Rooma21.com, Jakarta - Pasca pandemi COVID-19, sektor properti Indonesia belum sepenuhnya pulih. Meskipun ekonomi nasional mulai bangkit, pasar perumahan masih mengalami tekanan berat. Data Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia mencatat bahwa hingga Triwulan I 2025, penjualan rumah di pasar primer masih mengalami kontraksi sebesar 7,14% secara tahunan (YoY). Penurunan ini bukan hanya terjadi pada segmen apartemen yang memang sudah stagnan sejak sebelum pandemi, tapi juga merembet ke rumah tapak, khususnya rumah tipe kecil dan menengah.
Kelesuan ini bukan semata soal daya beli, tapi juga soal perubahan karakteristik pembeli. Jika sebelum pandemi pasar sempat diramaikan oleh investor dan spekulan, maka sejak 2021 ke atas, segmen tersebut mulai menyusut drastis. Penyebabnya beragam: regulasi yang makin ketat, biaya transaksi yang tinggi, hingga ketidakpastian return investasi properti. Yang tersisa di pasar kini adalah end user, terutama kalangan first home buyer dari generasi milenial dan Gen Z yang memiliki tantangan tersendiri---terbatasnya penghasilan tetap, tingginya suku bunga KPR, serta ketergantungan pada insentif atau program subsidi untuk bisa membeli rumah.
"Fenomena ini menyebabkan mismatch antara penawaran dan permintaan. Di satu sisi, developer harus terus meluncurkan proyek untuk menjaga arus kas dan kredit berjalan. Di sisi lain, konsumen tidak serta-merta merespons dengan daya beli yang kuat. Rumah tetap dibutuhkan, tapi makin sulit dijangkau. Inilah awal dari paradoks besar yang akan terus mewarnai dinamika properti Indonesia pasca pandemi."
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri lebih dalam bagaimana kebijakan Loan to Value (LTV) yang diluncurkan Bank Indonesia sejak 2012---sebagai respons atas kekhawatiran bubble properti---justru berdampak kompleks terhadap penjualan rumah dan penyaluran KPR. Kita juga akan membedah mengapa pelonggaran LTV hingga 100% tidak serta-merta mampu mendongkrak pasar, meski dibarengi insentif seperti PPN ditanggung Pemerintah. Di bagian akhir, kita akan melihat bagaimana developer merespons stagnasi ini melalui strategi harga yang kreatif namun kontroversial: mensubsidi DP dan biaya KPR melalui skema harga rumah "price-in.
"Dengan pendekatan ini, artikel akan mengupas secara sistematis perjalanan 10 tahun kebijakan properti Indonesia---dari ketatnya regulasi hingga eksploitasi celah insentif oleh pelaku pasar. Artikel ini tidak hanya menjadi refleksi kebijakan, tapi juga pembelajaran untuk masa depan."
LTV & Kekhawatiran Bubble PropertiÂ

Sebagai respons preventif, BI pada pertengahan 2012 mengeluarkan kebijakan pembatasan Loan to Value (LTV). Kredit rumah kini dibatasi: maksimal 70% dari harga rumah, artinya konsumen wajib menyediakan uang muka (DP) 30%. Aturan ini juga melarang pemberian KPR untuk rumah yang masih inden, khususnya untuk pembelian kedua dan ketiga.Â
Semangatnya adalah cooling down pasar dan menghindari gelembung---tujuan makroprudensial yang penting. Namun di lapangan, kebijakan ini memukul keras pasar perumahan, terutama di segmen investasi dan spekulatif.
Dampaknya terasa cepat. Penjualan rumah menurun tajam, terutama di proyek-proyek apartemen dan rumah menengah atas yang sebelumnya jadi incaran investor. Pertumbuhan KPR melambat, dan pasar mulai kehilangan volume. Investor dan spekulan mundur dari pasar, dan pembeli end user belum siap menggantikan---terutama karena harus menyiapkan DP besar dan menghadapi proses perbankan yang makin ketat.
Melihat tekanan ini, BI mulai melakukan relaksasi secara bertahap sejak 2015. Larangan KPR inden mulai dibuka, meski tetap dengan prasyarat ketat: developer harus memenuhi kriteria tertentu dan pencairan kredit dilakukan bertahap mengikuti progres pembangunan. Kemudian, LTV untuk rumah pertama ditingkatkan dari 70% menjadi 80%, lalu 85%, dan akhirnya sejak 2018 diperbolehkan hingga 100%---tentu dengan catatan bank memenuhi syarat rasio kredit bermasalah (NPL) yang sehat.