Mohon tunggu...
Hidayatun Nafiah
Hidayatun Nafiah Mohon Tunggu... Penjahit - Mahasiswi

Reading is Hot, Writing is Cool.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masa Muda Emak [Part 1- Demi Kunang-Kunang]

16 Februari 2021   08:07 Diperbarui: 16 Februari 2021   08:21 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.guelphtoday.com/

Di malam hari, pintu-pintu rumah dan jendela di tutup rapat. Orang-orang berdiam diri di rumah atau jika ada banyak orang, mereka akan berkumpul di teras rumah untuk mengobrol santai sambil makan ubi rebus.

Saat itu hampir tengah malam saat Bapak merasa perutnya mulas dan harus segera buang hajat. Di zaman itu, belum ada toilet. Orang-orang desa buang air di sungai atau di kakus tanah yang ditutupi dengan karung beras. Karena Bapak kecil tak berani buang hajat sendiri, Bapak pun minta ditemani Nenek pergi ke sungai. Rumah bapak terletak di ujung jalan. Sesungguhnya itu bukan ujung jalan, karena jalan itu masih berbelok dan berlanjut ke area persawahan. 

Di samping rumah Nenek, ada kebun kecil kosong berisi pohon-pohon besar dan lebat. Dan di samping kebun itulah sungai yang dimaksud. Jalan persawahan tadi dipotong oleh sungai, kemudian jalan itu mengikuti arah sungai dan memisahkan sungai dengan area persawahan. 

Di belokan tadi, diseberang sungai, di ujung kebun, ada pohon bambu yang rindang. Di sungai di bawah pohon bambu itulah, ditemani Nenek, Bapak berjongkok dan membuang hajat.

Nenek membawa pelita atau dimar. Sedangkan kunang-kunang sedang asyik bermain di atas persawahan. Bapak bilang, kehadiran kunang-kunang menjadi pertanda hadirnya Kemangmang. Melihat kunang-kunang menari di atas persawahan, Bapak mulai merasa gemetaran.

Tiba-tiba, tanpa adanya angin, dahan bambu yang menjulur diatas Bapak bergerak-gerak sendiri seperti dihinggapi monyet beruk. Bapak mulai merasa ada yang tidak beres. 

Dan dari kejauhan, di area persawahan yang luas dan lapang, sebuah cahaya seperti api berkobar. Bapak dan nenek sama-sama melihat ke arah cahaya itu. Lama lama, cahaya itu berjalan semakin cepat dan semakin mendekat. Nenek sebagai orang tua, merasa ada yang tidak beres dan menyuruh Bapak untuk cepat-cepat (tak sempat kutanyakan apakah Bapak sudah selesai buang hajat atau belum).

Cahaya api itu semakin mendekat dan mendekat. Namun sebelum cahaya api terbang itu menghampiri Bapak dan Nenek, mereka berdua buru-buru lari ke rumah. Ya, cahaya api itu bernama Kemangmang. Sesosok hantu mitologi zaman dahulu yang dekat dengan kegelapan. 

Kemangmang adalah hantu kepala dengan isi perut yang menjuntai di bawahnya. Seperti Leak dalam kepercayaan orang bali, atau Krause dalam kepercayaan orang Thailand. Cerita Bapak memang tidak masuk di akal. Tapi aku yang sudah hidup bersamanya selama bertahun-tahun tahu bahwa bapak bukanlah seorang pembohong. Jadi aku mempercayainya seratus persen. Berbeda sekali dengan Emak yang meragukan kisah itu.

Emak berfikir jauh lebih logis. Menurut pendapat Emak, cahaya api itu adalah obor yang digunakan oleh para pencari tikus di sawah dan bukan sosok hantu Kemangmang. Tapi, kataku jika itu adalah obor, bagaimana ia bisa terbang dengan cepat dan menghampiri Bapak dan Nenek?

Di akhir cerita, Bapak menambahkan bahwa zaman dulu, dimana desa masih diliputi kegelapan, bukan hanya kegelapan fisik namun juga kegelapan batin, sebab orang masih banyak yang percaya mitos, dukun dan setan, malam terasa sangat mencekam dan menakutkan. Banyak sekali makhluk halus berkeliaran. Itu sangat wajar karena makhluk halus memang senang hidup dalam kegelapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun