ya, kau kekenyangan tanpa tahu orang-orang desa kelaparan. Begitu lega pembawaanmu seusai menarik napas menghembuskannya, bagai orang tanpa dosa.

Kemudian kau pergi ke sumur. Saya semakin geram melihat tingkahmu. Kau jauh dari sanak keluarga dan istri bukan? Entah dari daerah mana kau berasal, yang jelas kau ditugaskan ke sini, membantu merampas tanah kami. Tangan kananmu bertamasya, memainkan kemaluanmu. Kau punya kemaluan tetapi tak punya malu. Kau menikmatinya, tanpa tahu orang-orang desa yang bercinta tak menikmati pergumulannya.


Memandangmu yang bermuka kotak, berambut tiga senti, bereskspresi culas, dan sukar tersenyum, mengembarakan selalu ingatan saya pada pemberedelan senapan yang membabi buta. Membuat kami kocar-kacir. Berhamburan tunggang-langgang.

Apa kalian bergidik pada kami? Hanya rèng-orèng kènè,[4] para petani desa, yang berjumlah ratusan mengepalkan tangan kosong, mengangkat-ngangkatnya ke udara, berteriak meraung penuh kobaran mempertahankan tanah kami. Sebagian besar dari kami tak membawa senjata. Kami hanya membawa nyali. Kami berharap berakhir dengan tanpa keributan tetapi yang terjadi sebaliknya.

Kami menyusuri pinggir sungai. Melangkah bersama tak gentar. Hendak menyeberang. Tetapi sebelum semuanya terjadi, kalian sudah ketakutan. Apa kalian berpikir orang Madura itu bengis-bengis? Tentu tidak! Kalau kalian berkawan dengan kami, kalian akan merasakan kami itu lembut-lembut dan bermoral. Tetapi kalau sudah urusan begini, kami tak takut mati melawannya!

Ketakutan kalian terbaca dari penembakan bertalu-talu yang langsung kalian arahkan pada kami. Tak ada tembakan peringatan ke udara. Kalian langsung mengarahkan peluru jahanam itu pada kami. Sungguh siang 25 September 1993 itu menyengatkan panas juga kemalangan.

Di tengah desingan peluru, saya bisa saja menghindarinya dengan memacu kaki dari gelanggang itu sejauh mungkin, tetapi langkah saya tertancap, memandang nestapa bocah tanggung yang terjerembab sebab terombang-ambing badan orang-orang dewasa. Peluru-peluru deras meluncur ke arah kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun