Mohon tunggu...
Ni Luh Rosita Dewi
Ni Luh Rosita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Youth Activis | Politic and Self Development

Upgrading and empowering youth to be local leaders, encouraging them to provide criticism of public policy.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bagaimana Wajah Pemilu Serentak 2024?

18 Oktober 2022   19:34 Diperbarui: 20 Oktober 2022   11:15 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Wajah Politik, (sumber: pixabay.com)

"Sudah menjadi sifat manusia selalu ingin mengambil bagian dalam kekuasaan, tetapi tidak ingin mengambil bagian dalam tanggung jawab terhadap terhadap penggunaan kekuasaan itu. Praktik semacam itu terlihat di mana-mana, dalam praktik sehari-hari. (Edmund Burke, Penulis Buku Reflection On The Revolution in France)

Sebentar lagi kita akan kembali dihadapkan dengan kompetisi elektoral lima tahunan yang tentu akan menyita banyak pikiran. Kenapa dikatakan menyita pikiran? 

Sebab, generasi milenial dan masyarakat yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih akan turut andil dalam menentukan nasib bangsa guna memilih pemimpin melalui Pemilu serentak yang akan digelar pada 14 Februari 2024.

Pemilu bisa dikatakan sebagai perantara paling representatif atas berjalannya demokrasi di suatu negara. 

Tidak ada demokrasi tanpa pemilu dan hampir semua ahli politik sepakat bahwa pemilu adalah kriteria paling penting dalam mengukur kadar demokrasi sebuah sistem politik. (Pria Dharsana, 2019).

Catatan pemilu sebelumnya menunjukkan setidaknya ada dua peristiwa besar yang tampak berseberangan. Pertama, adalah momentum demokrasi prosedural melalui pemilu serentak 2019. 

Kedua, kebangkitan politik nonprosedural yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa indonesia yang menolak rancangan undang-undang (RUU) yang dianggap mencederai demokrasi.

Meski secara prosedural pemilu 2019 sudah terlaksana cukup baik, namun belum tentu berkolerasi dengan kualitas dan substansi demokrasi. 

Proses politik elektoral masih saja dibayang-bayangi dengan politik identitas dengan menggunakan agama untuk mendulang sebanyak-banyaknya suara pemilih baik yang berasal dari agama mayoritas ataupun minoritas. 

Seorang Australian Financial Review, bernama Bend Bland dalam opininya yang berjudul "Indonesian strongman lost, but identity politicswon" mengungkapkan bahwa hasil pemilu di Indonesia mencerminkan perpecahan nyata di dalam masyarakat Indonesia dan persaingan visi tentang negara seperti apa Indonesia seharusnya. Ia juga menyimpulkan bahwa siapapun presidennya, politik identitas di Indonesia telah memenangkan Pilpres 2019. 

Proses kampanye yang masih didominasi oleh isu-isu SARA, politik identitas, berita palsu, ujaran kebencian yang semakin meluas akibat adanya buzzer, atau bahkan olok-olok politik antar kubu tentang masalah yang bahkan tidak substantif untuk didebatkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun